Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Tragedi Hukum Dedi Mugeni

Seperti tak pernah belajar dari banyak kesalahan, polisi lagi-lagi salah menangkap seseorang yang tak bersalah. Aparat keamanan dengan serampangan menangkap Dedi bin Mugeni dengan tuduhan mengeroyok dan membunuh seorang sopir angkutan umum pada September tahun lalu.

5 Agustus 2015 | 01.24 WIB

Tragedi Hukum Dedi Mugeni
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Seperti tak pernah belajar dari banyak kesalahan, polisi lagi-lagi salah menangkap seseorang yang tak bersalah. Aparat keamanan dengan serampangan menangkap Dedi bin Mugeni dengan tuduhan mengeroyok dan membunuh seorang sopir angkutan umum pada September tahun lalu.

Perkara Dedi adalah tragedi hukum. Setelah ditangkap, ia diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Hakim menghukumnya 2 tahun penjara. Ia baru terlepas dari jerat hukum ketika Pengadilan Tinggi Jakarta menerima bandingnya. Ia dinyatakan tak bersalah dan dibebaskan beberapa waktu yang lalu.

Tragedi pun menghantam keluarganya. Masa hukuman yang telah ia jalani membuatnya mengalami banyak kerugian moril maupun materiil. Ia tak bisa lagi mencari nafkah. Istrinyalah yang kemudian menggantikan dia menjadi tukang ojek. Pada masa sulit ini, anak tunggal mereka yang berusia 3 tahun meninggal akibat kurang gizi.

Sudah selayaknya Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Metro Jaya menyelidiki kesalahan ini. Investigasi ini seharusnya dilakukan secara obyektif, dijauhkan dari kepentingan dan semangat korps.

Menjatuhkan sanksi berat kepada pelaku salah tangkap ini jauh lebih terhormat ketimbang melindunginya atas nama kehormatan lembaga. Bukan hanya petugas di lapangan, semua yang terlibat sampai ke atas harus diusut. Mereka yang terlibat sepatutnya diproses di pengadilan pidana. Masyarakat akan memberi respek jika kepolisian mengambil langkah tersebut.

Sanksi berat bagi pelaku selayaknya diberikan, mengingat kejadian salah tangkap telah kerap terjadi. Lagi pula, penangkapan semacam ini biasanya diikuti dengan kekerasan terhadap korban demi mendapatkan pengakuan.

Khalayak belum lupa akan penangkapan Kuswanto di Kudus, yang dituduh merampok, pada akhir tahun lalu. Ketika itu polisi menyiksa dan membakarnya agar mengaku sebagai pelaku. Kuswanto terbukti tak bersalah. Nurdin Prianto, warga Cipulir, Jakarta Selatan, bahkan dua kali menjadi korban salah tangkap dan siksaan polisi.

Yang tak kalah penting bagi kepolisian adalah memberikan kompensasi yang pantas bagi korban salah tangkap. Dedi jelas menderita kerugian yang tak terhitung: dijauhkan dari keluarga, kehilangan kesempatan memperoleh penghasilan, hingga kehilangan buah hatinya.

Selama ini korban salah tangkap aparat dipaksa menerima hal itu sebagai nasib. Tak ada tanggung jawab negara untuk mengganti kerugian mereka. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur, kompensasi untuk korban salah tangkap hanya Rp 1 juta, jumlah yang bisa satu kali habis untuk makan malam banyak perwira kepolisian.

Sudah saatnya Markas Besar kepolisian memeriksa ulang sistem dan mekanisme penyelidikan dan penyidikan. Dengan demikian, tidak ada celah bagi petugas untuk menangkap seseorang secara serampangan demi mengejar target.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus