Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Persekusi Ulama dan Dinasti Al-Saud

Keluarga Al-Saud berutang budi kepada ulama Wahabi.

27 September 2018 | 07.00 WIB

Persekusi Ulama dan Dinasti Al-Saud
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Smith Alhadar
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Keluarga Al-Saud berutang budi kepada ulama Wahabi. Pada akhir abad ke-18, Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri Wahabi, berkolaborasi dengan Muhammad al-Saud, nenek moyang keluarga Al-Saud, yang memerintah Kerajaan Arab Saudi saat ini, untuk mendirikan negara Islam yang "ideal". Ulama memegang kekuasaan legislatif, sementara raja menjalankan kekuasaan eksekutif. Kolaborasi ini ternyata efektif menjaga stabilitas Kerajaan Arab Saudi sejak berdiri pada 1932 dan berhasil menciptakan masyarakat muslim paling konservatif di dunia. Namun, sejak Putra Mahkota Pangeran Muhammad bin Salam (MBS), penguasa de facto Arab Saudi, melancarkan persekusi terhadap ulama dan dai yang kritis terhadap upaya reformasi sosialnya sejak tahun lalu, kerja sama ulama dan penguasa mulai goyah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bulan lalu, pemerintah menahan imam Masjid al-Haram, Syeikh Saleh al-Talib, setelah ceramahnya tentang kewajiban Islam menyuarakan penentangan terhadap kemungkaran di ruang publik. Kendati tidak menyebut keluarga kerajaan, pemerintah memang melonggarkan hukum yang membolehkan perempuan mengemudi kendaraan, bercampur dengan lelaki di ruang publik, dan menghapus sistem perwalian guna mendorong lebih banyak perempuan terlibat dalam aktivitas ekonomi untuk menunjang Visi 2030 Arab Saudi. Tapi ulama memandang hal itu bertentangan dengan Wahabisme.

Penangkapan Talib merupakan yang terakhir dari serangkaian persekusi terhadap ulama dan dai kondang dengan berbagai alasan, termasuk politik. Tahun lalu, Saudi menangkap Salman al-Awdah dan Awad al-Qarni yang punya jutaan pengikut di media sosial karena mengkritik pemutusan hubungan diplomatik dengan Qatar oleh empat negara Arab pimpinan Saudi. Mereka disebut memiliki hubungan dengan Ikhwanul Muslimin, yang ditetapkan sebagai organisasi "teroris" oleh Saudi. Safar al-Hawali ditahan setelah menerbitkan buku yang menyerang MBS dan keluarga kerajaan atas hubungannya dengan Israel. Ia menyebut hal itu sebagai pengkhianatan.

MBS juga menangkap puluhan pangeran sepupunya dengan tuduhan suap, korupsi, dan pencucian uang. Tuduhan ini mengada-ada karena tidak ada raja dan pangeran Saudi, termasuk MBS, yang tidak melakukan korupsi. Korupsi memang sangat sistematis dan endemik di negeri itu. Eksistensinya diketahui dan dilindungi. Tindakan keras MBS tak lain merupakan upaya menyingkirkan para pangeran kaya dan berpengaruh yang berpotensi mengancam kekuasaannya. Apalagi Pangeran Ahmad bin Abdulaziz al-Saud, paman MBS, kini mencari dukungan di Eropa dalam upayanya menentang MBS.

MBS juga menangkap perempuan aktivis hak asasi manusia, seperti Samar Badawi. Warga Kanada keturunan Saudi itu adalah saudara Raif Badawi, pegiat hak asasi terkemuka Saudi yang ditahan sejak 2014 karena dituduh melecehkan Islam. Sebagaimana pegiat hak asasi Saudi lainnya, Samar menuntut pencabutan larangan mengemudi bagi perempuan dan penghapusan sistem perwalian. Perempuan lain yang menjadi korban adalah Israa al-Ghomgham, yang dituntut hukuman mati karena mendokumentasikan demonstrasi-demonstrasi Musim Semi Arab pada 2011.

Namun persekusi-persekusi ini diragukan dapat menghentikan gelombang besar penentangan terhadap pemerintah, meskipun para perempuan aktivis hak asasi yang dituduh melakukan kampanye "fitnah" kehilangan pekerjaan, dikeluarkan dari kampus, ditangkap, dipenjarakan, serta paspor mereka disita.

Upaya menghukum mati ulama dan dai juga merupakan ujian nyata bagi struktur kekuasaan kerajaan. Ulama sejak lama memiliki kekuatan dalam diri mereka berkat popularitas dan pengaruh yang bahkan lebih besar dari MBS. Persekusi terhadap mereka dapat mempengaruhi opini publik terhadap penguasa. Keluarga Al-Saud dapat berkuasa sejauh ini karena senantiasa bergandengan dengan ulama Wahabi. Ketika kolaborasi ini dirusak, dinasti Al-Saud menghadapi bahaya.

Smith Alhadar

Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus