Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Relasi Kuasa dan Kekerasan Seksual di Pesantren

Bagong Suyanto, Guru Besar FISIP Universitas Airlangga, menggali akar masalah kekerasan di pondok pesantren. Perlu desakralisasi pimpinan pesantren.

18 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kekerasan seksual di pondok pesantren terjadi berkali-kali dan dalam waktu lama.

  • Ini terjadi karena relasi yang timpang di antara pimpinan dan pengasuh dengan santri.

  • Perlu desakralisasi pimpinan pesantren dan pengawasan.

Bagong Suyanto
Guru Besar Sosiologi Anak di FISIP Universitas Airlangga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menjelang peringatan Hari Anak Nasional pada 23 Juli ini, masyarakat justru disuguhi kabar yang sangat memprihatinkan tentang pelecehan seksual di pondok pesantren. Kasus tindak kekerasan seksual yang menimpa anak-anak ini sudah sulit dinalar akal sehat. Pelaku kekerasan bukan lagi predator seksual dan penjahat cinta yang terbiasa menggunakan bujuk rayu dan tekanan untuk memperdaya korban. Tokoh agama, guru, dan pimpinan lembaga keagamaan pun ternyata tidak menjadi jaminan akhlaknya baik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti ramai diberitakan belakangan ini, seorang pengasuh pondok pesantren di Banyuwangi, Jawa Timur, ditangkap polisi karena melakukan pencabulan terhadap santrinya. Di masa yang sama, putra seorang pemimpin pondok pesantren di Jombang juga ditangkap polisi karena diduga telah memperkosa sejumlah santri.

Kekerasan seksual yang dilakukan tokoh agama tidak sekali-dua terjadi. Muhammad Bisri Mustofa Al-Aswad, pemimpin pondok pesantren di Kecamatan Mesuji Makmur, Kabupaten Ogan Komering Ilir, juga ditangkap polisi karena mencabuli tujuh santri di bawah umur. Di Bandung, seorang pemimpin pondok pesantren di Cibiru diciduk polisi karena memperkosa 14 santri dan akhirnya divonis hukuman mati.

Relasi Kuasa

Pelaku kekerasan seksual sebetulnya bermacam-macam. Hanya, ketika pelaku adalah tokoh agama, termasuk pimpinan pondok pesantren, kasusnya lebih heboh. Masyarakat umumnya tidak menyangka sekaligus mengutuk keras bila membaca kasus kekerasan seksual yang pelakunya adalah tokoh keagamaan yang semestinya menjadi panutan.

Kekerasan seksual yang dilakukan tokoh agama biasanya terjadi lebih lama dan bahkan bisa bertahun-tahun. Relasi antara korban dan pelaku yang asimetris—ketika posisi pelaku cenderung sangat dominan—acap kali akan membuat korban tidak berdaya. Dalam kasus Banyuwangi, misalnya, korban berjumlah enam orang dan semuanya masih di bawah umur. Kekerasan terhadap mereka dilakukan pada 2021 hingga Mei 2022 dalam bentuk pencabulan, persetubuhan, hingga pemerkosaan. Kasus pemerkosaan yang terjadi di lembaga keagamaan lain, polanya kurang-lebih sama.

Mengapa kekerasan seksual terhadap anak ini bisa aman tertutupi hingga kurun waktu yang lama dan berulang-ulang? Salah satunya adalah ketidakberdayaan korban karena pelaku mensubordinasi korban. Relasi yang timpang itu biasanya dibenarkan oleh konstruksi sosial-budaya yang salah. Untuk menjelaskan dan memahami terjadinya berbagai kasus tindak kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren, ada baiknya kita tengok pemikiran Michel Foucault.

Michel Foucault adalah tokoh pasca-strukturalis yang membahas mikrofisika kuasa, yakni bagaimana berfungsinya kuasa dalam suatu bidang tertentu. Dia menyatakan, dalam lingkungan sosial atau lembaga yang tertutup (total institution), seperti pondok pesantren, umumnya selalu ada pihak yang tunduk dan tidak berdaya. Foucault sendiri tidak membahas kekuasaan dalam kerangka hubungan kekuasaan dan negara, melainkan hubungan antara kekuasaan dan subyek. Kuasa dalam pemahaman Foucault lebih dilihat dalam konteks mekanisme kuasa atau strategi kuasa. Lantas, bagaimana memahami relasi kuasa yang terbentuk dan melatarbelakangi terjadinya praktik percabulan anak, khususnya di lingkungan pesantren?

Gambaran paling mudah untuk memahami artikulasi struktur kekuasaan di institusi sosial yang kaku seperti pondok pesantren adalah melalui apa yang disebut Foucault sebagai panopticon. Panopticon sebetulnya adalah sebuah konsep penjara yang dirancang oleh Jeremy Bentham pada 1843. Para penjaga penjara ditempatkan di menara melingkar yang diisi oleh sel-sel narapidana. Gagasan Bentham membangun sebuah menara pengawasan yang diletakkan di tengah-tengah penjara ini adalah untuk menjamin agar para narapidana tidak terlepas dari pengawasan atau untuk meyakinkan narapidana bahwa mereka tidak pernah lepas dari pengawasan para penjaga.

Meski penjara yang digagas Bentham ini tidak pernah dibangun, Foucault menggunakannya sebagai metafora untuk menjelaskan bagaimana strategi kuasa bekerja dan mengembangkan pengawasan—sebuah gejala yang disebut panoptisisme. Panopticon adalah struktur yang memungkinkan pihak yang dominan dalam penjara berpeluang penuh untuk mengamati narapidana. Bahkan, dalam kenyataannya, pihak yang dominan ini tidak perlu selalu hadir, karena struktur panopticon itu sendiri sudah akan membatasi ruang gerak dan perilaku pihak yang tersubordinasi. Anak-anak santri itu hidup dalam habitus yang tertutup, asimetris, dan terperangkap dalam relasi kuasa. Mereka umumnya rentan dan rawan menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan pimpinan pondok yang mereka sakralkan.

Watchdog

Dalam konteks kekerasan yang terjadi di berbagai pondok pesantren belakangan ini, sepanjang posisi santri tersubordinasi, kemungkinan untuk menghindar dari risiko tindakan jahat pimpinan atau pengasuh pondok pesantren tidak akan mudah. Ketika pimpinan pondok adalah ulama yang saleh dan menjadi panutan, tentu tidak masalah meski relasi kuasa yang terbentuk menempatkan santri pada posisi yang tersubordinasi. Tapi lain soal jika ada pimpinan atau pengasuh pondok yang berperilaku menyimpang dan memiliki etika buruk. Didorong hasrat dan syahwat pimpinan atau pengasuh yang tidak terkendali, bukan tidak mungkin para santri kemudian menjadi korban.

Untuk mengantisipasi kemungkinan menjadi korban pimpinan dan pengasuh lembaga keagamaan yang jahat, perlu dikembangkan desakralisasi terhadap sosok pimpinan agar tidak bersifat mutlak. Yang tak kalah penting adalah bagaimana membangun lembaga sosial sebagai forum bersama sekaligus watchdog di kalangan santri yang menjadi bentuk hegemoni tandingan atas supremasi pimpinan yang mensubordinasi. Tanpa ada lembaga yang memungkinkan orang-orang yang tersubordinasi menyampaikan keluhan dan melakukan kontrol, jangan kaget jika kasus yang terjadi di Banyuwangi, Jombang, Bandung, dan lain-lain akan terus berulang.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus