Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pelimpahan kasus Novi Rahman Hidayat dari KPK ke Badan Reserse Kriminal Polri bisa membuka permainan penanganan kasus.
Pengembangan kasus rasuah Bupati Novi Hidayat terancam tersendat di tangan Bareskrim Polri.
KPK mesti menarik kembali penanganan kasus Bupati Novi ke Kuningan.
Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memindahkan penyidikan kasus dugaan korupsi Bupati Nganjuk, Jawa Timur, Novi Rahman Hidayat, ke Badan Reserse Kriminal Polri harus dipersoalkan. Langkah tergesa-gesa ini berpotensi menimbulkan simpang siur penanganan perkara korupsi, yang selama ini menjadi tugas utama komisi antikorupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemindahan penyidikan perkara korupsi oleh KPK bisa dilakukan setidaknya jika memenuhi dua alasan. Pertama, jika kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi di bawah Rp 1 miliar dan pelakunya bukan penyelenggara negara. Kedua, jika kasus tersebut sudah ditangani penegak hukum lain. Merunut ketentuan yang tertulis dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 tentang KPK, pemindahan penyidikan dugaan suap Novi Rahman tidak bisa dilakukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebabnya, Novi Rahman merupakan penyelenggara negara. Sebagai kepala daerah, ia diduga menerima suap terkait dengan jual-beli jabatan di tingkat kecamatan seluruh Nganjuk. Bahwa pada awal pengusutan kasus ini adalah hasil kerja sama KPK dan polisi, tidak serta-merta membuat perkaranya bisa dialihkan begitu saja. Apalagi KPK sudah melakukan penyidikan pada 13 April lalu, tiga hari sebelum Bareskrim merilis surat serupa. Menjadi janggal: KPK, yang secara kelembagaan memiliki kekuasaan lebih tinggi dalam penanganan kasus korupsi, mendadak menyerahkan begitu saja perkara itu.
Pelimpahan perkara Novi dari KPK ke Bareskrim berpotensi menyebabkan pengembangan kasus rasuah itu tidak maksimal. Dengan pengalaman dan jam terbang yang lebih tinggi, peluang KPK mengembangkan perkara ini jauh lebih meyakinkan ketimbang Polri. Belum lagi pengalaman buruk banyaknya perkara korupsi yang disidik polisi berhenti di tengah jalan dan menguap begitu saja.
Bareskrim Polri juga tidak memiliki wewenang untuk melakukan pemantauan dan sosialisasi pencegahan korupsi seperti halnya KPK. Pelimpahan kasus rasuah itu akan menyebabkan Pemerintah Kabupaten Nganjuk berpotensi kehilangan peluang pemantauan dan pencegahan korupsi dari KPK. Membongkar kasus korupsi adalah hal penting, tapi upaya pencegahan agar kasus serupa tidak terulang tak kalah penting.
Asal lempar penanganan kasus dari KPK ke penegak hukum lain mesti dicegah sejak sekarang. Langkah sembrono itu bisa menimbulkan ketidakpastian penanganan perkara yang dapat memicu munculnya permainan kasus. Apalagi jika gaya umpan lambung perkara ini menjadi pola, bisa-bisa langkah melempar kasus korupsi ke Bareskrim atau kejaksaan menjadi jalan yang lebih dipilih KPK. Jika hal ini terjadi, tidak akan pernah kasus suap atau korupsi yang melibatkan oknum polisi ataupun jaksa bisa tersentuh hukum.
Membatalkan segera penyerahan penyidikan perkara Novi adalah satu-satunya pilihan yang mesti diambil pimpinan KPK. Tanpa itu, paripurnalah kerusakan lembaga tersebut. Dimulai dari revisi Undang-Undang KPK, masuknya pimpinan bermasalah, hingga yang terbaru main gusur penyidik dan pegawai berintegritas. Ketimbang terus menghabiskan anggaran negara, sudah selayaknya dipertimbangkan mengubah KPK menjadi kantor polisi sektor Kuningan Persada.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo