Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah perlu lebih keras dan sistematis dalam memerangi kasus perdagangan orang. Jumlah korban kejahatan ini cenderung naik, dari 427 orang pada 2013 menjadi 1.451 pada 2017. Tren itu merupakan indikasi bahwa strategi pemerintah dalam menangani kejahatan transnasional ini tak efektif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus terbaru perdagangan manusia ditangani Markas Besar Polri, pekan lalu. Kepolisian menggeledah penampungan tenaga kerja di Bekasi, Jawa Barat, setelah Yuyun, salah seorang yang mereka pekerjakan di Arab Saudi, kabur dan melapor ke Konsulat Jenderal RI di Jeddah. Kasus serupa terjadi pada Irman Ubaidillah, yang dipekerjakan di Gabon, Afrika Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yuyun, yang pekerjaannya tak sesuai dengan kontrak, kabur dari majikan. Ia semula dijanjikan menjadi tenaga cleaning service, tapi malah jadi pembantu. Majikannya pun kerap melecehkan dia. Sedangkan Irman adalah satu dari puluhan TKI yang dipekerjakan di kapal ikan berbendera Cina, padahal kontrak mereka bekerja di kapal minyak. Di kapal itu, mereka bekerja lebih dari 18 jam sehari. Gajinya pun lebih rendah daripada nilai kontrak.
Apa yang dialami Yuyun, Irman, dkk ini jelas merupakan tindak pidana perdagangan orang seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Tindak pidana ini merujuk pada perekrutan dan proses lainnya terhadap calon pekerja yang dilakukan dengan ancaman kekerasan, atau iming-iming uang, untuk tujuan mengeksploitasi. Membawa warga Indonesia ke luar negeri dengan maksud mengeksploitasi juga tergolong jenis pidana yang sama.
Undang-undang itu menjadi dasar hukum pemerintah untuk mengatasi kejahatan ini. Namun undang-undang yang berlaku lebih dari satu dekade lalu itu tak membuat kasus perdagangan orang berhenti dan malah jumlahnya meningkat. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari jumlah korban yang kasusnya ditangani aparat penegak hukum: pada 2013 sebanyak 427 orang, 2014 (434), 2015 (288), 2016 (332), dan 2017 (1.451). Jumlah sebenarnya tentu saja lebih besar daripada data itu.
Ada sejumlah hal yang perlu dilakukan pemerintah secara lebih serius. Salah satunya menggunakan hukum secara maksimal terhadap pelakunya. Misalnya, menjerat pelaku 15 tahun penjara, bukan memakai hukuman yang minimal 3 tahun. Denda juga harus dimaksimalkan Rp 600 juta, bukan menggunakan denda yang terendah Rp 120 juta.
Kalau ada penyelenggara negara yang terlibat, harus dihukum maksimal, dengan menambah sepertiga pidananya dan memecatnya secara tidak hormat. Kalau pelakunya korporasi, "hukuman" yang harus dikenakan adalah mencabut izinnya, merampas harta hasil pidana, dan mencabut badan hukumnya, selain memenjarakan dan memberi denda pengurusnya.
Upaya ini tentu harus dibarengi dengan upaya lain. Salah satunya adalah sosialisasi oleh pemerintah daerah agar warganya tak mudah tergiur iming-iming bekerja di luar negeri. Kalaupun harus bekerja di negeri orang, pakailah jalur resmi. Selain itu, diperlukan inovasi tanpa henti untuk menciptakan lapangan kerja. Sebab, salah satu motif penting seseorang bekerja secara ilegal di luar negeri adalah merasa tak menemukan penghidupan di negeri sendiri.