Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya menilai inpres ini suatu langkah maju dan berani Presiden Jokowi di tengah kerusakan lingkungan dan permasalahan sosial akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit yang tidak terkendali, meskipun belum komprehensif. Jeda atau moratorium ini akan berlangsung selama tiga tahun dan secara garis besar bisa membenahi tata kelola perkebunan sawit.
Tata kelola itu, antara lain, pemberesan perizinan, verifikasi data pelepasan kawasan hutan, sinkronisasi perizinan (seperti hak guna usaha/HGU) dengan kebijakan satu peta, pengembalian fungsi kawasan hutan yang telanjur dialihfungsikan, penetapan tanah telantar, penghentian penerbitan atau pembatalan HGU, serta pengambilan langkah hukum atau tuntutan ganti rugi atas penggunaan kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Jika kita tinjau kembali kebakaran pada Juli-Oktober 2015 yang menghanguskan lebih dari 2 juta hektare lahan dan hutan, termasuk gambut seluas 618.754 hektare,- terbitnya inpres ini menjadi relevan, meskipun tidak satu pun pasal menyebut gambut. Padahal, faktanya, banyak perkebunan kelapa sawit berada di lahan gambut dan menjadi sorotan pemerhati lingkungan dan sosial di tingkat nasional dan internasional.
Seharusnya moratorium sawit tidak hanya bertujuan menata perizinan dan meningkatkan produktivitas lahan perkebunan, tapi juga meredam kerusakan ekosistem lahan gambut, yang menyimpan cadangan karbon sangat besar.
Sebab, inpres moratorium sawit terpicu oleh kebakaran lahan gambut dan hutan pada 2015 itu. Respons Presiden Jokowi atas kejadian tersebut adalah membuat berbagai gebrakan yang menarik perhatian kalangan pebisnis, peneliti, dan masyarakat di dalam ataupun luar negeri. Di antaranya memberikan arahan dalam rapat kabinet 4 November 2015 yang dituangkan dalam surat edaran Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Nomor S 661/Menlhk-Setjen/Rokum/2015.
Arahan itu, antara lain, larangan mengeluarkan izin baru pengelolaan di lahan gambut, larangan pembukaan lahan baru (land clearing) meskipun sudah memiliki izin konsesi, larangan menanam di lahan bekas terbakar, penataan kanal di lahan gambut (bahkan kanal-kanal di area konsesi yang berada pada fungsi lindung mesti ditutup), tidak membuka lahan dengan cara membakar, serta perintah menata ulang rencana kerja usaha kepada pemegang izin konsesi dan melaporkannya kepada pemerintah pusat dan daerah. Pada 14 April 2016, Presiden Jokowi bahkan menegaskan perlunya moratorium pemberian izin perkebunan sawit dan meningkatkan produksi sawit pada perkebunan sawit yang ada.
Pada 6 Januari 2016, melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016, Presiden Jokowi membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG). Badan ini bertugas mengkoordinasi dan memfasilitasi restorasi gambut seluas 2 juta hektare di tujuh provinsi.
Sayangnya, dalam inpres moratorium sawit tak muncul peran BRG. Padahal, di daerah, BRG memiliki tangan dalam bentuk Tim Restorasi Gambut Daerah dan permasalahan sawit banyak bersinggungan dengan lahan gambut yang berada di daerah sebagaimana disebutkan dalam surat edaran di atas.
Terlepas dari itu, inpres moratorium, selain mengatur soal perizinan sawit, semestinya mengacu pada aturan-aturan lain (terkait dengan gambut) yang terbit sebelumnya. Sebelum Joko Widodo menjadi presiden, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Nomor 71 Tahun 2014.
Peraturan tersebut sangat kontroversial dan mengundang kritik pebisnis, terutama pengusaha kelapa sawit dan hutan tanaman industri. Jokowi melanjutkan aturan itu dengan sedikit merevisinya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016, yang dijabarkan ke dalam beberapa Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, di antaranya P14, P15, P16, dan P17 pada 2017.
Masalahnya, peraturan dari kementerian lain, seperti Pertanian, belum mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014, seperti Peraturan Nomor 11/Permentan/ot.140/3/2015 tentang sistem sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO). Peraturan ini penting karena beberapa pasal dalam ISPO menjadi acuan sejumlah prinsip dan kriteria Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO).
Meskipun ISPO sebagaimana termuat dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11 Tahun 2015 telah mengatur tata kelola budi daya sawit, faktanya di lapangan masih banyak terjadi pelanggaran, seperti ketidakpatuhan pemilik konsesi menerapkan lokasi tanam, yaitu berupa pelanggaran aturan sempadan pantai, sungai, danau, dan mata air; serta penggunaan pestisida terlarang, seperti paraquat. Belum lagi pasal dalam ISPO yang tak sinkron dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014, di antaranya tentang pengaturan tinggi muka air tanah gambut di lahan budi daya.
Karena itu, selama masa moratorium ini, pasal dalam peraturan-peraturan tentang kelapa sawit yang tak sinkron harus disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 (juncto Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016). Saat ini beberapa butir prinsip dan kriteria RSPO yang menjadi standar internasional tengah ditinjau kembali oleh sebuah tim yang akan segera diberlakukan kepada anggotanya.
Problem lain adalah pemanfaatan lahan gambut berbasis drainase dengan cara membuang air gambut melalui kanal sebagai masalah lingkungan yang sangat mengkhawatirkan.
Lahan gambut adalah ekosistem danau yang belum tersingkap karena badan airnya berisi timbunan bahan organik berusia ribuan tahun. Lahan gambut Indonesia umumnya berada di dataran rendah pantai dengan elevasi kurang dari 30 meter dari permukaan laut dan sekitar 90 persen berisi air tawar.
Jika luas lahan gambut di Indonesia sekitar 20 juta hektare dan ketebalannya rata-rata 5 meter, cadangan air tawar yang tersimpan di dalamnya setidaknya 1 triliun meter kubik. Jumlah ini jauh lebih besar daripada cadangan air tawar yang tersimpan di sungai-sungai dan danau di seluruh Indonesia. Jika air tawar di wilayah konsesi gambut dibuang melalui kanal, selain memicu kebakaran akibat gambut yang kering, bencana lain berupa banjir.
Pembuatan jaringan drainase di lahan gambut oleh para pelaku perkebunan sawit dan hutan tanaman industri seperti membangun kuburan untuk masyarakat di sekitarnya. Adanya drainase membuat gambut mudah terbakar dan permukaan tanahnya mengalami penurunan (subsiden).
Selain menyebabkan tumbangnya tanaman kelapa sawit dan akasia, subsiden dan kebakaran akan mendorong lahan gambut menjadi danau karena timbunan organiknya hilang. Akibatnya, lahan menjadi tidak produktif.
Dalam inpres moratorium sawit, kondisi seperti ini mesti diantisipasi. Selama moratorium, pemerintah harus mewajibkan pemilik konsesi di lahan gambut melaporkan kondisinya.
Laporan tersebut harus memuat informasi yang memetakan kembali keberadaan gambut (luas, tebal, serta zonasi untuk menetapkan area dengan fungsi lindung dan fungsi budi daya), luas gambut yang tergenang beserta data ketinggian air, lama genangan, frekuensi kemunculan genangan per tahun, produktivitas kelapa sawit, dan jumlah kebakaran. Data ini akan menjadi acuan bagi pemerintah pusat dan daerah untuk meminta pertanggungjawaban pemegang konsesi dalam upaya restorasi sebelum lahannya tidak produktif.
Cara terbaik agar moratorium ini tepat sasaran dan optimal selama tiga tahun, ia harus diikuti perbaikan tata kelola budi daya kelapa sawit, terutama di lahan gambut. Pemilik konsesi bisa melibatkan para pemangku kepentingan, seperti lembaga penelitian, perguruan tinggi, masyarakat petani, dan lembaga swadaya masyarakat, untuk perbaikan tersebut sebelum bencana di lahan ini kian parah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo