Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penolakan pembangunan gereja HKBP Maranatha di Kota Cilegon, Banten, merupakan pelanggaran serius terhadap konstitusi. Bukan hanya merampas kemerdekaan individu untuk beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing, sikap diskriminatif tersebut sekaligus membuktikan bahwa intoleransi masih tumbuh subur di negeri ini. Ironisnya, pejabat negara di kota itu ikut melanggengkan intoleransi.
Peristiwa ini bermula ketika sekelompok orang yang menamakan diri Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon menyampaikan aspirasi menolak rencana pendirian gereja di gedung DPRD dan kantor Wali Kota Cilegon, Rabu, 7 September lalu. Alih-alih menjamin hak setiap warga negara untuk beribadah, Wali Kota Cilegon Helldy Agustian beserta wakilnya, Sanuji Pentamarta, ikut menandatangani petisi penolakan pembangunan gereja. Tunduknya pemerintah setempat kepada kelompok intoleran patut disayangkan. Sebagai pejabat negara, mereka semestinya berdiri di atas semua golongan dan agama.
Apalagi alasan penolakan tersebut mengada-ada. Massa berdalih penolakan pembangunan gereja bersandar pada Surat Keputusan Bupati Serang pada 1975, yang menyatakan tidak boleh ada pembangunan sarana ibadah di luar masjid. Keputusan tersebut sudah tidak relevan karena terbit pada saat komposisi penduduk muslim di kota itu mencapai 99 persen. Sementara itu, situasi Cilegon sekarang sudah berubah. Pada 2010 saja, komposisi umat Kristen dan Katolik setara dengan 9,86 persen jumlah penduduk di sana.
Bertumpu pada data itu, keinginan untuk membangun rumah ibadah bagi umat Kristen merupakan kebutuhan nyata. Sebagai warga negara, anggota jemaat Kristen punya hak konstitusi yang sama. Tidak ada alasan apa pun yang membenarkan penolakan masyarakat dan kepala daerah terhadap pendirian sebuah rumah ibadah.
Masalahnya, penolakan pembangunan gereja di Cilegon bukanlah barang baru. Penolakan itu bahkan sudah terjadi sejak era 1990-an. Izin pembangunan Gereja Baptis Indonesia Cilegon, misalnya, lima kali ditolak warga sejak 1995. Adapun izin pembangunan HKBP Maranatha Cilegon sudah empat kali ditolak sejak 2006. Proses izin pembangunan HKBP Maranatha yang terbaru mandek sejak 2021. Tak mengherankan bila kota itu tak punya gereja hingga sekarang. Bukan hanya gereja, tak satu pun pura ataupun vihara tercatat di sana.
Padahal pesatnya pembangunan di Cilegon telah mendatangkan arus multikulturalisme. Tidak hanya umat Kristiani, jumlah penduduk pemeluk Hindu, Buddha, dan Konghucu juga terus bertumbuh. Mereka semua tentu butuh tempat ibadah. Sayangnya, arus multikulturalisme di Cilegon tidak diimbangi dengan kemajemukan dan pluralisme.
Tak aneh bila Kota Cilegon selalu masuk peringkat bawah dalam riset Indeks Kota Toleran yang dibuat Setara Institute. Riset ini mengukur derajat toleransi sebuah kota. Pada 2017 dan 2018, hasil riset tersebut menunjukkan Cilegon berada di uturan keempat dari bawah. Tahun lalu, peringkat Cilegon melorot menjadi nomor tiga dari bawah. Masalah utama yang dihadapi Cilegon adalah minimnya keberpihakan pemerintah kota terhadap kelompok minoritas melalui dukungan regulasi.
Bukan hanya peraturan daerah, keberadaan Peraturan Bersama 2 Menteri Tahun 2006 tentang Rumah Ibadah juga berkali-kali memicu perlakuan diskriminatif dalam pendirian rumah ibadah. Persyaratan dalam aturan tersebut, yang menyatakan pendirian rumah ibadah membutuhkan 60 tanda tangan warga sekitar, sesungguhnya bertolak belakang dengan semangat toleransi. Sudah seharusnya pemerintah mencabut aturan ini karena mengingkari konstitusi.
Aksi intoleransi terus berulang karena pemerintah juga tidak bertindak tegas setiap kali ada penindasan terhadap kelompok minoritas. Penolakan pembangunan gereja di Tanjung Balai Karimun Kepulauan Riau, pembekuan izin Gereja Yasmin di Kota Bogor, pembakaran gereja di Klaten dan Tegal, Jawa Tengah; serta penurunan patung Buddha di Tanjung Balai Sumatera Utara merupakan sebagian kecil dari potret buram pengabaian hak asasi atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Kita tentu tidak ingin hal tersebut terus terjadi. Oleh karena itu, negara tak boleh diam terhadap aksi intoleransi yang mengancam keberagaman. Tunduk kepada kelompok intoleran hanya akan menyuburkan semangat kelompok serupa untuk memaksakan kehendaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo