Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kemalasan penyelenggara negara untuk melaporkan kekayaannya harus dikikis dengan membikin aturan yang lebih ketat. Sanksi bagi pelanggar pun harus jelas. Mayoritas pejabat dan anggota legislatif mengabaikan kewajiban ini karena longgarnya aturan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Salah satu contoh buruk diperlihatkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta. Tak satu pun dari 106 anggota Dewan DKI menyerahkan laporan harta kekayaan ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Kasus yang sama terjadi di DPRD Provinsi Lampung, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Data dalam situs KPK pun memperlihatkan fenomena yang menyedihkan. Tingkat kepatuhan pejabat dan politikus kita amat rendah dalam melaporkan hartanya. Di kalangan eksekutif, hanya 9,95 persen yang melaporkan harta. Adapun di yudikatif sebanyak 4,67 persen, dan di lembaga legislatif, yang meliputi anggota DPR dan DPRD, hanya 4,5 persen.
Komisi antikorupsi perlu secara serius mengkaji hal itu. Kewajiban melaporkan harta jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Sistem pelaporan harta merupakan aspek penting dalam pencegahan korupsi. Jika aspek ini diabaikan, tugas KPK akan semakin berat dalam memerangi korupsi.
Cara melapor yang rumit sering dijadikan alasan oleh penyelenggara negara yang enggan melaporkan hartanya. Keluhan ini perlu diperhatikan, dengan membuat sistem yang lebih simpel. KPK juga bisa bekerja sama dengan Kementerian Keuangan untuk bisa mengakses laporan pajak. Harta para pejabat dan politikus sebetulnya sudah tecermin dari laporan pajak mereka.
Pembenahan aturan pun diperlukan. Aturan bahwa “setiap penyelenggara negara wajib melaporkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat” selama ini bagikan macan ompong. Pelaporan semestinya dilakukan paling lambat dua bulan setelah dilantik. Masalahnya, tidak ada sanksi administratif yang jelas dan baku bagi pelanggar kewajiban ini.
Kebijakan lainnya juga tidak mendukung sistem pencegahan korupsi itu. Misalnya aturan mengenai pencalonan anggota legislatif. Semula Komisi Pemilihan Umum hendak memasukkan pelaporan kekayaan sebagai salah satu syarat wajib bagi calon legislator. Belakangan, aturan ini dilonggarkan setelah diprotes kalangan partai politik. Menurut KPU, kewajiban itu akan dijadikan syarat pelantikan anggota legislatif. Hanya, efektivitas kebijakan ini juga masih diragukan sepanjang tidak ada sanksi.
Pemerintah perlu memperkuat aturan pelaporan harta penyelenggara negara agar lebih efektif. Jika perlu, dengan mengajukan revisi undang-undang. Sanksi administrasi, seperti tidak bisa dilantik sama sekali atau tak mendapat gaji sebelum melaporkan harta, bisa dipertimbangkan. Tanpa sanksi berat, kewajiban melaporkan harta akan selalu diabaikan.