Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG GUNDALA UNTUK KITA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebaiknya yang membaca ini adalah para penonton yang sudah menyaksikan film “Gundala”. Sebuah awal yang menjanjikan dari Jagat Sinema Bumilangit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GUNDALA
Sutradara : Joko Anwar
Skenario : Joko Anwar
Berdasarkan komik karya Hasmi
Pemain : Abimana Aryasatya, Muzakki Ramdhan, Tara Basro, Bront Palarae, Ario Bayu, Rio Dewanto, Marissa Anita, Cecep Arif Rahman, Fari
Produksi : Screenplay Films, Bumilangit Studios, Legacy Pictures dan Ideosource Entertainment
Gundala bukanlah sebuah film superhero.
Sejak awal, kalimat itu sudah ditekankan oleh sutradara Joko Anwar maupun para penggagas di belakangnya yang tentu saja sudah menggenggam catatan tangan Harya Suraminata alias Hasmi, sang pencipta ‘putra petir’ yang sudah almarhum tiga tahun lalu.
Karena Indonesia bukan (atau belum) mencapai kedahsyatan finansial Hollwyood—bahkan seujung kukunyapun—dana sebesar Rp 30 miliar untuk sebuah film superhero sangatlah mustahil dibanding, katakanlah film Man of Steel atau Iron Man yang anggarannya puluhan kali lipat.
Dengan ‘disclaimer’ seperti ini, maka yang perlu saya ingat sejak awal : saya tak boleh (meski sering tergoda) membandingkannya dengan serangkaian film superhero yang tak pernah datang bertubi-tubi di layar bioskop sepanjang tahun, sepanjang masa.
Ternyata, begitu gambar-gambar pertama muncul, kita segera sadar Joko Anwar berkisah tentang Indonesia. Tentang seorang anak bernama Sancaka (Muzakki Ramdhan) yang tumbuh di kawasan pabrik yang kelabu, penuh polusi, keringat buruh dan perlawanan kelas. Pada menit-menit pertama unjuk rasa bapak Sancaka (Rio Dewanto) yang dengan segera menyebabkan Sancaka kecil menjadi anak yatim yang terlalu cepat mengenal persoalan dewasa.
Pada 20 menit pertama, Joko Anwar menafsir masa kecil Sancaka yang tak pernah tampil di komik tetapi dicatat oleh komikus Hasmi. Adapun catatan Hasmi yang berserakan di sana-sini dikumpulkan dengan takzim oleh kolektor komik yang kini menjadi General Manager Bumilangit Studios, Andy Wijaya. Buku inilah yang kemudia menjadi semacam ‘buku primbon’ selain puluhan komik Gundala yang terbit sejak 1969 itu.
Adapun Sancaka kecil yang diberi porsi cukup panjang di paruh awal dan sesekali sebagai kilas balik agaknya menjadi sebuah titik penting bagi Joko Anwar yang sering sekali mengaduk-aduk tema keluarga sebagai bagian dari pembentukan karakterisasi tokoh-tokohnya.
Sancaka kecil mengalami trauma besar. Hingga dewasa, dia selalu membawa foto sang Ibu di sakunya. Ada sesuatu yang dicari, ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Dan nasihat sang Ayah agar dia peduli dengan keadaan sosial di sekitarnya, termasuk pada mereka yang susah telah membangun dirinya. Berbagai tokoh yang berkelebatan, di masa pertumbuhannya, seperti Awang yang mendidiknya bertahan menghadapi sesama anak jalanan, dengan silat. Bagi para penggemar komik, munculnya Awang (Faris Fadjar) bukan sekedar sebuah ‘fan-service’ , tetapi dia memang menjadi seorang mentor penting dalam hidup Sancaka di masa dini. Adalah Faris Fadjar yang mencuri perhatian penonton meski penampilannya hanya sekejap.
Ketika Sancaka menjadi dewasa (Abimana Aryasatya), kita semakin masuk ke dalam dunia “Joko-isme” yang sangat kental: politik dan persoalan keluarga berbaur menjadi satu. Seorang Pengkor (Bront Palarae) yang mengalami masa kecil yang sangat keji dan kelam menjadi seorang bos mafia yang berhubungan mesra dengan anggota parlemen; seorang sosok yang berbicara dengan suara mengelus dan gaya licin dan manipulatif , Pengkor mewakili segala yang menjijikkan sekaligus menggiurkan bagi kaum korup. Tetapi Joko Anwar tentu saja menyediakan penjahat yang jauh lebih gigantik berbulu kelinci , ganteng dan mampu berbahasa Jawa kuna hingga dia ‘bisa berkomunikasi’ dengan ‘zat’ masa lalu yang kemudian berubah wujud.
Film “Gundala” , meski sepanjang film masih tentang Sancaka yang baru berkenalan dengan wujudnya yang baru, menurut saya menjadi film hiburan yang melampaui harapan. Pertama, karena duit kita memang belum –atau bakal masih sangat lama—mendekati anggaran Hollywood untuk bisa menggunakan CGI (Computer- Generated Imagery), sehingga Joko Anwar dan para produser serta pemain paham mereka harus menekankan unsur cerita, adegan laga silat dan bahkan sesekali daya kejut jump-scare gaya film horor. Itulah sebabnya film ini saya anggap bukan film superhero. Ini menjadi sebuah pendekatan baru yang segar dan realistik. Bahkan ide gila bernama “serum amoral” , semua itu adalah bagian dari ‘komik’ gaya Joko untuk menertawakan bagaimana masyarakat kita yang kian konservatif ini gemar menggunakan demarkasi antara tindak ‘moral’ dan ‘amoral’. Kedua, ada beberapa ‘keindahan’ di antara kekelaman. Salah satu tangan kanan ‘Bapak’ Swara Batin (Cecep Arif Rahman) tampil dahsyat di tengah gelap, tangan, kaki dan tubuhnya seolah melayang dalam tari sebelum dia siap membunuh.
Ketiga, mereka yang mengikuti film-film Joko Anwar sejak pertama tentu saja mengenal jejak “Jokoisme” di dalam film terbarunya ini: hubungan ‘ribet’ antara tokoh utama, Sancaka, dengan ibunya dan persoalan para ibu hamil. Apapun genre yang dipilih Joko, komedi seperti “Janji Joni” atau thriller seperti “Pintu Terlarang” dan “Modus Anomali”, atau horor seperti “Pengabdi Setan”, atau film berlatar belakang sosial politik seperti “A Copy of My Mind” , maka kedua unsur itu akan selalu ada. Itulah sidik jari Joko Anwar yang selalu akan membawa kita pada “Jagat Joko Anwar”, bukan “Jagat Sinema Bumilangit”.
Ketika, Joko Anwar tetap ingin memberi penghormatan besar kepada sang pencipta komik ini, Hasmi. Pada satu adegan, secara tiba-tiba Sancaka kecil yang dikejar-kejar sekumpulan anak jalanan, diselamatkan sepasang lelaki dan perempuan (yang tampak makmur kaya raya) yang begitu saja ingin mengangkat dia sebagai anak. Kok? Si perempuan (diperankan Djenar Maesa Ayu) menyampaikan dia akan disekolahkan dan suatu hari bisa menjadi ilmuwan. Sancaka tergoda. Tetapi dia menjenguk keluar jendela melihat bagaimana kawan-kawannya yang bertubuh kurus diinjak oleh para preman anak-anak. Sancaka menentukan nasibnya: memasuki jagat Joko Anwar. Seandainya dia ikut sang Ibu Djenar itu, dia akan memulai halaman hidupnya seperti yang ditorehkan Hasmi: Sancaka yang suatu malam lupa ulang tahun Narti dan diputuskan hubungannya……dan seterusnya.
Sebuah penghormatan yang cerdas.
Tentu, tentu saja saya ada beberapa catatan/pertanyaan kecil, misalnya: apa iya kata “patriot” dan “saya rakyat” itu harus bertaburan sebegitu kerap? Lalu apakah wajib membebani skenario dengan kawan-kawan sejagat sedini ini—di luar Awang, tentu saja. Meski saya penggemar berat Sri Asih goretan R.A Kosasih, saya yakin siapapun yang menyutradarai film ini (mudah-mudahan) mampu menampilkan dia tanpa karpet merah dari Gundala. Pertanyaan terakhir: bagaimanakah para sineas akan menggarap film-film yang tampaknya membutuhkan CGI yang kuat semacam Sri Asih, Aquanus dan Dewi Api? Ini pertanyaan seorang penggemar yang tumbuh dengan tokoh-tokoh itu dan merasa ikut memiliki cerita tentang mereka.
Jika Gundala sudah dimulai dengan karpet merah yang panjang dan bersinar untuk mereka, tentu kita bukan hanya menanti sekuel Gundala dan Merpati tetapi juga para jagoan lainnya.
Leila S.Chudori