Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI-HARI ini, tatkala Merah Putih berkibar di seantero negeri, dan Republik berusia 64 tahun, kenapa masih banyak anak jalanan yang terseok-seok di kota-kota besar? Jangankan hak menjalani pendidikan, hak untuk hidup layak pun tak bisa mereka terima, padahal mereka jelas fakir miskin yang seharusnya dipelihara negara. Kenapa pula pedagang kaki lima harus diusir dari jalanan, bukankah hak setiap warga negara untuk mencari nafkah tak boleh diberangus?
Kita pantas merenung sejenak, sejauh mana kita telah melaksanakan cita-cita bangsa sebagaimana yang tertuang dalam dasar negara. Republik tak lagi belia. Pertanyaan yang layak diajukan: sudahkah negeri ini melangkah ke arah yang lebih baik?
Masyarakat seharusnya menikmati hak-hak dasarnya, seperti yang ditulis dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hak itu, misalnya, hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan pelayanan kesehatan, hak memperoleh lingkungan yang sehat dan bersih, hak mendapatkan jaminan sosial. Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara, begitu bunyi Pasal 34 Undang-Undang Dasar, yang menegaskan kewajiban negara pada kaum papa itu.
Hak-hak itu belum sepenuhnya menjadi milik warga negara yang seharusnya menerimanya. Tapi tak perlu terlalu pesimistis. Ada geliat kecil yang mulai dirasakan oleh masyarakat di berbagai daerah. Geliat kecil itu merupakan pertanda ada perbaikan, betapapun belum secara nyata menyentuh lapisan yang luas. Otonomi daerah, yang sudah bergulir sejak sepuluh tahun lalu, memberikan kesempatan para penguasa di daerah—bupati dan wali kota—untuk memikirkan cara agar rakyat mendapatkan haknya yang paling hakiki. Sejumlah daerah bisa disebut tampil sebagai ”bintang” dalam hal ini, karena punya kelebihan dibandingkan dengan daerah lainnya.
Memang, ada yang berpendapat, otonomi daerah dan pemekaran wilayah yang banyak dilakukan saat ini hanyalah perluasan sumber korupsi baru, juga pemborosan. Ada benarnya jika pemekaran itu tidak dilakukan dengan kajian yang mendalam atau hanya mengikuti keinginan berkuasa sekelompok orang. Namun banyak daerah yang justru maju karena kepala daerahnya bisa mengembangkan sumber daya dan kreativitas yang disesuaikan dengan situasi setempat. Terobosan seperti ini tentu tak bisa dilakukan di masa lalu—sebelum otonomi daerah digulirkan—karena semua daerah harus ”seragam” dan berjalan dengan ”arahan” pusat.
Majalah ini mencatat banyak daerah menjadi bintang otonomi, karena kepala daerahnya bisa leluasa melahirkan kebijakan yang cocok dengan kultur dan budaya daerah tersebut. Tapi kali ini kami hanya menampilkan sembilan bintang dari sekian banyak itu.
Kota Solo, misalnya, kini menjadi daerah yang tenteram, jika dibandingkan dengan masa lalu yang sarat dengan kerusuhan rasial. Bahkan pedagang kaki lima di kota ini manut saja ketika harus pindah lokasi, karena wali kotanya memberikan penjelasan dan ”memanusiakan” mereka, dengan kesabaran dan ketelatenan yang mengagumkan. Bandingkan dengan Jakarta atau Surabaya, di mana pedagang kaki lima selalu saja dihinggapi rasa cemas karena sewaktu-waktu bisa digusur—tak jarang dengan cara keras.
Contoh lain, Kabupaten Purbalingga, masih di Jawa Tengah. Bupati di sana membuat terobosan dengan menggulirkan dana stimulan Rp 2 juta untuk setiap rumah warga miskin. Bupati mampu memobilisasi warga untuk bergotong-royong memugar rumah orang miskin sekaligus memberdayakan ekonomi mereka. Dalam enam tahun ini lebih dari 9.000 rumah telah dipugar.
Di luar Jawa, ada Kota Balikpapan, yang berhasil menggiring anak-anak jalanan menjadi anak muda yang produktif. Di sana digulirkan 23 jenis keterampilan dari menyetir, perbengkelan, otomotif, elektronik, menjahit, hingga tata boga.
Di Kabupaten Musi Banyuasin, bupati dan wakil rakyat setempat mematok anggaran pendidikan lebih dari 20 persen anggaran daerah. Angka ini melebihi ”tuntutan konstitusi”, yang mengamanatkan anggaran pendidikan 20 persen dari anggaran belanja. Dengan anggaran itu, bukan saja murid sekolah dasar yang menikmati pendidikan gratis, mahasiswa pun ikut menikmatinya. Bahkan termasuk anak-anak yang mengecap pendidikan di sekolah swasta.
Jadi, otonomi daerah adalah langkah yang sudah benar dalam perjalanan Republik. Tinggal memotivasi masing-masing kepala daerah—bupati dan wali kota—untuk membuat terobosan. Persaingan perlu, namun saling menimba pengalaman juga sangat baik. Negeri ini memiliki 491 kabupaten dan kota yang siap menjadi motor penggerak perbaikan negeri.
Hari-hari ini, ketika Republik merayakan hari jadinya, kita melihat harapan bangkit dari kancah otonomi daerah: munculnya daerah-daerah bintang baru yang membanggakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo