Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penandatanganan perjanjian bantuan hukum timbal balik (MLA) antara pemerintah Indonesia dan Swiss pada 4 Februari lalu merupakan MLA bilateral. Webster (2000) menjelaskan, MLA merupakan pemberian bantuan hukum berdasarkan aturan formal yang umumnya berkaitan dengan proses hukum dari satu otoritas negara ke otoritas negara lain sebagai respons atas permintaan bantuan proses hukum yang terjadi di suatu negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun adanya MLA ini tidak serta-merta membuat pemerintah Indonesia dapat lolos dari kendala rahasia perbankan serta sistem hukum perbankan dan jasa keuangan Swiss yang menganut model tertutup, hasil ratifikasi dari Konvensi Basel 1967. Pemerintah Indonesia harus menghormati kedaulatan hukum negara Swiss, dan secara formal MLA perlu diratifikasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar dapat berlaku secara efektif.
MLA itu juga tidak secara serta-merta membuat pemerintah Indonesia dapat "dikecualikan" dari ketatnya rahasia perbankan Swiss. Pemerintah "hanya" dapat mengakses beberapa hal terkait dengan penyitaan dan pemberian bantuan dalam proses hukum.
Masyarakat berharap besar perjanjian itu dapat menjadi instrumen hukum bagi eksekusi dan pengembalian aset, baik yang berupa uang, surat berharga, maupun aset lain, di Swiss. Namun yang perlu dipahami adalah bahwa perjanjian ini bersifat pemberian bantuan hukum terbatas. Jadi bukan berarti pemerintah Indonesia diberi keleluasaan melakukan tindakan hukum, seperti membekukan aset, menyita, ataupun melakukan tindakan hukum lain.
Dua hal yang menjadi catatan atas MLA ini adalah aspek formalitas dan aspek material substansi yang terkandung dalam perjanjian tersebut. Secara formal, untuk dapat diterapkan secara efektif, sebuah MLA harus diratifikasi melalui proses politik oleh DPR. Jika tidak diratifikasi, MLA tidak berarti apa-apa dan hanya menjadi retorika belaka. Meskipun ini bukan pertama kalinya Indonesia meratifikasi MLA, MLA Indonesia-Swiss ini terasa cukup spesial karena selama ini Swiss dianggap sebagai tempat yang "aman dan nyaman" bagi pelaku kejahatan kerah putih.
Ada keraguan MLA akan terjebak dalam proses ratifikasi oleh DPR, mengingat biasanya kejahatan kerah putih selalu melibatkan penguasa. Littmanen (1995) menyebutkan bahwa tipologi kejahatan kerah putih umumnya dilakukan oleh orang yang berpendidikan dan memiliki akses ke penguasa dengan tujuan akhir mendapat keuntungan ekonomi secara ilegal.
Selama ini Swiss dianggap sebagai salah satu tempat untuk menyimpan dana hasil kejahatan kerah putih, misalnya melibatkan pengusaha dan anggota legislatif. Contohnya kasus penyalahgunaan kredit yang melibatkan ECW Neloe, mantan Direktur Utama Bank Mandiri, yang menyimpan dana ilegalnya di Swiss.
Logis jika masyarakat menyangsikan komitmen DPR untuk meratifikasi MLA Indonesia-Swiss tersebut, mengingat tingkat kejahatan kerah putih, baik korupsi maupun pencucian uang, justru banyak berasal dari legislator. Masyarakat harus terus mengawal ratifikasi MLA tersebut.
Ruang lingkup substansi MLA Indonesia-Swiss tersebut adalah "melacak, membekukan, menyita, meminta dokumen, memanggil saksi dan saksi ahli, dan melakukan penahanan". Maka perjanjian tersebut hanya dapat menjangkau tindak pidana yang dilakukan di Indonesia dengan penyimpanan dana di Swiss ataupun sebaliknya. MLA tersebut tidak dapat menjangkau Swiss sebagai tempat pencucian uang. Sebab, untuk membuka informasi itu, Swiss tetap memerlukan persetujuan dari bank korespondensi dan institusi keuangan tempat dana tersebut disimpan sesuai dengan ketentuan Konvensi Basel 1967.
Rudger (2016) menyampaikan dalam konferensi tahunan kriminologi bahwa kejahatan kerah putih telah berkembang seiring dengan munculnya lembaga keuangan nonbank sebagai sarana investasi. Dana yang ditempatkan di bank atau lembaga keuangan di Swiss melalui perusahaan pengelola dana (private equity) akan diinvestasikan ke negara-negara yang tidak memiliki MLA dengan negara lain, termasuk Indonesia, seperti Mauritius dan Bahama. Akibatnya, meskipun Swiss memiliki MLA dengan negara terkait, Swiss tetap terhambat untuk memberi bantuan hukum (melaksanakan MLA) kepada negara terkait.
MLA Indonesia-Swiss akan membantu melacak dana hasil kejahatan yang melibatkan bank. Namun bantuan tersebut hanya sebatas memberi informasi tentang aliran dana. Jika dana tersebut telah dipindahkan ke bank di negara yang tidak memiliki MLA dengan Indonesia, eksekusi tetap tidak dapat dilakukan.
Perkembangan instrumen investasi di luar bank konvensional menjadi tantangan semua negara. Pemerintah harus dapat memiliki ratifikasi MLA dengan sebanyak mungkin negara, mengingat kejahatan kerah putih dapat memanfaatkan celah kekebalan hukum lintas batas.
Selain memperkuat kerja sama internasional, peningkatan profesionalitas dan kredibilitas aparat penegak hukum mutlak diperlukan untuk mempersempit ruang gerak kejahatan. Pemerintah juga perlu memperkuat kerja sama dengan Interpol dan upaya lainnya.