Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Mimpi Buruk Dinasti Al-Saud

Persekusi, penculikan, dan pembunuhan terhadap pembangkang bukan barang baru bagi Arab Saudi.

2 November 2018 | 07.00 WIB

Seorang demonstran memegang gambar Jamal Khashoggi saat protes di depan konsulat Arab Saudi di Istanbul [Osman Orsal / Reuters]
Perbesar
Seorang demonstran memegang gambar Jamal Khashoggi saat protes di depan konsulat Arab Saudi di Istanbul [Osman Orsal / Reuters]

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Smith Alhadar
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Persekusi, penculikan, dan pembunuhan terhadap pembangkang bukan barang baru bagi Arab Saudi. Hubungannya yang kuat dengan Amerika Serikat dan Eropa membuat Saudi kebal dari kritik internasional. Tapi, dengan kematian jurnalis Jamal Khashoggi di dalam Konsulat Saudi di Istanbul, Turki, kekebalan Riyadh menghadapi ujian berat. Setelah 18 hari membantah, pada 20 Oktober, Saudi secara resmi mengakui wartawan senior Saudi itu tewas dalam suatu perkelahian di Konsulat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saudi pun memecat Ahmad al-Asiri, wakil ketua badan intelijen, dan Saud al-Qahtani, penasihat istana-keduanya pembantu dekat Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammad bin Salman (MBS)-serta menahan 18 orang, yang sebagian diduga terlibat dalam kematian Khashoggi. Presiden Amerika Donald Trump, yang merupakan sekutu MBS, menyambut baik langkah itu dan menganggap penjelasan Saudi dapat dipercaya. Mesir, Uni Emirat Arab, Bahrain, Yordania, dan Libanon juga membela posisi Saudi.

Tapi lebih banyak warga dunia dan negara yang meragukan keterangan Saudi karena sejumlah alasan. Pertama, Saudi belum menunjukkan bukti atas klaimnya. Paling tidak klaim itu bertentangan dengan hasil investigasi aparat Turki yang menyatakan Khashoggi dimutilasi oleh 15 pejabat yang dikirim langsung dari Saudi menggunakan jet pribadi. Kedua, sampai kini Saudi belum menunjukkan keberadaan jenazah Khasoggi. Ketiga, sulit diterima akal sehat bahwa Khashoggi baku hantam dengan belasan orang yang terlatih untuk membunuh.

PBB, Amnesty International, dan sejumlah negara Eropa menuntut penyelidikan yang lebih transparan, menyeluruh, dan independen. Bahkan makin banyak anggota Kongres Amerika, baik dari Republik maupun Demokrat, politikus, dan wartawan, menuntut agar Gedung Putih menjatuhkan sanksi kepada Saudi. Sikap Trump yang masih menolak pembatalan penjualan senjata senilai US$ 110 miliar kepada Saudi justru dikaitkan dengan kepentingan pribadi Trump. Adapun Mesir, Libanon, dan Yordania juga sangat bergantung pada bantuan keuangan Riyadh.

Sebelum kasus Khashoggi muncul, Kerajaan Arab Saudi dikenal sebagai negara yang stabil. Negara produsen minyak terbesar di Timur Tengah ini bak gula yang dikerumuni banyak semut dari berbagai penjuru dunia. Reformasi sosial-ekonomi-berupa kebebasan lebih besar di ruang publik bagi perempuan dan promosi Islam moderat-yang dijalankan MBS mendapat apresiasi komunitas internasional.

Tapi kini banyak sekutu Saudi mulai menjaga jarak dengannya. Ironisnya, otak pembunuhan Khashoggi justru mengarah pada MBS. Khashoggi memang menentang kebijakan MBS memerangi Yaman dan pemutusan hubungan diplomatik dengan Qatar. Dua isu ini tidak populer di kalangan publik Saudi. Khashoggi juga mengkritik persekusi terhadap intelektual, aktivis, ulama, dan wartawan. Dia mengeluh bahwa Kerajaan Saudi tidak akan pernah menjadi negara demokrasi selama MBS berkuasa.

Kebijakan-kebijakan MBS yang terkesan agresif itu tak lepas dari keyakinannya bahwa ia telah mendapat cek kosong dari Trump setelah ia membangun hubungan dengan Israel, memusuhi Iran, membeli senjata ratusan miliar dolar Amerika, dukungan terhadap "Kesepakatan Abad Ini" antara Israel dan Palestina, serta mengendalikan harga minyak sesuai dengan keinginan Amerika. Rupanya MBS keliru. Trump pun pada akhirnya tak berdaya menghadapi tekanan Kongres dan publik Amerika untuk menjatuhkan sanksi terhadap Saudi. Demikian juga negara-negara Eropa.

Kini, nasib Saudi bergantung pada Turki. Namun Ankara telah sampai pada titik tak bisa balik. Pembunuhan di bumi Turki tentu tak dapat dibiarkan berlalu begitu saja. Walaupun Konsulat Saudi merupakan wilayah yurisdiksi Saudi, pembunuhan di situ akan merupakan eksekusi ekstrayudisial yang melanggar hukum internasional. Walhasil, kasus ini merupakan mimpi buruk bagi dinasti Al-Saud. Kalaupun nanti ada kompromi di belakang layar antara Turki, Saudi, dan Amerika untuk menyelesaikan kasus ini, MBS sebagai penguasa de facto akan terus menjadi beban bagi Saudi.

Smith Alhadar

Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus