Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAYA mengenal Sarwo Edhie sejak masa Aksi Tritura, semasih saya di Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia dan harian KAMI. Dalam periode transisi Orde Lama ke Orde Baru, ia dikagumi banyak orang sebagai pendobrak. Tapi, dalam perjalanan kariernya kemudian, prajurit yang jempolan itu kurang menonjol sebagai tokoh politik. Dari jabatan Komandan RPKAD (kini Kopassus), yang merupakan kekuatan pemukul riil G30S-PKI, Pak Sarwo kemudian dipindahkan sebagai Pangdam II Bukit Barisan. Dalam jargon politik waktu itu, dipindahkannya Pak Sarwo ke Medan adalah untuk menguji sampai di mana ketabahan, integritas, dan dedikasinya bisa bertahan menghadapi "percukongan gaya Medan" yang dikenal ampuh "membius" orang atasan. Ia waktu itu terkenal dengan ucapannya, "Saya datang ke Medan dengan dua kopor dan akan keluar dari sana dengan dua kopor yang sama." Tapi, selagi menjadi panglima di Sumatera Utara itu pula Sarwo Edhie terkena "kartu kuning", tak lama setelah ia membekukan PNI di wilayah Kodam II Bukit Barisan. Selesai bertugas di sana, ia dipindahkan sebagai panglima ke ujung wilayah Indonesia yang lain: Irian Jaya. Misinya waktu itu terkesan strategis: memenangkan Pengumpulan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di provinsi yang masih gawat itu. Tapi, nyatanya, ia lebih berperan sebagai komandan lapangan selaku Pangdam Cenderawasih. Sementara itu, operasi politik untuk memenangkan Pepera berada di bawah komando Almarhum Ali Moertopo, staf pribadi (Spri) Presiden di bidang politik. Sarwo Edhie lalu kembali ke Pulau Jawa menjadi Gubernur Akabri, puncak karier militernya. Setelah itu, Sarwo memasuki karier nonmiliter, sebagai dubes di Korea Selatan. Ia memilih Seoul dari Bern, ibu kota Swiss, karena, "Saya masih ingin mengamati dari dekat perkembangan politik di Tanah Air". Saya sempat berjumpa dengan Sarwo Edhie di Seoul, awal tahun 1978. Ketika itu, suhu politik di Tanah Air memanas dengan timbulnya Peristiwa ITB dan dilarang terbitnya (untuk sementara) tujuh koran di Jakarta, menjelang Sidang Umum MPR 1978. Kebetulan, Letjen. H.R. Dharsono baru saja dicopot dari jabatan Sekjen ASEAN. Sarwo Edhie tampak prihatin dengan situasi di Tanah Air. Tapi, ia tetap ingin konsisten dengan Saptamarga dan Sumpah Prajurit. Ia mendukung pendapat bahwa semua perubahan penting di Tanah Air harus berlangsung konstitusional. Kebetulan, waktu itu, buku saya Wawancara Imajiner dengan Bung Karno cukup laris, karena di situ saya mengemukakan bahwa aksi demonstrasi untuk mengganti Presiden cukup dilakukan tahun 1966 sekali saja. Sebab, kalau setiap kali mengganti presiden memakai demonstrasi, kita bisa seperti Amerika Latin. Kembali dari Korea, Sarwo Edhie menjabat sebagai Irjen Deplu. Ia berhasil menjernihkan kasus ruilslag Wisma KBRI di Singapura, di mana pihak swasta mengoper tanah KBRI lama di Orchard Road, kini Pusat Pertokoan Wisma Atria, dan membangun KBRI baru di tempat lain. Setelah itu, ia menjadi manggala biasa di BP-7. Saya pun kemudian menjadi manggala BP-7, sehingga berkesempatan berbincang-bincang lebih jauh dengan Pak Sarwo. Salah satu prinsip tentang kemanggalaan yang selalu ia dikemukakan ialah tugas, fungsi, dan tanggung jawab manggala selaku juru bicara negara. Menurut Sarwo, ia telah membicarakan hal tersebut dengan Pak Harto, yang menyetujui bahwa seorang manggala bukan juru bicara pemerintah, birokrasi, atau Korpri, melainkan menjurubicarai negara. Maka, setiap manggala harus peka dan, bila perlu, harus berani mengkritik pemerintah bila timbul penyimpangan, yang menurut hati nurani dan naluri kejuangan manggala tak sesuai dengan hati nurani dan aspirasi masyarakat banyak. Dengan bekal prinsip itu, Sarwo dipercaya menjadi Kepala BP-7. Suatu pengangkatan yang tepat. Sebab, Sarwo termasuk tokoh yang langka, yang masih eling lan waspada. Ia tetap memilih tinggal di rumah dinas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur. Jabatan Kepala BP-7 adalah puncak karier nonmiliternya. Tak lama setelah Sidang Umum MPR tahun 1988, Sarwo Edhie ditawari sebagai Ketua FKP ABRI di DPR, setelah ia terpilih menjadi anggota DPR mewakili DKI Jakarta, dan melepaskan kursi Kepala BP-7. Kedudukan sebagai Ketua FKP, agaknya, tak begitu berkenan di hatinya. Sehingga, akhirnya, ia memilih jalan lain: Mengajukan permintaan pengunduran diri sebagai anggota DPR, karena "alasan-alasan yang pribadi". Barangkali, ia memang belum sekelas atau sebobot dengan Proklamator Bung Hatta ketika mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden RI di zaman Bung Karno, juga dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden RI dalam pemerintahan Soeharto. Tapi, yang agaknya pasti adalah ini: Keberaniannya untuk mengundurkan diri -- di tengah keinginan orang menjadi anggota DPR -- merupakan bukti bahwa kualitas integritasnya sebagai manusia eling lan waspada merupakan suatu peristiwa yang langka di Tanah Air sekarang. Apakah pengorbanan moral dan dedikasi ini akan lewat begitu saja dari sejarah? Saya percaya, sejarah tidak hanya akan mencatat para pejabat dengan jabatan formal yang serba tinggi. Sejarah juga akan mencatat para pejuang moral yang tidak berjabatan formal, tapi memiliki kualitas kepemimpinan yang bijak bestari, dewasa, mantap, dan matang, serta memberikan inspirasi dan motivasi kejuangan moral dengan etika sosial yang luhur. Selamat jalan, Pak Sarwo. Tulisan ini hanya sekelumit kata, dari untaian sejarah bangsa kita, yang pada 10 November lalu kembali memperingati para pahlawannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo