Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi Meliana - terdakwa kasus penodaan agama di Tanjung Balai, Sumatera Utara-amat disesalkan. Alih-alih mengoreksi hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Medan, Mahkamah malah menguatkan vonis zalim terhadap perempuan Tionghoa beragama Buddha ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Keluhan Meliana soal kerasnya suara dari pengeras suara yang menyiarkan azan tak bisa dianggap sebagai penodaan agama. Pernyataan yang dilontarkan perempuan 44 tahun tersebut kepada tetangganya pada Juli 2016 itu sesungguhnya hanya protes yang sangat manusiawi dan tak perlu membuat Meliana diseret ke pengadilan. Suami Meliana pun sudah meminta maaf jika pernyataan istrinya itu menyinggung umat agama lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sayangnya, emosi warga Tanjung Balai malah tersulut dan menghujani rumah Meliana dengan batu. Mereka menyerang belasan vihara dan kelenteng. Polisi tak bisa menghalau para pengacau. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara ikut memperkeruh suasana dengan menyatakan bahwa Meliana melakukan penodaan agama. Berbeda dengan Meliana yang divonis 1,5 tahun penjara pada 21 Agustus 2018, tujuh pelaku yang nyata-nyata menodai kesucian rumah ibadah divonis kurang dari 2 bulan penjara dan satu pelaku lainnya dihukum 2 bulan 18 hari.
Sejumlah tokoh keberagaman saat memberikan dukungan kepada Meliana melalui petisi Gerakan Indonesia Kita (Gita) di Jakarta Pusat, Kamis, 30 Agustus 2018. Meiliana dinilai telah melakukan penistaan agama sesuai dengan Pasal 165 KUHP akibat mengeluhkan volume azan. Tempo/Fakhri Hermansyah
Sebagai pintu terakhir bagi para pencari keadilan, Mahkamah Agung semestinya meluruskan kekeliruan para penegak hukum. Salah kaprah penggunaan delik penodaan agama itu terjadi sejak dalam penyidikan oleh polisi dan penuntutan jaksa. Hakim Pengadilan Negeri Medan pun meminggirkan pendapat saksi ahli bahwa Meliana tak menodai agama. Pengadilan Tinggi Medan juga ikut menguatkan vonis tersebut dua bulan kemudian.
Mahkamah seharusnya menunjukkan kepada para penegak hukum bahwa Pasal 156 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak bisa digunakan secara gegabah. Pasal karet yang berisi penodaan agama ini sudah terlalu sering memakan korban dan digunakan untuk menjerat orang yang menggunakan kebebasan berpendapat. Pasal ini juga kerap digunakan untuk tujuan politis. Hal ini terbukti dari vonis 2 tahun penjara terhadap bekas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pada Mei 2017. Basuki menyitir Surat Al-Maidah 51 ihwal larangan memilih pemimpin non-muslim.
Penerapan pasal penodaan agama bagi Meliana jelas terlihat serampangan. Sebab, pernyataan Meliana tidak disampaikan di depan publik, melainkan hanya kepada seorang tetangganya. Meliana pun tidak dengan sengaja mengeluarkan pernyataan itu untuk mengungkapkan permusuhan terhadap umat agama lain. Kejanggalan lain dalam proses peradilan adalah dimasukkannya fatwa MUI sebagai alat bukti.
Semua keganjilan itu semestinya diperhatikan oleh hakim agung Desnayeti, Gazalba Saleh, dan Sofyan Sitompul yang menangani kasasi Meliana. Putusan yang mereka keluarkan justru memperjelas betapa lemahnya posisi minoritas di negeri ini dalam masyarakat dan ketika berhadapan dengan hukum. Vonis itu juga merupakan preseden buruk bagi kebebasan berpendapat dan kebebasan beragama.
Masih ada cara memperbaiki kesalahan fatal vonis tersebut. Pengacara Meliana harus mengajukan peninjauan kembali. Mahkamah pun perlu lebih cermat melihat penerapan pasal penodaan agama yang mengakibatkan Meliana masuk penjara.