PEMERINTAH Kennedy sudah tuli, buta dan bisu, gerutu senator
Barry Goldwater dari Ariona yang gersang dan pengap. Dia terus
mencak-mencak hingga ngos-ngosan dan dia tulis buku A conscience
of a conservative. Dugaannya benar: pemerintah memang sudah
tuli, buta dan bisu. Dan dia kalah. Amerika Serikat
menggelinding sebagaimana biasanya dan orang menganggap pikiran
Barry Goldwater "ketinggalan 100 tahun." Sekarang Barry tak
kedengaran beritanya lagi, jangan-jangan lagi sibuk urus Hak
Penggunaan Hutan model sana.
Kalau saja Barry mesantren di Ciganjur dan belajar dari
Abdurrahman Wahid, pastilah dia tidak usah pakai ngos-ngosan
segala. Bukankah petuah kiai Ciganjur ini kita harus "tinggalkan
sikap protes dan cari budaya politik baru"? Seorang kiai tidak
akan menggunakan kata-kata tuli dan buta dan bisu kepada
pemerintah, apa pun ulah pemerintah itu. Lain kiai lain masinis
kereta api. Kita boleh merasa tidak puas, kita boleh merasa
tersandung-sandung, tapi protes jangan. Telan saja semuanya itu
ibarat kita menelan permen. Bukankah pemerintah di mana pun juga
-- kecuali di dasar laut -- berhasrat besar memantapkan
kekuasaannya lewat ajaran yang tertulis di buku atau di
batu-batu?
Lagi pula, apalah arti "protes" itu? Dia 'kan cuma berasal dari
mitologi Yunani purba tatkala seorang jagoan memimpin gerombolan
Thessalian melabrak Troya yang hasilnya mengambil nyawa dari
badannya? Dongeng ini ada diangkat oleh penyair Homer dalam dia
punya karya Iliad yang masyhur. Dongeng namanya, tentu bisa
berkepanjangan. Seri berikutnya mengisahkan bahwa sang istri
yang bernama Laodamia, begitu mendengar lakinya mati, mohon
kepada dewa-dewa yang berbaring di atas awan agar dia diberi
kesempatan menjenguk mendiang agak tiga jam, kira-kira sama
dengan waktu jenguk yang diperkenankan buat tahanan di penjara
dunia. Permohonan ini diluluskan. Itu prihal protes kuno.
Protes lebih belakangan lagi tentu berkaitan dengan perlawanan
terhadap Gereja Katolik Roma. Karena belum mendengar petuah Kiai
Abdurrahman Wahid dari Ciganjur, di abad tengah muncul John
Wycliffe dari Oxford, menyusul Jan Hus dari Praha, Martin Luther
dengan dia punya poster "95 tesis" yang ditempel di pintu gereja
Wittenberg, Jerman, tahun 1517, kemudian dikembang biakkan oleh
John Calvin, Huldrich Zwingli, John Knox dan lain-lain orang tak
punya kesempatan sama sekali menjenguk Ciganjur. Berhubung
sekte-protes ini berkembang tidak ketulungan banyaknya (tahun -
1950 di AS saja ada 250), maka yang punya hobbi sama bergabung
dalam "Gerakan Ekonomi", seperti para penembak bergabung dalam
Perbakin.
Bapak-bapak serta ibu-ibu dan saudara-saudara sekalian, mulai
hari ini kita tidak perlu protes-protesan lagi, karena toh
protes itu tidak ada gunanya, kata Abdurrahman Wahid. Yang
pendidik, mendidik sajalah. Yang agamis, urus soal agama
sajalah. Yang ingin penduduk sehat bikin rumahsakit sajalah,
karena toh sekarang ini rumahsakit sama saja dengan industri.
Stop protes. Protes itu berbau politik, padahal politik sekarang
ini panglima. Jika tempo hari "politik sebagai panglima"
dimaki-maki karena identik dengan golongan, maka sekarang
politik adalah panglimanya panglima.
Di Sidang MPRS 1966 Nono Anwar Makarim dan Adnan Buyung Nasution
menjerit hingga hadirin terperanjat: Mesti ada right to dissent.
Hak beda pendapat bukan sekedar sambil senyum-senyum, tapi juga
mengandung makna protes. Jika beda pendapat tidak dapat ladenan,
apa lagi yang layak dilakukan selain protes? Bukankah istilah
dissenters berkaitan dengan protes antipati kebijaksanaan
gerejani yang diletakkan Ratu Elizabeth I dari Inggris? Kaum
Presbyterian, kaum Conggregationalist, kaum Baptist, kaum
Quaker, semua itu dimasukkan ke dalam botol yang namanya
dissenters,
Mana saya bisa terka apa yang ada dalam pikiran kedua tokoh 1966
itu mendengar petuah kiai muda kita dari Ciganjur ini. Zaman
sudah berjalan, model sepatu sudah berlainan, dulu hak rendah
kini hak tinggi.
Siapa tahu -- mudah-mudahan - mereka mengangguk-angguk dan
mendalami apa yang tersirat pada petuah Abdurrahman. Dan bukan
sampai di situ! Mereka berkeputusan mengaji lagi di Ciganjur,
entah usul fiqh, entah nahwu, entah tarikh, dan entah tasawwuf.
Jika tasawwuf masih kurang memadai di situ, boleh datang ke
Jember tiap Selasa malam. Di sana Kiai Ahmad Siddiq khusus
ngajar Ihya 'Ulumuddin-nya Imam Ghozali. Bupati, Sekwilda,
Kodim, juga suka ikut hadir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini