Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Mengemplanglah, Maka Kuampuni!

19 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yustinus Prastowo

Kontroversi baru kembali dipantik. Setelah mengaduk-aduk sentimen publik dengan menyodorkan rencana revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan antusias berinisiatif mengajukan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Nasional. Terlepas dari pro-kontra yang mengelilingi, ketergesaan pengajuan RUU ini mengundang curiga. Terlebih, ketika diperhatikan secara saksama, ide pengampunan pajak selalu muncul di awal sebuah rezim berkuasa—baik saat Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, maupun kini Joko Widodo. Tulisan ini hendak mengurai beberapa lapis persoalan dan membentang pengalaman negara lain agar tilikan lebih menukik ke jantung persoalan. Tanpa pembaruan menyeluruh terhadap sistem perpajakan, pengampunan pajak (tax amnesty) hanya memberi cek kosong bagi penumpang gelap dan impunitas bagi pengemplang pajak.

Pengampunan pajak bukanlah hal baru. Setidaknya sudah 40 negara memberlakukannya. Indonesia pernah melakukannya pada era Sukarno melalui Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1964 dan era Soeharto dengan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1984. Setelah itu, pemerintah memberikan pengampunan terbatas (sunset policy) melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dan penghapusan sanksi administrasi (reinventing policy) dengan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 91/PMK.03/2015.

Secara umum, pengampunan pajak bertujuan: pertama, meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek. Kedua, menambah jumlah wajib pajak. Ketiga, mengintegrasikan sektor informal ke dalam sistem perekonomian. Keempat, memanfaatkan dana yang tak terpakai. Dan, kelima, sebagai langkah awal kebijakan rezim baru untuk menerapkan sanksi lebih besar. Tapi, bagi sebagian pihak, pengampunan pajak memiliki kelemahan, yakni (i) menurunkan persepsi tentang fairness, (ii) menggambarkan ketidakseriusan terhadap pengemplangan pajak, dan (iii) menunjukkan lemahnya administrasi pajak.

Pengalaman yang beragam di negara-negara yang pernah memberikan pengampunan disarikan oleh Katherine Baer dan Eric Le Borgne (IMF : 2008). Keberhasilan pengampunan pajak—demikian menurut Baer dan Le Borgne—lebih sebagai pengecualian ketimbang norma. Potensi kegagalannya lebih besar, terutama di negara berkembang. Pokok perkaranya bukanlah pada apakah ide ini baik atau buruk, melainkan belum adanya fakta empiris yang meyakinkan bahwa pengampunan pajak dijamin berhasil. Karena itu, kita dituntut lebih cermat dan awas dengan kontekstualisasi best practices.

Amerika Serikat dalam kurun 30 tahun memberikan lebih dari 18 kali pengampunan di 41 negara bagian, dan mendapatkan penerimaan US$ 5,3 miliar. Mereka lantas kapok dan menerbitkan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA), yang secara unilateral mengejar harta warga negara Amerika di seluruh dunia. Afrika Selatan, yang kerap dirujuk sebagai contoh negara berkembang, dianggap berhasil melakukan pengampunan pajak pada 1995, 2003, dan 2006. Tapi mereka mendahuluinya dengan rekonsiliasi politik yang mulus dan tuntas. Lalu Italia, yang kini diacu Indonesia, menawarkan pengampunan pajak bernama scudo fiscale (perisai pajak) dan hanya berhasil menarik 80 miliar euro—dari 500 miliar euro aset di luar negeri yang teridentifikasi.

Di India, Das Gupta dan Mokherjee (1995) menemukan fakta bahwa pengampunan pajak tak berhasil meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan. Studi Najeeb Memon (2015) dan James Alm (1998) bahkan menunjukkan fakta mengkhawatirkan. Sebagian besar pengampunan pajak di negara berkembang tak berhasil dan dalam jangka panjang cenderung merugikan penerimaan negara. Persoalan terbesar adalah lemahnya administrasi perpajakan, karena minimnya data akurat yang dimiliki otoritas pajak dan tingginya ketidakpastian hukum. Ini mengakibatkan rendahnya kepercayaan publik. Ironisnya, penelitian John Hasseldine (1998) menemukan bahwa tax amnesty membawa persoalan moral, yakni ketika pengemplangan pajak dianggap bukanlah aib, karena dilakukan banyak orang.

Berbagai kisah itu semakin terang membuktikan pengampunan pajak bukanlah "one size fit all policy". Hal ini seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah dan DPR untuk berhati-hati dengan gagasan tersebut. Ketiadaan titik acu dan analisis yang komprehensif semakin menegaskan bahwa tax amnesty tak lebih dari sekadar pemanfaatan momentum di tengah ketidakpastian ekonomi-politik. Tak keliru jika Ralph C. Bayer, Harald Oberhofer, dan Hannes Winner (2015) menyimpulkan bahwa pengampunan pajak adalah permainan siasat antara kebutuhan pemerintah akan penerimaan dan ekspektasi wajib pajak untuk menghemat beban pajak di masa mendatang.

Menimbang Model Ideal

Kurun 2009-2014, target penerimaan pajak kita tak pernah tercapai. Bahkan, hingga 30 September 2015, Direktorat Jenderal Pajak baru bisa mengumpulkan 53 persen dari target Rp 1.294 triliun.

Financial Integrity (2014) juga mencatat Indonesia adalah negara terbesar kedelapan yang memiliki aliran uang haram, yakni sebesar US$ 18 miliar. Juga negara peringkat kesembilan yang warga negaranya menyimpan US$ 331 miliar dana di negara suaka pajak (Tax Justice Network : 2010). Hal ini diperparah oleh rendahnya kepatuhan pajak sektor informal, yang mencapai Rp 2.000-2.500 triliun, dengan potensi pajak tak kurang dari Rp 40 triliun per tahun (Schneider : 2010). Bertolak dari fakta di atas, ide pengampunan pajak memperoleh pembenaran dan bertujuan mulia, yaitu mendongkrak penerimaan dan memperluas basis pajak.

Namun analisis terhadap RUU Pengampunan Nasional dan simpang-siur sikap pemerintah menunjukkan ide ini belum akan menjawab persoalan. Setidaknya ada lima persoalan mendasar. Pertama, ide "rekonsiliasi nasional" jelas sebuah eufemisme untuk membungkus praktek penghindaran dan deklarasi bahwa pengemplangan pajak adalah sebagai hal lumrah. Kedua, cakupan pengampunan yang bukan hanya pidana pajak, melainkan semua jenis pidana kecuali narkotik, terorisme, dan perdagangan manusia. Ini jelas preseden buruk bagi upaya penegakan hukum, khususnya memerangi korupsi. Ketiga, tarif tebusan yang sangat rendah—berkisar 3, 5, dan 8 persen—bahkan akan diturunkan menjadi 2, 4, dan 6 persen sesuai dengan jangka waktu keikutsertaan dalam pengampunan. Pembedaan ini juga tidak adil dan dapat mendistorsi kepatuhan, karena tak membedakan wajib pajak yang sudah terdaftar dan patuh dengan wajib pajak baru.

Masalah keempat, tak ada skema repatriasi yang memastikan dana yang ditarik dan dimintakan pengampunan harus ditempatkan dalam perbankan nasional atau instrumen investasi yang ditentukan pemerintah. Sukarno dan Soeharto bahkan mewajibkan hal ini. Tanpa skema ini, janji repatriasi dana dapat berujung pada pepesan kosong. Terakhir, belum ada peta jalan reformasi perpajakan yang menyeluruh. Di dalamnya termasuk penguatan kelembagaan Ditjen Pajak menjadi otoritas yang kredibel dan profesional, akses fiskus ke sistem keuangan dan perbankan melalui revisi Undang-Undang Perbankan, implementasi Single Identification Number, serta administrasi pasca-pengampunan yang menjamin kepatuhan dan penerimaan pajak akan naik signifikan.

Tanpa kesiapan itu semua, agak sulit untuk tak mencurigai bahwa latar belakang yang menjelaskan ketergesaan usul pengampunan ini ditemukan pada arus perpajakan internasional. Tepatnya pada inisiatif OECD dan G-20 tentang Base Erosion and Profit Shifting Action Plan, yang mulai berlaku pada 2017. Ini adalah kesepakatan yang akan efektif menangkal praktek penghindaran pajak (termasuk transfer pricing) melalui skema pertukaran data otomatis, di mana Indonesia ada di dalamnya. Dengan rezim keterbukaan itu, pemerintah sangat berpeluang mengendus dan menguras pundi-pundi pengemplang pajak lewat penegakan hukum (stick). Kondisi itulah yang tampaknya dirisaukan, sehingga ada kesan ketergesaan untuk mengajukan proposal tax amnesty.

Sayangnya, pemukul itu terancam tak akan pernah bisa digunakan bila carrot sudah diobral sebelum waktunya. Dan, sekali lagi, miopia sejarah akan terulang, karena pemerintah yang lahir dari rahim demokrasi ini lunglai di hadapan kegelojohan pemilik uang. Dalam pacuan waktu, tak sulit menerka bahwa arah pengampunan ini adalah pengampuan. Maka, mengemplanglah, dan kau akan diampuni! l

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus