Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibnu Burdah
Dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati melanggar ketentuan internasional, negara yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel terus bertambah. Setelah Amerika Serikat memberikan pengakuan pada Desember 2017 dan memindahkan kedutaannya ke Yerusalem pada 14 Mei 2018, beberapa negara lain menyusul. Pengakuan yang terbaru datang dari Honduras dan Nauru. Kini setidaknya ada lima negara yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, yakni Amerika, Guatemala, Paraguay, Honduras, dan Nauru. Ini setidaknya yang menyatakan secara terbuka. Sejumlah negara sebenarnya sudah mengarah ke sana tapi belum menyatakannya secara resmi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini berarti, secara politik, posisi Israel terhadap isu kota suci Yerusalem semakin hari semakin kuat. Makin banyak negara yang menyatakan dukungan agar Yerusalem menjadi ibu kota Israel. Posisi politik ini diperkuat dengan realitas di lapangan bahwa kota itu makin "Yahudi". Kota Yerusalem secara umum, kecuali kompleks Al-Aqsa, bisa dikatakan telah menjadi Yahudi. Bendera King David Blue Stripes berkibar di mana-mana, baik di rumah-rumah maupun di ruang publik. Lambang Menorah juga tampak menonjol di ruang-ruang publik.
Secara demografis dan kultural, Palestina sudah kalah telak. Apalagi dengan makin masifnya kelompok Yahudi Ortodoks yang tinggal di kota ini. Keberadaan anak-anak dan ibu-ibu dari keluarga ini sangat menonjol di jalanan-jalanan kecil Yerusalem, baik di sekitar Haram Syarif maupun di bagian lainnya. Maka, Yerusalem praktis berada sepenuhnya di tangan Israel. Karena itu, keputusan sejumlah negara itu realistis, karena mungkin didasari realitas tersebut.
Namun keputusan itu jelas bertentangan dengan keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang meletakkan Yerusalem sebagai kota dalam kewenangan internasional. Beberapa Resolusi PBB jelas menjadi acuan normatif yang harus ditaati. Kota itu masih diperselisihkan dan keputusan tentang itu seharusnya menunggu keputusan final yang dicapai melalui proses perdamaian di antara kedua pihak. Idealnya, keputusan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel diambil setelah Palestina dan Israel mengambil keputusan final terhadap kota itu. Tapi itu norma. Realitas di lapangan dan politik sedang menuju ke arah yang berbeda.
Faktanya, keputusan final tentang Yerusalem hampir tak mungkin diambil dalam waktu dekat. Usaha untuk mengangkatnya sebagai salah satu isu yang dinegosiasikan saja sudah menjadi sumber persoalan di kedua belah pihak. Sensitivitas terhadap kota ini sangat kuat. Hal tersebut tentu berkaitan dengan kedudukan kota ini dalam agama, kendati sebenarnya arti ekonomi dan lainnya juga tak kalah penting. Yerusalem adalah kota terbesar Israel saat ini dengan jumlah wisatawan sangat besar. Jika kemudian pindah ke tangan Palestina, kota ini juga menjadi kota terbesarnya dan wisata religi akan menjadi sumber pendapatan terbesarnya pula. Ramallah, ibu kota administrasi Palestina saat ini, tak lain seperti "tumpahan" kota dari Yerusalem akibat ketatnya warga Palestina untuk masuk ke kota ini.
Posisi Palestina semakin buruk setelah tersiar kabar bahwa Amerika menghapus Palestina sebagai negara/otoritas (al-suthah) di situs web Kementerian Luar Negeri-nya. Bila benar, ini berarti Amerika, yang biasanya menjadi sponsor perundingan, sudah makin berpihak. Amerika di bawah Trump sepertinya tidak peduli dengan upaya perdamaian. Negara ini seolah-olah tidak mengakui lagi hasil dari proses panjang negosiasi yang salah satunya adalah lahirnya Otoritas Palestina di dua kota, yang kemudian melebar menjadi delapan kota di Tepi Barat plus Gaza. Padahal itu juga merupakan bagian dari hasil usaha pemerintah Amerika.
Langkah ini sungguh membahayakan masa depan perdamaian yang bertumpu pada prinsip solusi dua negara. Trump belum memberikan uraian tentang imajinasinya mengenai Palestina dan Israel ke depan. Tapi, menurut hemat saya, prinsip dua negara yang selama ini diimani juga berada dalam ancaman jika Trump masih berkuasa.
Apakah dukungan banyak negara Arab dan Islam terhadap Palestina tak akan berguna lagi? Tentu itu hal yang penting. Tapi penentu terpenting adalah di lapangan dan kedua pihak yang bertikai. Saya meragukan keseriusan sejumlah negara Arab dan Islam dalam mendukung Palestina untuk mempertahankan Yerusalem. Karena itu, saya berpendapat bahwa peluang Palestina untuk mengembalikan Yerusalem sebagai bagian dari wilayahnya sangatlah kecil, jika tidak dikatakan mendekati mustahil.