Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada musim haji kali ini, pemerintah Arab Saudi berutang penjelasan tentang dua insiden besar yang menimpa para anggota jemaah internasional. Belum lagi ada kepastian siapa yang bertanggung jawab atas robohnya katrol raksasa di Kompleks Masjidil Haram, dua pekan lalu, yang menewaskan 111 orang, bencana yang lebih tragis terjadi lagi. Tujuh ratusan anggota jemaah tewas dan seribu lebih lainnya terluka akibat berdesakan ketika hendak menjalankan ritual jumrah aqabah pada Kamis lalu.
Pemerintah Arab Saudi tak cukup hanya memberi janji akan ada investigasi transparan atas dua bencana itu. Lagi pula, transparansi boleh jadi merupakan hal tersulit bagi pemerintah tertutup seperti Kerajaan Arab Saudi. Maka, wajar jika khalayak internasional, termasuk Indonesia, harus terus mendesak kerajaan untuk memenuhi janjinya.
Apa pun keterangannya, jatuhnya katrol dan tragedi Mina tak cukup dijelaskan dengan konsep takdir atau kejadian alam tak terelakkan. Kedua insiden itu menunjukkan, berhaji adalah ibadah berisiko. Tanpa penanganan yang baik, sangat mungkin tragedi berulang.
Kita paham, menyelenggarakan ritual akbar sekitar 2,1 juta anggota jemaah dari berbagai latar belakang, adat istiadat, dan budaya bukanlah hal mudah. Tapi melemparkan kesalahan kepada jemaah yang sudah menjadi korban sama saja dengan mencela para "tamu Allah". Karena itu, tidak pantas apabila Pangeran Khaled al-Faisal, Ketua Komite Pelaksanaan Haji Pusat Arab Saudi, lalu muncul dengan pernyataan naif, "Insiden ini dipicu oleh jemaah asal Afrika."
Dengan memperhatikan perjalanan ritual ini dari masa ke masa, kita bisa menyimpulkan bahwa ada yang salah dalam pengelolaan proses yang berlangsung di Mina. Inilah tragedi yang kesepuluh sejak 1980-an. Dan dari sepuluh peristiwa memilukan itu, tujuh di antaranya terjadi pada saat prosesi melontarkan jumrah.
Kita ingat horor mengerikan di terowongan Haratul Lisan, Mina, pada 2 Juli 1990. Ribuan anggota jemaah berdesakan. Dari 1.426 orang yang gugur, 631 orang adalah anggota jemaah asal Indonesia. Mina ibarat lokus rangkaian bencana. Pada 1994, sebanyak 270 anggota jemaah meninggal dengan kasus yang sama. Mereka berdesakan, saling mendorong, dan terinjak-injak di Jalan 204, sebuah jalan menuju lokasi lempar jumrah. Jumlah anggota jemaah yang melempar jumrah aqabah sangat besar dan bertemunya dua kelompok besar jemaah di jalan menuju jamarat amat berisiko.
Melihat rangkaian bencana itu, sudah waktunya Kerajaan Saudi mempertimbangkan opsi mengikutsertakan masyarakat internasional dalam penyelenggaraan haji. Opsi itu masuk akal, mengingat jemaah yang mengikuti ibadah haji berasal dari berbagai belahan dunia.
Menjadi tugas tiap-tiap pemerintahan di negara asal jemaah untuk melindungi warga mereka. Maka, usulan melibatkan negara lain dalam penyelenggaraan haji adalah bagian dari proses burden sharing, bukannya intervensi terhadap kedaulatan Kerajaan Saudi. Pemerintah Indonesia pun, mengingat jumlah jemaahnya terbesar di dunia, wajib terus mendorong Kerajaan Saudi agar membuka diri terhadap "internasionalisasi" haji.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini