Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
REKOMENDASI Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat agar pemerintah menutup Pondok Pesantren Al-Zaytun di Indramayu merupakan saran gegabah. MUI memakai tafsir agama untuk menghukum keyakinan pemimpin Al-Zaytun, Panji Gumilang, sesuatu yang mencederai prinsip kebebasan beragama di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini ada 5.429 santri yang belajar di Al-Zaytun, dari tingkat ibtidaiyah (sekolah dasar) hingga aliyah (sekolah lanjutan tingkat atas). Selain akan memakan biaya, pembubaran pesantren merenggut hak orang mendapatkan pendidikan. Penutupan pesantren juga menjadi preseden buruk bagi keberlanjutan lembaga-lembaga pendidikan yang menerapkan tafsir ajaran agama yang berbeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rekomendasi MUI melanggar Pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal ini menyatakan pendidikan di Indonesia diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, kultural, dan kemajemukan. Pemerintah akan menyelesaikan masalah dengan membuat masalah baru jika mengakomodasi saran itu.
Investigasi MUI terhadap Al-Zaytun dipicu oleh beredarnya video salat Idul Fitri di pesantren ini yang menunjukkan saf laki-laki dan perempuan bercampur. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil lalu meminta MUI menyelisik penyimpangan-penyimpangan di Al-Zaytun menyusul protes umat Islam yang meluas.
Yang dilakukan Panji Gumilang adalah tafsir agama yang berbeda dengan tafsir yang umumnya dipercaya. Ini bukan sesuatu yang baru. Amina Wadud, sarjana feminisme Islam di Amerika Serikat, misalnya, pernah memimpin salat Jumat di New York pada 2005. Menurut dia, perempuan bahkan boleh menjadi imam salat. Cara menyelesaikan tafsir ajaran agama bukan dengan membredel orang atau organisasinya, tapi menjadikannya diskursus publik sehingga menjadi bahan pembicaraan yang luas.
Al-Zaytun bisa disorot dalam hal sejarah pendiriannya. Panji Gumilang atau Abu Toto adalah pentolan Negara Islam Indonesia (NII), organisasi yang didirikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di masa revolusi. Panji Gumilang adalah contoh mereka yang terlibat gerakan makar tapi dapat dijinakkan oleh organ-organ negara, bahkan berkolaborasi dengan mereka.
Syahdan, untuk kepentingan Pemilihan Umum 1971 dan meredam aktivitas teror, pemerintah Orde Baru membuat perjanjian dengan pengikut Kartosoewirjo saat reuni akbar di Bandung pada April 1971. Para pentolan NII bersumpah setia kepada Pancasila dan mendapat kedudukan di badan-badan negara. Mereka bahkan mendapat keistimewaan menjadi penyalur minyak Pertamina untuk wilayah Jawa Barat.
Ketika Panji Gumilang membuka Al-Zaytun pada 1999, Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie meresmikannya. Adapun Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut Soeharto, putri sulung Presiden Soeharto, meletakkan tiang pancang pertama. Nama Soeharto bahkan menjadi salah satu nama gedung di pesantren seluas 1.200 hektare ini. Al-Zaytun kemudian menjadi proksi atau agen pemerintah dalam korporatisme negara (state corporatism), istilah ahli politik Australian National University, Donald Porter.
Dengan melihat hubungan-hubungan itu, rekomendasi MUI membubarkan Al-Zaytun pun menjadi majal. Problem Al-Zaytun lebih pelik dari sekadar penyimpangan ajaran agama: ia menjadi rumah bagi kepentingan banyak aktor. Di tahun politik seperti sekarang, Al-Zaytun menjadi umpan untuk mengetes arah politik umat Islam. Politikus yang lihai akan memanfaatkannya sebagai musuh bersama untuk meraih simpati pemilih muslim.
Baca liputannya:
- Hubungan Panji Gumilang dan Para Jenderal
- Dari Mana Sumber Uang Panji Gumilang
- Profil Panji Gumilang: Dari NII ke Al-Zaytun
- Apa Saja Jerat Pidana untuk Panji Gumilang
Karena itu, jika pemerintah ingin menangani Al-Zaytun, cara yang tepat adalah mempereteli hubungan para aktor negara dengan pemimpin pesantren ini. Biarkan Al-Zaytun menjadi lembaga pendidikan yang mandiri. Mereka layak ditindak jika melanggar hukum. Misalnya melakukan pencucian uang atau membiayai terorisme, sesuatu yang sering dituduhkan kepada pesantren itu. Soal penyimpangan atas tafsir ajaran agama, biarkan publik yang menilai.
Menjadikan Al-Zaytun sebagai arena kepentingan politik merupakan wujud politik identitas, yang bisa dilakukan politikus berbasis agama ataupun nasionalis untuk kepentingan elektoral mereka. Efeknya, gesekan di dalam masyarakat meruncing dan demokrasi Indonesia tak kunjung sehat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Main Agama di Al-Zaytun"