Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kerja-sama ekonomi asean ...

Motif utama pembentukan asean bukanlah kerja sama untuk menyatukan negara-negara asia tenggara. motif utama pembentukan asean adalah untuk menjamin kelangsungan hidup. kerja sama ekonomilah yang praktis.

8 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELAKANGAN ini tampak banyak tanda-tanda hidup tentang ASEAN. Mula-mula para menteri ekonomi bersidang di Singapura dan mengambil beberapa keputusan yang dapat mempunyai arti besar. Para menteri ekonomi ini memperluas lagi daftar barang yang masuk PTA (Preferential Trading Arrangement): sistem yang mau merangsang perdagangan antara ASEAN dengan pemberian potongan bea masuk. Disahkan juga peraturan dasar untuk menjalankan usaha patungan antara paling sedikit dua pihak swasta ASEAN. Untuk masuk pasar ASEAN usaha-usaha patungan penanaman modal demikian akan mendapat potongan bea masuk paling sedikit 50%. Kalau barangnya baru bagi ASEAN ada tambahan fasilitas proteksi: selama tiga tahun berturut-turut tak akan diizinkan masuknya proyek yang kedua. Daftar barang-barang yang mendapat potongan bea masuk dalam rangka PTA sekarang sudah berjumlah 16.000, artinya lebih dari 3.000 rata-rata per negara ASEAN. Di Singapura batas pemasukan otomatis ke dalam daftar PTA juga dilonggarkan menjadi US$10 juta. Artinya, barang-barang yang nilai impor keseluruhan tidak melebihi US$10 juta otomatis dimasukkan ke dalam daftar PTA dan berhak atas potongan bea masuk. Batas potongan bea masuk ini sekarang 50%, naik 20-25%. Sampai sekarang sistem perangsang perdagangan antar-ASEAN dengan PTA belum banyak berhasil mengembangkan arus perdagangan, karena sebetulnya semangatnya kikir. Walaupun ASEAN bersepakat mengajukan perdagangan dengan sistem potongan bea masuk, namun dalam praktek yang mereka masukkan ke dalam daftar PTA adalah barang-barang yang sangat kecil artinya dalam daftar impor mereka. Lagi pula potongan bea masuk mula-mula juga sedikit sekali. Maka impor ke dalam ASEAN tetap datang dari sumber-sumber yang tradisional, yakni dari negara-negara industri di luar ASEAN. Semangat yang sesungguhnya di antara ASEAN masih sangat proteksionistis, juga terhadap negara tetangganya. Indonesia, misalnya, merasa khawatir, kalau tarif-tarif bea masuk terhadap Singapura banyak dikurangi, akan terjadi banjir impor yang akan merugikan industri dalam negeri yang sedang ditumbuhkan. Sekalipun jumlah barang PTA masih sedikit dan potongannya masih rendah, tiap negara mensyaratkan certificate of origin dan komponen lokal minimal terhadap barang-barang yang diberikan PTA ini. *** Sesudah para menteri ekonomi ASEAN bertemu di Singapura maka kamar-kamar dagang dan industri ASEAN bersidang di Manila. Sektor swasta ini akhir-akhirnya harus menjadi pelaksana dari peraturan kerja sama ekonomi yang dirintis oleh pemerintah masing-masing. Kadin terutama gembira bahwa peraturan yang harus mendorong penanaman modal ASEAN di Singapura mendapat kemajuan yang berarti. Kadin-kadin ASEAN ini merasa puas, berkat perjuangan mereka para menteri akhirnya menyetujui perjanjian dasar mengenai ASEAN Industrial Joint Ventures (AIJV). Sampai sekarang proyek-proyek penanaman swasta ASEAN masih macet oleh karena syarat-syaratnya terlalu berat dan birokrasi persetujuan dari pemerintah masing-masing terlalu rumit. Contoh adalah ASEAN Industrial Complementation scheme, yang menghendaki sekaligus disetujuinya lima proyek yang "komplementer" dan yang lokasinya dibagi "rata" di antara kelima negara ASEAN. Komplementaritas berarti bahwa semua lima proyek menjadi bagian dari satu paket besar, misalnya paket industri otomatif. Syarat keadilan yang menghendaki bahwa semua lima negara akan kebagian proyek secara bersama dan serentak terlalu menyulitkan pelaksanaan. Sampai sekarang belum ada proyek penanaman modal ASEAN swasta yang sudah dilaksanakan. Penanaman modal proyek pemerintah lebih berhasil. Dalam skema ASEAN Industrial Project (AIP) sudah dua buah pabrik pupuk urea yang sedang dibangun, satu di Indonesia dan satu lagi di Malaysia. Proyek-proyek AIP di Singapura tidak pernah dapat disetujui (oleh Indonesia) dan Singapura lalu mundur dari skema ini. Proyek Thailand (Soda Ash dan Rock Salt) dan proyek Filipina (copper fabrication) disetujui baru-baru ini, tapi pelaksanaannya mungkin masih akan makan waktu. sebagian karena Jepang masih harus menguji kelayakannya. Peranan Jepang dalam pembiayaan proyek-proyek AIP ini besar oleh karena janjinya untuk memberi kredit lunak sampai 70% dari kebutuhan pembiayaannya. SEMENTARA itu Kadin-kadin ASEAN telah menyusun daftar sejumlah proyek yang harus disetujui (oleh pemerintah-pemerintah) untuk mendapat fasilitas AIJV. Keistimewaan AIJV ini adalah, suatu proyek dapat dimulai hanya oleh dua (pihak swasta) ASEAN. Proyek ini akan mendapat PTA paling sedikit 50%, akan tetapi setelah tiga tahun semua (pihak swasta) negara ASEAN harus ikut sebagai pemegang saham, atau paling sedikit memberi potongan PTA yang sama. Oleh karena akhirnya semua negara ASEAN akan terlibat maka dari semula mereka harus menyetujuinya, paling tidak menyatakan "tak keberatan". Ada yang mengkhawatirkan bahwa syarat semua (pemerintah) negara ASEAN harus menyetujui daftar proyek AIJV ini akan makan waktu lama bagi proses penilaian dan persetujuan ini. Kalau proses dan prosedur persetujuan memakan waktu terlalu lama, maka besar kemungkinan para sponsor akan patah hati di tengah jalan, mungkin karena keadaan berubah sementara waktu itu. ** Kemajuan ASEAN sekarang juga mendapat sorotan dari suatu Task Force (TF), yang terdiri dari 15 orang, tiga dari setiap negara ASEAN. Anggota-anggota TF ini ditunjuk oleh pemerintah masing-masing, tapi mereka bebas untuk berbicara secara pribadi. Ini tidak berarti bahwa TF ini mudah menjadi independen, misalnya seperti Komisi Willy Brandt. TF ASEAN tetap mempunyai majikan, yakni para menteri luar negeri. Tapi TF ASEAN ini mendapat tugas untuk menilai kemajuan ASEAN, di semua bidang (politik, ekonomi sosial budaya, dan sebagainya, sesuai dengan sasaran Bali Concord 1976). Kalau merasa perlu ia juga dapat menyarankan arah kebijaksanaan baru dalam sesuatu bidang kerja sama. Oleh karena laporan TF ini (mudah-mudahan) akan merupakan laporan kesatuan, yang harus berdasarkan konsensus, maka belum tentu TF nanti (bulan Juni 1983) dapat mengemukakan saran-saran yang berjangkauan jauh, yang berani membawa kerja sama ASEAN ini ke sasaran yang lebih luas daripada yang dinyatakan dalam sasaran-sasaran Bali Concord. Batu ujinya akan terletak pada pernilaian kerja sama di bidang ekonomi. Pada umumnya kerja sama di bidang politik dan sosial budaya tidak dipandang memerlukan haluan baru yang radikal. Paling-paling usul-usul mengenai penyempurnaan mekanisme pengambilan keputusan dan mekanisme pelaksanaan program-program. Namun di bidang ekonomi dewasa ini ada semacam debat adakah tujuan akhir kerja sama ekonomi ASEAN adalah sekedar penyempurnaan sistem sekarang, ataukah harus diyatakan bahwa sasaran akhir tiap kerja sama ekonomi regional adalah tercapainya suatu pasaran bebas antara negara nggota, dan bea masuk dan lain-lain unsur kebijaksanaan perdagangan luar negeri yang sama untuk semua negara anggota. Rezim yang akhir ini disebut Custom Union (kerja sama bea cukai) dan Common Market (pasaran bersama), dan contohnya ada di Eropa. Sebelum tercapainya rezim kerja sama bea cukai dan pasaran bersama maka kawasan dapat menyusun suatu Free rrade Area (FTA), di mana perdagangan berjalan bebas antara negara anggota, tapi setiap negara masih bebas untuk mempertahankan peraturan impor ekspor terhadap dunia luar. Contoh dari rezim yang akhir ini ada di Amerika Latin. Beberapa pihak swasta Filipina (bahkan pemerintahnya scndiri) beranggapan, kerja sama ASEAN harus dinyatakan ssaran akhirnya, yakni suatu pasaran bersama dengan kerja sama bea cukai yang dapat didahului oleh suatu FTA. Rezim perdagangan yang berjalan sekarang, yakni rezim PTA, harus dilihat sebagai pendahuluan. Sebaliknya, akhir-akhir ini disadari bahwa Singapura menjadi sumber masalah yang serius dalam pelaksanaan sistem PTA. Singapura merupakan negara yang sangat terbuka alam perdagangannya, hampir tidak mempunyai tarif bea masuk. Kalau tidak mempunyai bea masuk yang berarti, maka ia juga tidak dapat memberi "preferensi", dalam hentuk potongan. Tiap potongan dari 0% tetap 0%. Maka dewasa ini disadari bahwa ASEAN mempunyai (dua negara yang sukar, (dulu) Indonesia dan (sekarang) Singapura. Indonesia bersikap sukar, karena terlalu proteksionistis. Sebaliknya, karena Indonesia mempunyai tarif bea masuk tinggi maka potongan 25% menjadi potongan atau referensi yang berarti. Maka ada pendapat yang mengatakan, Indonesialah yang paling murah hati dalam pemberian preferensi, walaupun mungkin tidak disadarinya. *** ORANG dapat mempertanyakan: apakah maksud utama dari kerja sama ASEAN? Tujuan ekonomikah sehingga kerja sama di bidang lain hanya merupakan sarana untuk melicinkan kerja sama ekonomi? Ketika ASEAN dibentuk maka motif utama bukanlah kerja sama ekonomi untuk menyatukan negara-negara Asia Tenggara. Motif utama pembentukan ASEAN adalah keperluan menjamin kelangsungan hidup negara-negara Asia Tenggara terhadap sesuatu ancaman dari luar yang pada waktu itu tampak muncul. Maka motif utama adalah sesuatu keperluan politis dan strategis. Lalu kerja sama ekonomi digambarkan sebagai sarana kerja sama yang praktis. Kerja sama militer secara sengaja tidak disebut dalam Deklarasi Bangkok. Kerja sama politik juga menjadi salah satu sarana kerja sama, begitu pula kerja sama di bidang sosial budaya. Maka pertanyaan apakah kerja sama ekonomi dalam suatu kawasan dunia selalu harus menuju ke arah integrasi ekonomi antara negara-negara yang berdaulat, pada umumnya tidak masuk perhitungan konseptor. Maksud kerja sama ekonomi adalah untuk memperkuat masing-masing ketahanan nasional. Ketahanan regional dipandang sebagai jumlah ketahanan nasional dari masing-masing negara ASEAN. Para ahli yang menganjurkan kerja sama ekonomi -- yang menuju ke integrasi ekonomi -- berpendapat, ASEAN sebagai keseluruhan akan maju lebih cepat kalau ekonomi seluruh kawasan diintegrasikan. Secara teori ini mungkin benar, akan tetapi teori demikian kurang memandang penting masalah "pemerataan dan keadilan". Kalau ASEAN akan maju lebih cepat secara Common Market, akan tetapi (misalnya) Singapura dan Filipina maju jauh lebih cepat daripada Indonesia, maka orang Indonesia akan keberatan terhadap tafsiran kemajuan demikian. Soal yang sama sebetulnya berlaku di kawasan nasional. Kalau dalam negara kesatuan (seperti suatu common market) Pulau Jawa akan maju jauh lebih cepat daripada pulau-pulau lain, maka kemajuan Indonesia yang demikian itu akan rawan pula secara politis dan keamanan. DALAM kerja sama ekonomi ASEAN unsur dan masalah "keadilan" (equity) memainkan peranan yang besar, kadang-kadang seolah-olah merintangi laju kemajuan. Dalam hal ini bangsa-bangsa Asia Tenggara harus belajar untuk membedakan kepentingan (kemakmuran dan keadilan) jangka pendek dan jangka jauh. Kalau ukuran keadilan terlalu terpaku pada jangka pendek, maka ini bisa menghalanghalangi laju kemajuan. Dalam membagi lokasi proyek-proyek penanaman modal ASEAN, misalnya, janganlah setiap negara ASEAN minta jatahnya sekarang juga. Dalam industrialisasi, kalau setiap negara main proteksionisme mutlak, maka kemajuan kawasan secara keseluruhan akan terhalang. Di mana jalan tengahnya? Inilah tuntutan kepada statemanship ASEAN untuk menjawabnya. *** Pola kerja sama ekonomi dari sekelompok negara yang merupakan kawasan dapat bersifat 'menoleh ke dalam' (inward looking) atau 'menoleh ke luar' (outward looking). Usaha untuk membentuk suatu pasaran bersama dan kerja sama bea cukai dapat disebut berorientasi inward looking. Pola ini menimbulkan banyak kesulitan, karena masing-masing negara mempunyai kepentingan nasional yang belum cukup dapat didamaikan dengan kepentingan pertumbuhan regional. Perbedaan dalam tingkat kemajuan ekonomi antara berbagai negara anggota itu juga tidak memudahkan integrasi. Pola kerja sama ekonomi yang outward looking sama-sama pentingnya. Dalam orientasi demikian yang dipandang paling penting adalah pasar di luar kawasan, misalnya di negara-negara industri. ASEAN lalu memperjuangkan secara bersama kemudahan untuk masuk pasar-pasar demikian, terutama dalam alam ekonomi yang serba proteksionistis. ASEAN juga dapat mengembangkan sumber-sumber daya alamnya secara bersama, secara patungan. Pasar untuk hasil olahan kekayaan alam ini tidak diutamakan kepada pasar ASEAN, tapi untuk pasar dunia. Ini sama sekali tidak mengecilkan pasar ASEAN, sebab semakin besar pasar-di-rumah semakin kokoh proyeknya. Namun suatu proyek ASEAN hendaknya jangan semata-mata didasarkan atas pasar ASEAN. Kedua pola kerja sama ekonomi, yang menoleh ke dalam dan yang ke luar, sama-sama mendasarkan diri kepada prinsip resources pooling dan market sharing, tapi ada perbedaan tekanan mengenai pembagian pasaran itu, ke dalam ASEAN atau ke luar. Debat mengenai kedua prinsip ini masih akan berjalan terus, seperti juga di dalam negeri mengenai dua alternatif industrialisasi: yang bersifat mau mengganti impor dan yang berorientasi ke ekspor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus