Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ariel Heryanto
Pemuatan foto Saddam Hussein, yang digantung mati, di media sempat menjadi perdebatan di masyarakat ”liberal” Amerika Serikat dan Eropa Barat. Perdebatan semakin seru setelah beredarnya rekaman video dengan telepon genggam.
Sejauh mana sebuah gambar layak disajikan di sebuah media umum? Bagaimana kebebasan pers sebaiknya ditata secara berimbang dengan tanggung jawab etika dan perlindungan bagi sebagian publik yang merasa terganggu oleh gambar seperti itu? Pertanyaan mendasar ini belum terjawab tuntas oleh masyarakat yang berdemokrasi liberal.
Perdebatan yang terjadi tidak berdiri sendiri. Ini kelanjutan perdebatan panjang tentang serangan Amerika ke Irak (keabsahannya, tujuannya, hasilnya), proses pengadilan atas Saddam Hussein (prosedurnya, vonisnya), dan pelaksanaan vonis itu (waktunya, status vonis), serta keberpihakan media massa arus utama di Amerika Serikat terhadap semua itu.
Terlepas dari masalah politik dan hukum, ditinjau secara sempit, pemuatan foto itu mengangkat sejumlah persoalan etika media massa. Juga bagi kita di Indonesia, dengan merebaknya kasus perselingkuhan seorang politikus yang terekam telepon genggam dan dibesarbesarkan oleh industri gosip nasional.
Dalam kasus Saddam Hussein setidaknya ada dua hal yang layak dipertimbangkan. Pertama, secara obyektif dan kuantitatif, terbukti banyak sekali orang yang berminat menyaksikan gambar ”gantung mati” itu. Kedua, kehebatan teknologi informasi seperti telepon genggam terbukti menaklukkan jurnalisme yang telanjur mapan dalam masyarakat liberal. Berikut ini kita tengok satu per satu.
Pertama, besarnya minat khalayak pada pembunuhan Saddam Hussein tercatat secara meyakinkan dalam angka statistik pengunjung sejumlah situs web dan pencari web. Di web, orang juga memberikan tanggapan gembira dan penjelasan mengapa mereka suka menonton gambar itu.
Harus diakui, data yang tersedia mungkin tidak mewakili tanggapan masyarakat dunia. Sebagian besar berbahasa Inggris, dan tanggapan yang masuk tampaknya sebagian besar dari kalangan muda yang mudah dicuci otaknya. Tapi ini bukan persoalan Barat lawan Islam, atau antargenerasi. Di forum Internet yang sama, tidak sedikit yang mengecam pemuatan gambar hukum gantung Saddam Hussein. Sedangkan di Timur Tengah tidak sedikit yang merayakan kematian Saddam Hussein di media dan tempat publik.
Mengapa orang suka menyaksikan gambar matinya Saddam Hussein? Apakah ini alasan ideologis; ketakutan atau kebencian pada politik Saddam? Atau kecanduan adegan sadistis di layar monitor, seperti yang diobral televisi Indonesia? Tidak jelas. Yang jelas, besarnya minat pada adegan kontroversial itu menjadi bahan pembenar bagi media yang ingin menyiarkannya.
Kedua, keberhasilan telepon genggam merekam seluruh proses hukum mati Saddam Hussein, ditambah kemampuan Internet menyebarluaskan hasil rekaman itu secara supercepat, superluas, dan supermurah, merupakan pukulan telak bagi industri media arus utama. Selama ini media arus utama menjadi sumber informasi dengan kewibawaan tertinggi.
Bagi para pengelola dan pekerja industri media massa, rekaman video itu sulit diabaikan, biarpun dibuat secara tidak profesional. Mereka sendiri telah bertahun mengejar kasus Saddam Hussein tanpa berhasil mencapai yang dihasilkan rekaman amatiran itu. Bagaimana rekaman itu bisa diabaikan bila jutaan orang mencarinya di Internet? Bukankah ini tambang emas di tengah persaingan sengit antarindustri media massa?
Tentu saja, ketika sebuah perusahaan media merebut peluang komersial seperti itu, yang kemudian diajukan sebagai pembenaran bukan alasanalasan komersial. Pada kasus gambar Saddam Hussein, sejumlah redaktur berkilah: ”Khalayak sudah beramairamai menyaksikan gambar yang sama di Internet. Apa salahnya bila pers menyajikannya?” Malahan ada yang berkilah lebih jauh: ”Di berbagai weblog, gambar sadistis Saddam Hussein disajikan tanpa konteks yang cukup dan berimbang. Kami menyiarkan potongan gambar yang sama, disertai informasi latar belakang, analisis profesional, dan konteks yang memadai.”
Alasan klise seperti itu ada benarnya. Tetapi ada yang tidak dikatakan di situ. Terlepas dari pertimbangan ”baik” atau ”buruk”nya dampak penyajian sebuah gambar kekerasan bagi yang melihat, ada perbedaan penting di antara penyajian gambar yang sama lewat dua media yang berbeda.
Pada situs web, biasanya orang hanya bisa menyaksikan sebuah gambar kekerasan atau porno bila yang bersangkutan dengan sengaja mencari dan membuka halaman yang memuat gambar itu. Pada sebagian situs web, malahan ada semacam peringatan sebelum halaman yang bergambar itu bisa dibuka. Semacam pengaman berlapis: pengunjung ditanya ulang apakah benarbenar mau melihat halaman yang dicari dan siap menanggung akibatnya. Dalam masyarakat liberal, orang dewasa berhak membuat keputusan sendiri tentang apa yang terbaik untuknya, setelah diberi informasi tentang risiko.
Proses peringatan seperti itu tidak ada pada berita koran dan tayangan berita di televisi. Gambar kontroversial bisa hadir tidak terduga di hadapan orang dari aneka latar belakang ketika berada di ruang keluarga di rumahrumah, di dekat meja makan, atau di ruang tunggu kantor.
Persoalan yang masih belum tuntas dijawab di masyarakat liberal Barat telah hadir di Tanah Air. Di zaman Orde Baru, liberalisme dan demokrasi tampak seperti anganangan yang sulit dijangkau. Kini keduanya meluber di sekitar kita, dan ternyata tidak secantik penampilannya dari kejauhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo