Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menulis resensi film ini adalah tugas yang sungguh berat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Film ini adalah karya Hanung Bramantyo sutradara yang super produktif; yang dua kali mendapatkan piala Citra sebagai Sutradara Terbaik (2005 dan 2007). Dan kalau boleh jujur, seperti juga banyak penonton lain, saya sempat menyukai karya-karyanya seperti Catatan Akhir Sekolah (2005) dan Jomblo (2006).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tetapi kelak di tahun-tahun berikutnya, Hanung juga menyutradarai film-film yang di beberapa bagian membuat para penonton menghela napas, entah karena logika cerita (Ayat-ayat Cinta), atau anakronisme (Sukarno) atau melodrama yang tak berkesudahan (Kartini). Sebagai penonton yang sebetulnya peduli dengan karya Hanung, saya tetap menemukan beberapa titik atau adegan yang menunjukkan bahwa dia sutradara yang berbakat yang kebetulan saja terlalu asyik ‘berkubang’ dalam keriuhan film-film yang kepingin ‘ramah penonton’ (baca: film-film komersil). Tak ada yang salah membuat film komersil dan ramah penonton, buktinya kita semua toh menikmati film-film Hollywood yang formulaik itu kan. Buktinya film-film drama komedi Hanung seperti Catatan Akhir Sekolah, Brownies, dan Jomblo masih asyik ditonton.
Potongan film The Gift. thegift.co.id
Problemnya adalah ketika Hanung mencoba membuat film dengan tema ‘berat’ atau katakanlah film dengan cerita yang lebih ‘kompleks’, selalu ada ‘kekhawatiran’ dalam dirinya bahwa penonton tak akan paham hingga ada saja adegan-adegan yang menjelas-jelaskan.
Film ‘The Gift’ yang sedang beredar di bioskop ini adalah salah satu contohnya. Tampaknya film “The Gift” adalah upaya Hanung untuk mengais kembali keinginan membuat film demi film itu sendiri; upaya berbahasa sinematik dan menebarkan simbol di sana sini; upaya untuk memaksimalkan bahasa gambar.
Secara ringkas, The Gift bercerita tentang seorang lelaki muda, pelukis tunanetra; seorang novelis cantik dan seorang dokter mata yang ganteng. Cinta segi tiga? Tentu saja. Tapi mereka punya latar belakang masing-masing yang tragis. Si anak jendral, Harun diperankan Reza Rahadian. Seorang pelukis yang selalu getir, kerap meluncurkan kalimat kasar, membenci nasibnya dan gemar membanting-banting barang. Tiana (Ayushita Nugraha), seorang novelis yang menyewa kamar di rumah besar milik Harun di Yogyakarta; dia digambarkan sebagai seorang perempuan yang konon “akrab dengan kegelapan” karena masa kecil yang buruk.
Paruh pertama film ini dipenuhi oleh perkenalan sosok Harun dan Tiana lengkap dengan latar belakang mereka. Direkam dengan kerja kamera yang (ingin) berbeda dengan film-film Hanung sebelumnya: close-up wajah tokoh-tokohnya yang memang enak dipandang atau sederetan beauty shot di Parangtritis dan Italia yang panoramik. Tetapi upaya untuk berkisah ternyata toh tetap dilakukan melalui dialog dan penjelasan-penjelasan. Gambar-gambar yang disajikan bukan gambar yang bercerita, melainkan gambar-gambar cantik dengan pemain cakep yang menjelas-jelaskan plot cerita. Kecuali adegan soal rokok dan asbak yang menjadi pembuka dan penutup film, Hanung sama sekali tidak bercerita dengan gambar (saja) seperti yang semula saya bayangkan.
Potongan film The Gift. thegift.co.id
Belum lagi ada beberapa sub cerita yang sia-sia seperti “berkeliarannya” kawan imajinatif Tiana atau si mbok setia yang fungsinya hanya untuk memperlihatkan sisi kemanusiaan Harun. Jika bagian-bagian itu dipotong pun, kita tak kehilangan apa-apa.
Bahkan setelah mencemplungkan aktris Christine Hakim –yang muncul di film apapun penampilannya pasti bagus —tetap tak menolong film ini menjadi sesuatu karya yang serius atau film artistik atau apapun yang menjadi tujuan awal film ini.
Pada paruh kedua film, kita diperkenalkan dokter mata Arie (Dion Wiyoko) yang penampilannya dan tingkah lakunya lebih wajar daripada kedua tokoh utama. Artinya adegan-adegan dokter Arie tidak melibatkan adegan banting-banting barang, marah-marah, menjerit-jerit seperti halnya setiap kali kita bertemu adegan Harun dan Tiana.
Begitu plot mendikte dokter Arie meloncat bekerja di Italia, saya agak bingung. Apa alasan si dokter bekerja di Itali? Seistimewa apakah sang dokter sampai sebuah rumah sakit di Itali merekrutnya? Memangnya di sana kekurangan dokter mata? Atau supaya ada beauty shot Eropa seperti film-film Indonesia 10 tahun terakhir? Juga kenapa sih ketika si dokter melamar Tiana berteriak begitu nyaring? Apa jaman sekarang lelaki muda melamar dengan gaya Hollywood itu? Berlutut dan berseru sambal menyodorkan cincin pertunangan?
Di ujung film, saya menduga akan menyaksikan akhir klise gaya film Rio Anakku (Hasmanan, 1974) di mana tokoh Lenny Marlina yang tunanetra mendapatkan sepasang mata dari Rano Karno yang sudah di tubir kematian. Ternyata saya salah. Akhir film ini bukan cuma tak terduga, tetapi menggelikan. Kedua protagonis tetap hidup kok. Tapi dalam situasi yang aneh dan sulit dipercaya. Dan pada titik itulah saya merasa berat untuk menulis tentang film ini, justru karena di suatu masa saya pernah menjadi fans film Hanung.
Pada akhirnya, secantik apapun pengambilan gambar film ini, sekeren apapun para pemain-pemainnya, atau semulia apapun keinginan sineas, jika plot cerita begitu melodramatik dan tidak meyakinkan seperti lonjakan klimaks sinetron, maka buyarlah segala cita-cita.
THE GIFT
Sutradara: Hanung Bramantyo
Skenario: Ifan Ismail
Pemain: Reza Rahadian, Ayushita Nugraha, Dion Wiyoko, Christine Hakim