Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Pastikan Nasib Blok Masela

29 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH patut bergegas memutuskan arah pengelolaan Blok Masela di Laut Arafuru, Maluku. Tentu bukan sekadar untuk mengakhiri cekcok antara Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said. Tapi yang utama adalah agar proyek penting ini segera dimulai dan investor mendapat kepastian.

Tarik-ulur rencana eksploitasi Blok Masela mencuat lewat pernyataan Menteri Rizal Ramli bahwa blok ini seharusnya dikelola secara onshore. Menurut dia, operasi offshore menggunakan kilang gas terapung (floating liquefied natural gas) sebagaimana yang direncanakan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mahal dan tidak menguntungkan masyarakat sekitar. Selain itu, keamanan dan efektivitas kilang terapung dalam skala besar belum teruji.

Rizal menggunakan kalkulasi yang dibuat Forum Tujuh Tiga (Fortuga) Institut Teknologi Bandung, kumpulan alumnus angkatan 1973 ITB. Menurut versi ini, biaya pembangunan kilang dan fasilitas lain di darat hanya US$ 16 miliar. Sebaliknya, offshore memakan ongkos hingga US$ 22 miliar. Ini berkebalikan dengan perhitungan Inpex Masela Ltd, yang bersama Shell Plc merupakan operator Blok Masela. Menurut mereka, fasilitas offshore membutuhkan US$ 14,8 miliar, sedangkan onshore US$ 19,3 miliar.

Jurus "kepret" Menteri Rizal itu membuat pemerintah urung menyetujui plan of development (POD) yang diajukan Inpex. Debat dan saling serang kedua menteri terjadi hingga sidang kabinet dan merebak di media massa. Nasib Masela pun terkatung-katung. Bahkan, setelah konsultan independen asal Inggris, Poten & Partners, mempresentasikan laporannya menjelang akhir tahun lalu, pemerintah belum juga membuat keputusan.

Membawa perdebatan tentang eksploitasi Blok Masela ke ranah publik ada baiknya. Masyarakat jadi tahu dan ikut mengawal proses pengambilan keputusan menyangkut proyek investasi bernilai amat besar ini. Kita tahu, transparansi penting bagi akuntabilitas proyek.

Yang menjadi masalah, perdebatan keduanya menjadi berlarut-larut dan bisa mengakibatkan rencana eksploitasi mundur beberapa tahun. Padahal pemerintah tengah membutuhkan suntikan dana untuk menggairahkan perekonomian. Jika lancar, pada 2025, negara sudah meraup pendapatan dari ladang gas alam ini. Kalau rencana eksploitasi terus-menerus mundur, menurut hitungan SKK Migas, setiap tahun negara rugi sedikitnya US$ 3,6 miliar atau sekitar Rp 49 triliun. Disetujui pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009, proyek Masela saat ini telah tujuh tahun terkatung-katung.

Debat mengenai Blok Masela sebenarnya bersifat teknis, bisa dihitung, diperbandingkan, dan diputuskan secara obyektif. Karena itu, dengan selesainya telaah oleh konsultan independen Poten & Partners, seharusnya tak ada lagi hambatan untuk membuat keputusan. Panduannya sederhana: pilihlah opsi yang biaya instalasi dan pembangunan kilangnya lebih murah serta menghasilkan pendapatan yang lebih besar bagi pemerintah dan masyarakat sekitar.

Mempertimbangkan aspek politik Blok Masela tentu baik-baik saja. Tapi perkara teknis ini tak perlu berlebihan dipolitisasi. Presiden Joko Widodo boleh memutuskan sendiri apakah menyetujui POD Inpex yang mengusulkan operasi offshore atau menolaknya. Namun akan lebih bijaksana kalau persoalan ini dikembalikan kepada Menteri Energi dan SKK Migas. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004, kedua lembaga inilah yang sesungguhnya berwenang menyetujui atau menolak rencana pengembangan blok migas.

Pemerintah juga mesti meminimalkan vested interest perorangan dalam mengambil keputusan. Kabar bahwa "ada udang di balik opsi onshore"—pengadaan pipa dan pembebasan lahan yang bernilai jutaan dolar—harus secepatnya diklarifikasi. Mereka yang cuma ingin memperkaya diri sendiri dan kelompoknya sebaiknya tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.

Peluang membangun dan meningkatkan perekonomian daerah harus dipikirkan dengan saksama. Seandainya pun POD Inpex disetujui—artinya menggunakan opsi offshore—SKK Migas telah berjanji menyiapkan dana pembangunan yang jumlahnya lumayan besar: Rp 5 triliun per tahun selama 24 tahun masa produksi. Janji ini sepatutnya erat dipegang. Dalam proyek sebesar Blok Masela, tak sepatutnya masyarakat lokal menjadi penonton yang cuma bisa gigit jari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus