Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTUSAN pengadilan yang tidak konsisten dalam kasus dugaan pelecehan seksual terhadap murid Taman Kanak-kanak Jakarta International School--kini Jakarta Intercultural School (JIS)--mengisyaratkan ada yang salah dalam proses hukum itu. Terhadap terdakwa lima petugas kebersihan JIS, hakim menyatakan mereka terbukti melakukan kekerasan seksual dan divonis 7-8 tahun penjara. Dua pekan lalu hakim banding di Pengadilan Tinggi Jakarta membebaskan dua guru JIS dari dakwaan yang sama. Padahal keduanya bersandar pada bukti yang sama, yaitu visum korban.
Kasus ini bermula dari laporan salah satu orang tua murid TK JIS kepada polisi bahwa anaknya mendapat pelecehan seksual di sekolah itu. Polisi bergerak cepat menahan enam petugas kebersihan sekolah dan menetapkan mereka sebagai tersangka. Dalam proses pemeriksaan, salah seorang tersangka meninggal dan dinyatakan bunuh diri. Belakangan, polisi juga menetapkan dua guru JIS, Neill Bantleman dan Ferdinant Tjong, sebagai tersangka.
Menggunakan visum beberapa rumah sakit serta kesaksian tiga anak-anak yang menjadi korban dan orang tua mereka, pada April lalu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan kedua guru terbukti bersalah. Mereka divonis 11 tahun bui. Pengadilan Tinggi menganulir putusan Pengadilan Negeri dan menyatakan tidak ada bukti kuat telah terjadi pelecehan seksual. Hakim menganggap visum et repertum tak membuktikan adanya kekerasan seksual. Hakim juga menolak kesaksian korban yang masih anak-anak.
Masalahnya, visum yang sama dipakai oleh jaksa dalam dakwaan terhadap lima petugas kebersihan JIS. Untuk perkara ini, hingga tingkat kasasi, hakim berpendapat pelecehan sungguh terjadi, dibuktikan oleh visum dan kesaksian para korban.
Tentu saja setiap hakim, di setiap tingkatan, setiap perkara, punya kewenangan dan independensi untuk menafsirkan alat bukti dan memutus perkara. Tapi vonis berbeda untuk dua kasus yang persis sama, dengan alat bukti yang sama, jelas mengusik rasa keadilan. Karena itu, jaksa wajib membawa kasus guru JIS ini ke kasasi.
Agar ini tak menjadi peradilan sesat, di tingkat kasasi nanti hakim mesti menimbang kasus ini secara saksama. Misalnya, hakim banding menyimpulkan bahwa visum tak membuktikan ada kekerasan seksual. Apakah anggapan itu logis? Orang tua salah seorang korban mengatakan, menurut visum dari Rumah Sakit Pondok Indah, pada anus bagian dalam anaknya ada luka lecet, perdarahan, dan nanah. Juga keputusan hakim untuk mengabaikan kesaksian korban, apakah itu tepat?
Dalam praktek hukum, kita mengenal asas in dubio pro reo, yakni, jika ada keraguan-raguan apakah terdakwa bersalah atau tidak, hakim harus membuat keputusan yang menguntungkan terdakwa. Artinya, kalau di tingkat kasasi pun--dengan usaha pembuktian yang sungguh-sungguh--hakim tetap ragu terhadap dakwaan jaksa terhadap kedua guru itu, putusan bebas sudah tepat.
Namun jika itu terjadi, maka, demi keadilan, putusan atas lima petugas kebersihan JIS pun selayaknya ditinjau kembali. Apalagi kita tahu, pengakuan para petugas itu kepada polisi dalam berita acara pemeriksaan yang digunakan untuk memberatkan mereka di pengadilan ternyata dibuat di bawah siksaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini