Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKIPUN baru dilaksanakan tahun depan, “bandul” pemilihan presiden (pilpres) sudah mulai bergoyang ke berbagai arah. Sejumlah partai sudah ancang-ancang. Bahkan ada yang sudah menabuh genderang.
Hiruk-pikuk tidak hanya terjadi ruang-ruang rapat para pesohor politik. Masyarakat pada umumnya juga sudah mulai menunjukkan pilihan. Ini memang pesta demokrasi. Sebuah pesta demokrasi yang selalu diiringi dengan orkestrasi informasi. Informasi itu bisa jadi benar, namun bisa juga keliru.
Informasi memang bisa salah. Namun yang menjadi masalah adalah, jika informasi itu sengaja dibuat keliru lalu disebarkan dengan niat buruk (disinformasi). Atau, informasi yang keliru namun dianggap benar oleh sejumlah orang dan kemudian disebarluaskan (misinformasi).
Sebagian kalangan menyebut misinformasi dan informasi dengan istilah yang lebih sederhana, yaitu hoaks. Hoaks yang menyebar selama pemilihan presiden sangat membahayakan. Kita masih ingat bagaimana masyarakat Indonesia “terbelah” pada masa pemilihan presiden 2019. Salah satu yang membelah rakyat saat itu adalah hoaks.
Pada saat itu, beberapa pihak sudah berusaha mengantisipasi penyebaran hoaks. Sejumlah wartawan, perusahaan pers, akademisi, mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil mencoba berkolaborasi.
Tim peneliti Prodi Digital Journalism Universitas Multimedia Nusantara yang terdiri dari saya dan Samiaji Bintang Nusantara telah melakukan penelitian terhadap proses kolaborasi itu. Tulisan ini akan memaparkan sejumlah kekurangan di dalam kolaborasi tersebut dan menawarkan solusi untuk kolaborasi selanjutnya.
Alur kolaborasi
Empat tahun lalu, kolaborasi pemberantasan hoaks pada masa pemilihan presiden berlangsung dalam beberapa putaran. Salah satunya adalah pada periode pemungutan suara, 16-17 April 2019.
Organisasi yang terlibat saat itu adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Google News Initiative, dan CheckMedia. Kerja sama ini juga melibatkan berbagai perusahan pers, sejumlah mahasiswa, dan kelompok masyarakat sipil.
Kolaborasi ini terpusat di sebuah ruang redaksi yang mereka buat di salah satu gedung di Jakarta. Ruangan itu mereka sebut War Room. Tim yang berada di Jakarta itu terhubung dengan berbagai redaksi media massa di berbagai daerah di Indonesia.
Alur pengecekan fakta dimulai oleh tim khusus yang bertugas memantau berbagai platform media sosial. Tim yang tergabung dalam news gathering desk ini memilah sejumlah unggahan yang diduga hoaks ke dalam sejumlah kategori.
Mereka menandai pernyataan sumir dari tokoh atau figur publik sebagai Claims. Sementara itu, unggahan berupa foto atau gambar yang berpotensi mengandung kebohongan disebut dengan Visuals. Kemudian, yang terakhir adalah Memes, yaitu unggahan yang mengandung unsur gambar atau kombinasi gambar-teks yang mengandung unsur satire atau parodi.
Klasifikasi awal ini kemudian diverifikasi oleh Assignment Desk, lalu dicek kebenarannya oleh tim berikutnya, yaitu Fact-check Desk, yang berada di berbagai wilayah di Indonesia. Hasil pengecekan itu kemudian diproduksi dalam bentuk konten digital dan disebarkan kepada publik.
Kelemahan
Berdasarkan pemantauan dan diskusi terfokus kami dengan sejumlah peserta kolaborasi, ada sejumlah kelemahan yang muncul saat itu. Salah satu kelemahan yang sangat berpengaruh adalah tidak adanya kebijakan yang mengikat dari manajemen perusahaan pers yang berkolaborasi.
Tidak semua redaksi memberikan penugasan khusus kepada jurnalis untuk terlibat ke dalam gerakan tersebut. Akibatnya, jurnalis hanya suka rela ikut berkolaborasi. Dalam kondisi tertentu, para jurnalis ini akan keluar dari jalur kolaborasi jika atasan mereka menungaskan mereka untuk meliput topik yang lain.
Hal ini berujung pada keterbatasan sumber daya manusia yang bisa dikerahkan untuk memantau dan mengoreksi hoaks pada masa itu. Kendala yang kedua adalah ketimpangan penguasaan teknologi oleh pihak-pihak yang ikut dalam kolaborasi.
Teknologi yang dimaksud adalah sejumlah aplikasi berbasis web yang berguna untuk melakukan pengecekan kebenaran unggahan di media sosial yang berformat teks, audio, maupun visual. Meskipun ada program pelatihan, beberapa peserta kolaborasi merasa belum menguasai keterampilan pengecekan fakta digital saat mereka bergabung di war room Jakarta.
Solusi untuk 2024
Untuk mengatasi hal itu, hendaknya kolaborasi berikutnya mengintegrasikan tiga aspek, yaitu literasi pemberantasan hoaks, keterlibatan semua stakeholder, dan inovasi hasil pengecekan fakta. Inisiator kolaborasi perlu melakukan sosialisasi dan pelatihan teknis secara masif, terstruktur, dan berkala. Sosialisasi dan pelatihan ini harus membidik semua pihak yang berkaitan upaya pengecekan fakta, terutama wartawan, pemilik media, organisasi masyarakat sipil, dan civitas perguruan tinggi.
Pemilik dan manajemen media adalah salah satu target utama sosialisasi dan pelatihan ini. Hal ini untuk memastikan mereka memiliki komitmen terhadap upaya pengecekan fakta. Komitmen itu bisa berupa penugasan khusus untuk jurnalis supaya terlibat dalam kolaborasi. Jurnalis yang ditugaskan ini akan dilepaskan dari kewajiban pemberitaan yang lain.
Kampus, komunitas kaum muda, organisasi keagamaan dan kebudayaan juga perlu digandeng. Mereka sangat potensial untuk membantu menyebarkan hasil pengecekan fakta kepada komunitas masing-masing. Lalu, jangan pernah melupakan para influencer. Berkolaborasi dengan mereka akan memperluas jangkauan distribusi hasil pengecekan hoaks melalui media sosial.
Untuk mengatasi stigma produk-produk pengecekan fakta tidak mendulang page view yang tinggi, berbagai upaya penyadaran perlu dilakukan. Memproduksi konten cek fakta bukanlah upaya untuk mencari keuntungan. Ini adalah perjuangan melawan pembodohan publik.
Kolaborasi ini adalah upaya untuk menyelamatkan pemilihan presiden tahun depan dari berbagai macam kebohongan. Inovasi konten cek fakta juga perlu diperhatikan. Untuk itu, kolaborasi antara tim cek fakta dan tim grafis sangat penting. Hal ini untuk membuat produk pengecekan fakta menjadi lebih variatif, interaktif, dan menarik perhatian pembaca.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini