Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAMBIL menjaga berlangsungnya perputaran langit dan bumi, mulut
Sang Batara Kala masih tetap menganga. Siap Menelan. Dan setiap
perputaran adalah gerak yang semakin dekat dengan nganga mulut
itu. Kekuasaan Sang Batara mengendalikan manusia serta buatan
tangannya dilakukan lewat kekang umur dan tenaga. Suatu kali ia
pasti uzur dan aus. Untuk segala sesuatu ada saatnya
masing-masing, yang sudah ditetapkan. Itulah sebagian dari hukum
alam yang berada di luar kuasa manusia, dan yang sejauh ini
belum mampu dikutik-kutik oleh akal budi.
Adapun umur tua bagaimanapun akan menyebabkan buruk rupa. Kalau
dipaksa-paksa dengan bedak dan gincu, malah akan menimbulkan
rasa iba. Toh ketentuan nasib tak akan berubah dengan membakar
kemenyan lebih dari dosisnya. Kecuali itu mungkin akan memberi
kesan serakah terhadap kesempatan.
ULAR DAN DURIAN
Biarpun ketentuan untuk mati tak dapat lagi diatur, tapi manusia
harus mengatur apa yang mereka harus atur. Dengan demikian
persoalan bergeser dari yang tidak mungkin kepada yang mungkin,
dari ketentuan-ketentuan yang mutlak kepada
kemungkinan-kemungkinan yang tersedia Sebelum yang final di
maula waktu tak ada lagi, maka hal-hal yang terjadi masih bisa
diatur dan ditarik-ulur dengan para dewa. Ketentuan-ketentuan
masih bisa ditawar dan diganti meskipun untuk sementara. Sebab
sesudah masuk dalam nganga mulut Sang Kala tak ada lagi sesuatu
yang bisa ditawar.
Sering dikatakan bahwa kita harus dekat kepada alam agar tidak
menjadi tegang dengan ketentuan-ketentuan alamiah. Bahwa proses
pergantian antara yang lama dan yang baru harus terjadi secara
alamiah. Jangan ada yang "nggege mongso" sebab tindakan semacam
itu akan menimbulkan kekacauan yaitu rusaknya harmoni dan aturan
yang sudah digariskan oleh Sang Kala. Apalagi pergantian
generasi, sedang ular saja kalau kulitnya ngelotok sebelum
waktunya tentu akan menimbulkan kesakitan. Demikian juga durian
jatuhan akan lebih manis dari durian karbit. Rasa manis si
karbit berkurang sebagai "hukuman" kepada mereka yang tak sabar
menunggu waktu.
Manusia bukan dewa dan dewa bukan manusia. Tapi sering orang
kepengin jadi dewa untuk melaksanakan kehendaknya yang mutlak.
Manusia menyangka dapat jadi dewa dengan cara memaksakan
kehendaknya. Dan inilah yang menyebabkan manusia
terpontang-panting di belakang ketentuan-ketentuan yang tak bisa
dirubahnya.
Namun itu tak berarti bahwa usaha untuk taat kepada kehendak
para dewa tidak ada. Meskipun tidak semua usaha memenuhi syarat,
tapi hubungan rutin dengan para dewa tetap terjaga. Upacara
ibadah tetap berlangsung, korban persembahan tetap pula
diberikan dengan rela, para imam dan para wali tetap secara
penuh mendengar dengan waspada kepada segala bisikan dewata
melalui tanda-tanda jaman yang diberikan.
Taruh saja bahwa kehendak dewa selalu baik, dan baiknya pula
bersifat mutlak. Namun sayangnya: Dewa memberi buah kehidupan,
tapi sampai di muka bumi ia berubah menjadi buah Simalakama.
Dewa yang mengurusi pembangunan kota misalnya tentu saja selalu
berpikir mengenai suatu ideal kota yang indah, sehat dan
lengkap. Itu memerlukan perluasan dan pemugaran di mana-mana.
Untuk membangun diperlukan merobohkan yang lama. Penggusuran
sudah pula dipikirkan oleh para dewa sebagai ketentuan yang tak
bisa dielakkan. Pembangunan kota dengan demihan telah menjadi
buah simalakama bagi penduduk negeri.
Belum lagi dewa kemajuan yang mengurusi telekomunikasi. Ia sudah
menganugerahkan tingkat teknologi yang amat tinggi dengan
ketentuan harga yang amat tinggi pula. Satelit Palapa, adakah
cara bersama untuk memikirkan cara pembayarannya? Demikian pula
Jakarta yang dicobai dengan banjir besar, para dewa menentukan
harga 1 milyar dolar Amerika agar banjir dapat diatasi.
Sehubungan dengan tuntutan yang mahal-mahal tersebut bagaimana
cara bersama untuk memenuhinya? Dengan kata lain, bagaimana kita
bersama memikirkan korban-korban yang diminta oleh para dewa?
Inilah sebenarnya pokok soal kita. Karena sejak jaman bahari
para dewa selalu meminta korban dari pihak manusia justru untuk
menyelenggarakan maksud baiknya. Di segenap tempat dan waktu
selalu tersedia altar. Di atasnya akan diletakkan korban untuk
menyatakan kesediaan pada para dewa memenuhi tuntutan yang
diminta.
KORBANNYA: SIAPA?
Pada jaman dulu ada instalasi yang berkewibawaan untuk
menentukan siapa yang harus dikorbankan di atas altar. Dan
menjadi korban saat itu adalah suatu kehormatan. Tapi pada saat
ini siapa yang punya kewibawaan semacam itu? Siapakah yang akan
diangkat menjadi imam untuk menjatuhkan tikaman terhadap korban
di atas altar? Siapa yang harus dikorbankan agar pembangunan
kota bisa lancar? Siapa pula yang harus menanggung biaya yang
ditentukan oleh para dewa untuk memperbaiki sistim pendidikan?
Apakah para dewa mengingini korban dari mereka yang lemah dan
tak punya pelindung apa-apa?
Kehendak para dewa memang harus terjadi. Tapi dalam alaun modern
sekarang ini, di mana emansipasi untuk menentukan nasib sendiri
semakin disadari, bukankah kita perlu mempersoalkan agar korban
bagi para dewa dibagi lebih rata'? Sehingga tak selalu jatuh
pada mereka yang justru tak mengerti kehendak para dewa. Yang
terlentang di atas altar toh berhak bertanya: kenapa justru
dirinya yang harus dikorbankan?
Untuk menjawab pertanyaan itu tak seorangpun akan puas dengan
jawaban mengenai nasib yang sudah ditentukan. Sebab justru
itulah yang sedang dipersoalkan. Entah dengan diam atau dengan
sungutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo