Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Qaris Tajudin*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK tiga tahun lalu, saya selalu memakai Google Drive untuk mengerjakan tugas kantor, terutama untuk membuat tulisan memakai Google Docs. Awalnya hal ini dipicu kepraktisan. Waktu itu, saya bekerja di dua kantor. Memindahkan dokumen dari satu perangkat ke perangkat lain cukup merepotkan. Memakai cloud adalah solusi yang cukup praktis.
Banyak penyimpanan cloud yang bisa kita pakai dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Berbeda dengan penyimpanan cloud lain, dengan Google Drive kita tidak perlu mengunduh berkas saat akan mengubahnya dan tidak perlu mengunggahnya lagi saat sudah selesai. Kita bisa mengerjakannya langsung di penyimpanan cloud tanpa perlu unduh dan unggah.
Nah, ketika penulisan dan penyuntingan dilakukan secara online, ada sejumlah hal yang menarik untuk dibahas. Hal-hal menarik ini mungkin tidak hanya berpengaruh pada cara kerja kita, tapi juga bagaimana bahasa terbentuk di masa depan.
Sebagaimana kita tahu, semua perangkat lunak pengelola kata (word processor), seperti Microsoft Word, memiliki kemampuan mendeteksi kesalahan tik. Bahkan, dalam versi sejumlah bahasa internasional (seperti Inggris), ada pendeteksian untuk kesalahan tata bahasa (grammar). Sayangnya, dalam versi Indonesia, deteksi untuk kedua kesalahan itu masih belum sempurna. Bahkan, untuk pengecekan salah tik saja, kita harus memasukkan sendiri kamus yang telah kita lengkapi kosakatanya.
Berbeda dengan pengelola kata luring (offline) seperti Microsoft Word, peranti untuk pengelolaan kata yang daring (online) punya kemampuan melengkapi kamus sendiri. Yang jauh lebih unik adalah bagaimana cara Google Docs mendeteksi kesalahan. Tampaknya, Google memakai algoritma mesin pencari untuk menentukan apakah sebuah kata benar atau salah. Sebuah kata dianggap benar atau salah tik tidak hanya dengan mencocokkan kata itu ke kamus, tapi juga dengan melihat kecocokan konteks.
Misalnya, saat kita menulis kata “kayu merbabu” di perangkat luring, kata ini mungkin tidak dianggap salah tik karena kata “Merbabu” ada dalam gudang kosakatanya. Tapi, saat ditulis di Google Docs, kata itu dideteksi salah. Perangkat ini menyarankan kata “merbabu” diganti dengan “merbau” (dengan satu “b”) karena itu adalah nama kayu. Beda, misalnya, saat kita menuliskan “Gunung Merbabu”. Ia tidak mendeteksi adanya kesalahan. Demikian juga dengan “bahan berbahasa” yang disarankan diganti menjadi “bahan berbahaya” karena umumnya kata “bahan” bersanding dengan “berbahaya”, bukan “berbahasa”.
Yang juga menarik adalah pendeteksian kesalahan penulisan nama. Karena terhubung dengan Internet, Google menyarankan nama yang paling umum dipakai. Misalnya, ketika kita menulis “Khofifah Indar Parawangsa”, otomatis akan dianggap salah dan disarankan diganti dengan “Parawansa”; atau nama perusahaan “PT Prasada Pamunah Limbah Industri” langsung ditandai salah dan disarankan diganti dengan “Prasadha” (dengan “h”).
Bahkan mereka bisa mendeteksi kesalahan untuk nama-nama yang punya banyak ejaan. Misalnya, nama “Romi” kadang ditulis “Romy” atau “Rommy”. Saat kata itu berdiri sendiri, Google Docs tidak mempermasalahkannya ditulis dengan versi yang mana. Tapi, saat disandingkan dengan nama belakang “Herton”, penulisan “Romy” dan “Rommy” pasti dianggap salah. Mereka menyarankan “Romi Herton” karena ejaan ini yang dianggap paling benar. Kesalahan penulisan nama “RS Santoso” juga akan terdeteksi meski dalam kamusnya ada kata “Santoso”. Kata “Santoso” tidak dianggap salah saat muncul sendiri atau bersanding dengan nama lain yang memang ada, seperti “Santoso Liem”.
Meski demikian, tentu masih banyak bolong atau kekurangan dari pendeteksian mereka. Misalnya, “Lapas Kebonwaru” dianggap salah dan disarankan diganti dengan “Kebon Waru” (dipisah). Ini terjadi karena masih banyak media massa yang menulis “Kebonwaru” secara terpisah. Perangkat ini terkadang menyarankan penulisan “dimana” atau “disana” dengan disambung, padahal yang benar dipisah. Ini terjadi karena kebingungan mesin algoritma Google yang melihat masih banyak orang menulis “dimana” dan “disana” dengan disambung.
Google melihat masalah bahasa sebagai kebiasaan mayoritas orang. Mana yang paling banyak itulah yang akan dianggap benar. Artinya, di masa depan, ketika semua orang memakai pengelola kata secara daring seperti Google Docs atau perangkat lain, akan makin banyak yang mengandalkan saran penulisan dari Google. Dan ketika itu terjadi, bahasa di masa depan akan banyak ditentukan oleh mayoritas. Makin banyak orang melakukan kesalahan, makin banyak pula kesalahan itu tertular. Tentu kita berharap di masa depan Google dapat memperbaiki algoritma ini.
*) Wartawan Tempo
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo