Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Suap Proyek Gedung DPR

11 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUGAS Badan Urusan Rumah Tangga Dewan Perwakilan Rakyat sebetulnya sederhana: mengawasi pengelolaan rumah tangga legislatif. Kerja badan ini mulai urusan tetek-bengek—kebersihan gedung, pengadaan alat tulis kantor, dan absensi sidang—sampai pengawasan anggaran Dewan. Badan ini tak ada urusan dengan dukung-mendukung rekanan pengadaan proyek. Jika yang terakhir itu terjadi, mudah ditebak: di sana ada kongkalikong.

Rencana pembangunan gedung DPR pada 2010 diduga berlumur kongkalikong itu. Ramai diprotes publik karena kelewat mewah, gedung itu—rencananya dilengkapi kolam renang dan pusat kebugaran—akhirnya batal dibangun. Belakangan terungkap rencana itu mengandung cela: sejumlah anggota Badan disangka menerima suap.

Beberapa nama tersangkut. Di antaranya Ketua DPR merangkap Ketua BURT Marzuki Alie (Demokrat), Wakil Ketua BURT saat itu Pius Lustrilanang (Gerindra), Anas Urbaningrum (Demokrat), M. Nazaruddin (Demokrat), dan Olly Dondokambey (PDI Perjuangan). Modusnya usang: mengajak rekanan menggarap proyek bernilai Rp 1,16 triliun tersebut—bujet yang sudah disetujui DPR periode sebelumnya. Dari rekanan itulah duit mengucur.

Jauh sebelum tender dibuka, sejumlah anggota DPR diketahui menggelar pertemuan di Singapura dan Jakarta. Dalam rapat di Singapura, Priyo Budi Santoso (Golkar) mengusulkan PT Waskita Karya menggarap proyek. M. Nazaruddin membawa PT Duta Graha Indah—perusahaan miliknya yang juga menangani Wisma Atlet Palembang dan pusat pendidikan olahraga Hambalang. Anas menyodorkan PT Adhi Karya. Masih ada Pius Lustrilanang yang menemui direksi Adhi Karya dan meminta "uang pengaman". Marzuki Alie dikabarkan sempat pula bertemu dengan Adhi Karya untuk "bicara" proyek. Terdengar kabar, negosiasi bagi-bagi "rezeki" itu berlangsung keras. Para petinggi Badan itu sibuk berjuang demi meloloskan rekanan yang mereka jagokan.

Tentu tak ada yang gratis. Kepada setiap legislator itu, para kontraktor menyetorkan uang pelicin. Komisi Pemberantasan Korupsi telah mengantongi sejumlah voucher senilai Rp 21 miliar yang memastikan transaksi haram tersebut. Tiap anggota DPR mendapat jatah Rp 250 juta sampai Rp 2 miliar. Transaksi bercampur aduk dengan suap kasus Hambalang dan Wisma Atlet. Ketiga kasus itu memang dimainkan oleh aktor yang kurang-lebih sama: beberapa perusahaan milik negara dan sejumlah legislator.

Tak ada alasan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk tak menelisik kembali kasus lawas ini. Apalagi bahan-bahan awal sudah lama terkumpul di Komisi, karena kasus ini diendus KPK sebelum korupsi Wisma Atlet dan Hambalang terungkap. Dengan bahan-bahan awal itu, KPK semestinya mempunyai arah penelusuran lebih jelas.

KPK boleh saja memprioritaskan kasus Hambalang dan Wisma Atlet lantaran kerugian negara dalam dua kasus itu lebih signifikan ketimbang dugaan suap proyek gedung DPR. Tapi, setelah kasus Hambalang dan Wisma Atlet terungkap, skandal gedung DPR ini perlu pula dibuat terang-benderang. Apalagi, setidaknya dalam hal bukti dan kesaksian, penelusuran kasus gedung tidak dimulai dari nol.

Skandal gedung DPR ini tak bisa dianggap kecil hanya lantaran kerugian negara dianggap minim. Gratifikasi merupakan kejahatan melawan hukum, sama batilnya dengan korupsi lain. Kendati gedung DPR gagal dibangun, bukan berarti mereka yang diduga menerima suap boleh bebas menikmati uang haram yang mereka terima. Paling tidak, patut diduga, mereka pernah menyelewengkan jabatan demi kekayaan pribadi. Bila kelak terbukti, anggota Dewan yang kerap disebut terhormat itu tidak hanya mempermalukan diri sendiri, tapi juga meruntuhkan martabat Dewan di mata rakyat.

Penelusuran bisa dimulai dari pemberi voucher, PT Adhi Karya, selain merekonstruksi kembali pertemuan-pertemuan yang digelar untuk mematangkan rasuah. Dibandingkan dengan skandal cek pelawat, anatomi kasus suap ini sebetulnya tak pelik. Pada kasus pertama, rasuah kepada DPR untuk memenangkan Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, KPK mengalami kesulitan mencari hulu pemberi fulus. Dalam kasus gedung DPR, pemberi dan penerima suap boleh dibilang sudah di depan mata.

Memang KPK harus beradu cepat dengan pelaku kejahatan. Munculnya indikasi penghilangan barang bukti—voucher kepada beberapa penerima dikabarkan raib—harus segera diantisipasi. Penyitaan barang bukti, bahkan penahanan mereka yang terlibat, semestinya segera dilaksanakan.

Setelah sejumlah kasus terjadi, kepercayaan rakyat kepada DPR praktis di titik nadir. Hanya pengusutan anggota Dewan yang terindikasi korupsi yang akan mengembalikannya. Pemilu berlangsung lima bulan lagi. Legislator korup dan politikus busuk seharusnya enyah dari daftar calon yang dipilih rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus