Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana menghakimi, ketika tak ada lagi yang tak berdosa? Ketika ukuran dosa dan bukan dosa berganti? Ketika yang kotor dan suci jadi serba mungkin—dan manusia makin tak mengerti apa yang akan terjadi dengan sejarah?
Kita telah menyaksikan—ya, kita telah menempuh—pembunuhan besar dan kecil. Kita bergulat terus-menerus bagaimana seharusnya bersikap. Diam-diam kita berharap pada akhirnya sejarah akan membawa kita ke sebuah keputusan yang diterima kapan saja oleh siapa saja.
Tapi tidakkah kita terlalu percaya kepada sejarah? "Bukankah sejarah selamanya tak manusiawi, pembangun yang tak punya hati, yang mengaduk semennya dengan dusta, darah, dan lumpur?"
Itu pertanyaan yang suram dalam novel Arthur Koestler, Darkness at Noon. Novel itu datang dari pengalaman yang berbeda dengan pengalaman kita, tapi mungkin tak sepenuhnya berbeda. Koestler menulisnya di akhir 1939 di Eropa ketika sejarah adalah pergolakan politik yang gemuruh, bergairah, dan brutal. Baik gerakan Nazi (yang mau membangun Neue Ordnung, "Orde Baru") maupun Komunisme (yang hendak membangun "Kehidupan Baru") yakin bahwa sejarah akan bergerak—dengan langkah pasti dan tak peduli—ke arah yang ditunjukkan cita-cita mereka, meskipun selalu "meninggalkan lumpur yang dibawanya beserta mayat mereka yang tenggelam". Sejarah, dengan kata lain, tak pernah salah.
Dengan keyakinan itu, kekerasan dan pembunuhan tak bisa dikutuk.
Darkness at Noon tak menyebut di mana ceritanya berlangsung. Tapi pembaca akan tahu bahwa peran utamanya, Nicholas Salmanovitch Rubashov, adalah seorang aktivis Partai Komunis Rusia—tokoh fiktif yang dibentuk dari pengalaman sejati para pejuang Revolusi Oktober yang ditembak mati kawan seperjuangan mereka sendiri, Stalin, ketika orang ini memegang tampuk pimpinan. Rubashov adalah orang yang berjasa kepada Partai dalam mengukuhkan kekuasaan, tapi kemudian dianggap berkhianat oleh Sang Ketua (disebut sebagai "No. 1"). Ia disekap, disiksa, disuruh mengakui perbuatan yang tak pernah dilakukannya, dan ditembak mati.
Tapi jangan-jangan Sang "No. 1" benar. Rubashov sendiri jadi ragu. Dengan keyakinannya tentang sejarah, ia tak serta-merta sanggup mengatakan bahwa sang "No. 1" sewenang-wenang. Orang-orang yang dibunuhnya mungkin akhirnya harus mengakui—"meskipun dengan peluru di tengkuk"—bahwa penguasa tertinggi itu tak berdosa. Ia telah bertindak sebagai alat sejarah untuk membangun dunia yang lebih baik. Ia ganas, tapi tak bisa dihakimi dengan vonis yang meyakinkan.
"Tak ada kepastian," gumam Rubashov dalam selnya, tak berdaya. Kita hanya bisa naik banding ke hadapan Sejarah (ditulis dengan huruf kapital "S"). Tapi yang tragis dalam hidup manusia ialah bahwa keputusan Sejarah diberikan "hanya setelah rahang orang yang naik banding itu sudah jadi debu bertahun-tahun yang lalu".
Sang hakim datang terlambat, selalu terlambat.
Tapi saya kira tidak. Saya kira ada yang salah dalam pandangan ini. Sejarah bukanlah hakim. Ia bukan orakel sakti yang menebak. Sejarah tak berada di luar diri kita, dan kita tak berada di luarnya, dan manusia bukan cuma sarananya. Kita tak perlu menuliskannya dengan huruf kapital "S". Marx benar ketika ia mengatakan bahwa bukan sejarah yang menggunakan manusia sebagai cara untuk mencapai tujuannya. "Sejarah hanyalah kegiatan manusia dalam mengejar tujuan."
Artinya, manusia itulah yang hakim.
Tapi di sini juga persoalan tak mudah diselesaikan, ketika orang mulai mengatakan bahwa, seperti konon kata Napoleon, bahkan "nasib adalah politik". Nasib, yang dianggap tak terelakkan datang dalam hidup manusia, semakin dibaca sebagai hasil interaksi manusia, zoon politikon. Tak ada ketentuan yang datang dari langit. Tak ada nilai yang tak tersentuh pergulatan di bumi. Tak ada nilai yang universal yang ditentukan begitu saja.
Tapi jika demikian halnya, menghakimi akan mustahil. Ketika yang universal diasumsikan tak pernah terjadi, ukuran guyah. Apa yang pada suatu keadaan dianggap "baik" pada keadaan lain dianggap "jahat". Tak ada yang tak berdosa, ketika ukuran dosa dan tak berdosa tiap kali bisa berganti.
Namun bisakah kita hidup tanpa menghakimi? "Aku harus mendapatkan keadilan, atau aku akan menghancurkan diriku sendiri," kata Ivan Karamazov dalam novel Dostoyevsky yang termasyhur itu. Dan bagi orang ini keadilan yang dikehendakinya bukan yang berada di "ruang dan waktu yang tak terhingga". Ia menghendaki keadilan yang ada di bumi.
Yang diingatkan Ivan Karamazov ialah bahwa keadilan—salah satu nilai yang universal—meskipun tak pernah penuh dan kekal di dalam hidup yang terbatas, sepenuhnya berharga. "Atau aku akan menghancurkan diriku sendiri."
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo