Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya betulbetul berada di ujung tanduk. Selama ini hanya KPK yang dipercaya masyarakat sebagai lembaga yang bersungguh-sungguh dalam memerangi korupsi. Selangkah lagi, koruptor bisa jadi akan menangkita semua tahu hal ini tak boleh terjadi.
Yang membawa KPK ke ujung tanduk itu adalah musuh bebuyutannya, Dewan Perwakilan Rakyat. Dua hari yang lalu DPR resmi memasukkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK ke Program Legislasi Nasional tahun 2016. Disebutkan ada empat hal yang direncanakan untuk direvisi, yakni soal pemberian wewenang menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), pembentukan dewan pengawas, revisi wewenang penyadapan, dan pengangkatan penyidik independen.
Parlemen berdalih revisi tersebut dilakukan untuk menguatkan KPK. Tapi tentu saja hal itu cuma akal bulus dari lembaga yang anggotanya sudah banyak dibui oleh komisi ini. Di antara empat poin tersebut, cuma pengangkatan penyidik independen yang berpengaruh positif. Tiga poin lainnya justru akan melemahkan komisi antirasuah itu.
Wewenang menerbitkan SP3, misalnya, justru akan membuat penyidik KPK memiliki kesempatan bermain-main dengan perkara yang sedang diusut, padahal ini merupakan salah satu sumber korupsi. Selama ini, tanpa "gigi mundur" SP3, penegakan hukum oleh KPK berjalan baik. Lagi pula, jika sebuah kasus tak bisa dikembangkan, penyidik KPK bisa menghentikannya di tahap penyelidikan.
Revisi atas wewenang penyadapan juga berdampak besar terhadap "kesaktian" KPK. Berkat penyadapanlah banyak koruptor kakap, termasuk anggota DPR, tertangkap tangan. Kasus semacam ini penting dalam peperangan melawan korupsi, karena membuat penyidikan berjalan lebih cepat, berbeda dengan dugaan korupsi yang diperoleh dari hasil pengembangan kasus.
Masyarakat pun memahami kerugian dari revisi Undang-Undang KPK, termasuk soal pengebirian wewenang KPK untuk menyadap. Lihat saja hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting yang digelar Desember lalu dan dipublikasikan pertengah an bulan ini. Sebanyak 61 persen masyarakat berpikir semestinya lembaga antikorupsi itu diperkuat, bukan sebaliknya; dan 86 persen responden tidak setuju penghapusan wewenang penyadapan. Alasan masyarakat terang-benderang, yakni karena langkah itu akan melemahkan KPK dan membuat korupsi berkembang semakin banyak. Seharusnya DPR memperhatikan keinginan masyarakat ini dengan tidak mengutak-atik apa yang sudah menjadi kekuatan KPK. Sayang DPR mengabaikan suara masyarakat.
Kini, publik tinggal berharap pada Presiden Jokowi. Pemerintah mesti melawan pelemahan KPK ini, tidak ada opsi lain, kalau memang berkomitmen memerangi korupsi. Bila pemerintah membiarkan aksi DPR ini, Jokowi akan dikenang buruk, karena presiden sebelumnya berhasil membuat KPK tetap ajek di tengah berbagai goyangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini