Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lelang perdana Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sukses besar.
Total penawaran yang masuk melebihi jumlah saham yang ditawarkan.
Belum menjangkau pemodal asing dan meningkatkan pasokan valuta asing.
Haryo Kuncoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lelang perdana Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) belum lama ini agaknya sukses besar. Total penawaran yang masuk mencapai Rp 29,86 triliun atau 4,27 kali lipat dari jumlah saham yang ditawarkan (oversubscribed). Dari lelang itu, nilai total SRBI yang dibukukan mencapai Rp 24,45 triliun, jauh melewati target awal yang dipatok “hanya” Rp 7 triliun. Artinya, klaim bahwa operasi moneter SRBI lebih memihak pasar terbukti. Pelaku pasar sangat positif merespons kehadiran instrumen anyar Bank Indonesia ini.
Emisi SRBI diharapkan akan mendorong pendalaman pasar uang domestik. Instrumen ini menjadi alternatif perbankan dalam menyalurkan kelebihan likuiditasnya, alih-alih hanya berkutat di pasar uang antarbank.
SRBI juga membuka ruang bagi pemain asing. Di pasar sekunder, ia dapat dialihkan dan dimiliki oleh pihak non-bank, baik oleh penduduk maupun orang asing. Masuknya pemain asing diyakini akan mendukung stabilisasi nilai tukar rupiah.
Kendati sukses dalam lelang perdana, hasil lelang ini memberi pelajaran penting. Pembeli utama SRBI di pasar perdana ternyata adalah perbankan. Di satu sisi, fungsi intermediasi mengharuskan perbankan mentransformasi maturitas dari simpanan jangka pendek menjadi pinjaman jangka panjang. Di sisi lain, penerbitan SRBI (bertenor pendek) didasarkan pada sekuritisasi surat berharga negara (SBN) yang bertenor panjang. Aspek maturitas yang berlawanan arah terjadi di sini. Artinya, perbankan yang memegang SRBI sejatinya masih menghadapi risiko ketidaksesuaian maturitas (maturity mismatch).
Klaim bahwa semakin besar perbankan yang membeli SRBI, semakin besar pula kemungkinan pemain asing memegang SRBI juga perlu diberi catatan. Jangankan bertransaksi dengan pemodal asing, menjual SRBI kepada nasabah domestik pun perbankan belum memiliki produk spesifik untuk mengemasnya.
Komposisi tenor di atas tampaknya juga belum mengakomodasi preferensi pemain asing yang sebatas ingin bermain “aman”. Instrumen SRBI tenor 1-3 bulan sejatinya lebih prospektif untuk menjaring aliran uang panas yang ingin mengambil posisi jangka pendek dengan risiko yang lebih rendah.
Dalam lingkup internal, penerbitan SRBI bertenor 12 bulan, misalnya, akan berhadapan langsung dengan surat perbendaharaan negara (SPN) bertenor 12 bulan yang dirilis Kementerian Keuangan. Dua instrumen keuangan dengan tenor yang sama ini niscaya akan menciptakan “kanibalisme” pasar.
Dalam skala yang lebih luas, penerbitan SRBI juga harus mempertimbangkan instrumen serupa yang ditawarkan negara lain. Apalagi perbedaan suku bunga antara pasar keuangan Indonesia dan Amerika Serikat terus menyempit. Karena itu, sistem lelang SRBI akan menuntut suku bunga diskonto yang kompetitif.
Lantas, apakah suku bunga diskonto SRBI mampu mempengaruhi ujung kurva imbal hasil di pasar SPN, SBN, atau obligasi korporasi lainnya? Pada titik ini, perputaran likuiditas di satu pasar dapat mengganggu perputaran likuiditas di pasar aset finansial substitusinya.
Pokok masalahnya adalah publik yang tertarik untuk memegang SRBI berstatus sebagai pembeli “ketiga”, yakni SBN dari Kementerian Keuangan ke BI, SRBI dari BI ke perbankan, lalu SRBI dari perbankan dijual ke publik. Panjangnya mata rantai penjualan SRBI bisa menekan prospek imbal hasil, meskipun suku bunga diskontonya tinggi.
Dalam kondisi demikian, pemain asing butuh waktu lama untuk mempelajari keunggulan kompetitif yang terkandung dalam SRBI sebagai alternatif aset portofolio di Indonesia. Akibatnya, dampak penerbitan SRBI terhadap aliran masuk valuta asing dan stabilisasi nilai tukar rupiah masih belum jelas.
Aspek keberlanjutan SRBI juga perlu diperhatikan sejak dini. Penerbitan SRBI diposisikan hanya untuk kontraksi pada saat likuiditas perbankan melimpah atau simetris, juga berlaku untuk ekspansi pada saat likuiditas rendah. Aspek keberlanjutan itu memberikan implikasi yang berbeda-beda.
Jika SRBI diposisikan hanya untuk kontraksi, BI harus menahan SBN tersebut hingga jatuh tempo. Sementara itu, BI masih memiliki SBN senilai Rp 1.300 triliun yang merupakan warisan skema berbagi beban. Komposisi SBN yang dimiliki BI sejatinya kurang ideal jika diteropong dari teori portofolio aset keuangan.
Sebaliknya, jika SRBI juga berlaku untuk keperluan ekspansi, BI harus memastikan SRBI selalu hadir di pasar sekunder. Sayangnya, pasar sekunder untuk menampung transaksi SRBI belum sekuat negara lain. Menurunnya kinerja pasar negotiable certificate of deposit (NCD) menjadi bukti yang sahih.
Dengan beberapa butir catatan di atas, usaha ekstra semua pemangku kepentingan masih diperlukan sehingga ekspektasi pasokan valuta asing dan stabilitas nilai tukar rupiah dapat segera tercapai.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo