Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI sebuah bukit di tepi Sungai Rein, adalah sebuah katedral yang
dipersembahkan kepada St. Pieter. Katedral itu sekarang tersohor
dengan nama Katedral Koln. Karena letaknya di jantung kota Koln.
Menara-menara yang menjulang tinggi, lonceng yang berdentang
menggema dan kemegahan arsitekturnya merupakan simbul kebesaran
bangsa Jerman. Apa]agi pada ukuran abad pertengahan.
Sesungguhnyalah, jerih payah bangkitnya bangsa Jerman yang
perkasa itu, disimbulkan oleh ketabahan membangun satu gereja
yang memakan waktu kurang lebih lima abad lamanya itu. Dari abad
ke-13 sampai abad 19, katedral itu ditekuni. Proses berdirinya
sampai menjadi bentuk yang sekarang, menyaksikan jatuh bangunnya
sejarah perjoangan bangsa Jerman, dari jaman ke jaman.
Untuk menghormati jasa mereka yang mengerahkan usaha pembangunan
itu, sejumlah pimpinan gereja yang meninggal semasa pembangunan
Katedral, dimakamkan di samping altar. Mereka diakui sebagai
simbul, yang menyalakan semangat generasi penerus untuk menjamin
tetap berkibarnya panji-panji kebesaran bangsa.
Mukti
Alkisah, adalah seorang pelaga dari desa Duren, di Jerman.
Gagah, perkasa dan menjadi kaya raya karena kekuasaannya.
Dengan kewenangannya sebagai pelaga, ia menguasai dan
membebaskan tanah yang amat luas di bagian selatan Jerman.
Tetapi Baron von Duren toh risau tentang mati. Ia tahu rakyat
dan teman-temannya sekarang sujud sambil menjilat sepatunya.
Tetapi apakah setelah mati, ia masih akan dihormat, disanjung
dan dipuja seperti sekarang?
Manakala ia ingat mati, ditengoknya bukit megah di tepi Sungai
Rein itu. Bukan main, desisnya. Tanpa diperintah tanpa dicambuk,
tanpa ditakut-takuti, rakyat setiap minggu bahkan setiap hari
berbondong-bondong ke Katedral Koln. Baron von Duren
memperhatikan betul mereka itu benarbenar sujud, mereka
benar-benar menyembah dan mereka menyanyikan puji-pujian di
depan altar. Di samping adegan sembah itu, terbaring jasad dan
patung pemimpin-pemimpin gereja.
Ah, alangkah muktinya sang biarawan yang dikubur di samping
altar itu, fikir sang Baron. Sudah matipun, masih dihormati dan
disembah orang. Itulah yang dikehendaki juga oleh Baron von
Duren.
Maka ia pun mengambil ketetapan, kelak bila harus mati, ia harus
sejajar dengan para biarawan. Agar setiap minggu, setiap hari
rakyat tetap menyembahnya, mengaguminya biarpun sudah mati.
Untuk itu, biaya apapun ia akan bayar. Kewajiban apapun akan ia
penuhi. Tekadnya bulat, tidak ada setan maupun malaikat yang
boleh menghalanginya.
Waktu niatan itu disampaikan mereka yang "baurekso" bukit,
kalangan gereja kaget dan tertegun. Apakah tempat suci ini akan
dibiarkan "dicemari" oleh terbaringnya pelaga dari Duren itu?
Bagaimana bakal reaksi para jemaah? Apa pakaian sang pelaga,
bila patungnya musti dibuat untuk dibaringkan sejajar pemimpin
gereja di katedral ini?
Namun, bila permintaan itu tidak hendak diluluskan, bagaimana
caranya, hanya dengan kitab suci, tasbih, jubah dan tongkat,
biarawan bisa menolak kehendak sang Baron dengan gemerincing
pedangnya?
Kurang jelas bagaimana prosesnya, tetapi benar kini di sebelah
kanan altar Katedral Koln terbaring jasad dan patung Baron von
Duren. Tidak berjubah seperti patung biarawan yang ada di kiri
altar, sang Baron berseragam perang dalam gereja. Tangannya
tidak menyembah, memegang tasbih atau kitab suci, tetapi siaga
berperang pada gagang pedang yang kemilauan. Kakinya tidak
berpijak pada mimbar bertatahkan inskripsi kutipan ayat suci,
melainkan ditopang oleh dua ekor anjing penjaga.
Lebih dari itu semua, patung von Duren dikerangkeng jeruji besi
yang amat kokoh. Konon pagar besi itu dibuat agar jasad dan
patung sang pelaga tidak diangkat dan dibuang ke Rein oleh
jemaah, karena alasan yang mudah diduga.
Makam berkerangkeng Baron von Duren sampai kini masih terbaring
di sebelah altar Katedral Koln. Utuh, terpelihara.
Tetapi setiap rakyat Jerman menempatkan hikmah makam itu tetap
pada proporsi sejarahnya.
Koln 6 Juni 1978.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo