Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LISA Perez Jackson tak pernah membayangkan akan menginjakkan kaki di Indonesia. Apalagi, dalam kunjungan pertamanya ini, ia mendapat tugas mewakili Presiden Barack Obama menghadiri pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Gedung MPR/DPR, Selasa pekan lalu.
Jackson merupakan utusan yang datang dari negara paling jauh. ”Penugasan yang luar biasa dan di sini saya mendapat pengalaman baru setiap hari,” kata Kepala Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA)—jabatan yang setara dengan menteri di negaranya—ini.
Pendukung Hillary Clinton dalam perebutan kursi calon presiden Partai Demokrat ini adalah keturunan Afro-Amerika pertama yang menduduki jabatan prestisius itu. Ia membawahkan lebih dari 17 ribu pegawai di seantero negerinya.
EPA dibentuk pada 1970 dengan misi melindungi kesehatan dan mencegah kerusakan lingkungan. Segala kegiatan yang berkaitan dengan kesehatan dan lingkungan di Amerika berada di bawah pengawasan lembaga ini. Dengan seabrek tenaga dan kewenangan, badan yang berpusat di Washington ini menjadi garda depan dalam penelitian, edukasi, dan kajian lingkungan.
Kunjungan Jackson ke Indonesia bukan semata menghadiri pelantikan Presiden Yudhoyono. Ia membawa misi melanjutkan kerja sama kedua negara dalam hal perubahan iklim dan lingkungan. Rabu pekan lalu, misalnya, ia bertemu dengan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo di Balai Kota untuk menawarkan bantuan perbaikan kualitas udara yang ia sebut breathe easy in Jakarta.
Bantuan itu berupa asistensi teknis, mulai pengurangan emisi hingga penemuan bahan bakar terbarukan dan ramah lingkungan. ”Saya dan Gubernur ingin bekerja keras untuk komitmen menjaga lingkungan hidup,” katanya.
Misi lebih besar yang dibawa Jackson tentu terkait dengan pelaksanaan Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kopenhagen, Denmark, yang sudah di depan mata.
Jackson mengatakan bahwa Amerika ingin menggandeng Indonesia untuk memimpin ikhtiar bersama menghadapi ancaman pemanasan global. ”Pemerintah Obama telah menunjukkan perubahan, termasuk upaya nyata mengurangi emisi karbon,” kata Jackson—yang didampingi staf dan pengawalnya—dalam wawancara khusus dengan Adek Media Roza dan Rudy Prasetyo dari Tempo, di Jakarta, Rabu pekan lalu.
Bagaimana kesan pertama Anda setelah tiba di Indonesia?
Ini adalah kunjungan pertama saya ke Indonesia, kesempatan yang luar biasa. Di Jakarta, saya mendapat pengalaman baru setiap hari. Saya benar-benar menikmati kunjungan ini, juga acara pelantikan presiden. Jika ada kesempatan untuk kembali, saya akan berkunjung ke tempat-tempat yang bagus di Indonesia. Sayang, kunjungan ini singkat. Besok (Kamis, 22 Oktober) saya harus bertolak ke Amerika dan bekerja kembali seperti biasa.
Bagaimana pendapat Anda tentang Presiden Yudhoyono?
Dia sosok yang hangat dan tulus. Saya kira Presiden Yudhoyono punya komitmen yang kuat dan mempunyai visi dalam perubahan iklim.
Kenapa Presiden Obama menunjuk Anda menghadiri pelantikan Yudhoyono?
Amerika dan Presiden Obama menghormati Indonesia. Dia sebenarnya sangat ingin menghadiri pelantikan Yudhoyono. Karena itu, ia ingin ada salah satu unsur kabinetnya yang memimpin delegasi Amerika, termasuk Duta Besar Cameroon R. Hume, menjadi saksi pengambilan sumpah Presiden Indonesia. Kami memberi perhatian besar dalam kelanjutan demokratisasi yang kuat, masalah ekonomi, dan isu-isu lingkungan, termasuk perubahan iklim di Indonesia.
Isu lingkungan apa di Indonesia yang menjadi perhatian Anda?
Saya harus datang karena lembaga yang saya pimpin (EPA) telah menjalin kerja sama dengan Indonesia dan ada potensi kemitraan pada isu-isu lingkungan, seperti polusi, energi bersih, dan perubahan iklim. Saya sangat senang bahwa pada tahun pertama saya menjadi Kepala EPA (Jackson ditunjuk menjabat kepala dengan persetujuan Senat Amerika pada 23 Januari 2009), saya dipilih untuk penugasan ini. Saya sangat optimistis kerja sama tersebut akan berjalan dengan baik. EPA memberi bantuan teknis dan kemitraan terkait dengan penanganan polusi udara. Standar lingkungan Amerika pun bisa diterapkan di Jakarta. Dan saya pikir banyak hal yang bisa dibagi di antara kedua belah pihak.
Bagaimana Anda memandang Indonesia dalam penanganan isu-isu lingkungan?
Indonesia sudah menunjukkan banyak hal dalam masalah energi bersih dan perubahan iklim. Hal yang juga merupakan prioritas utama kebijakan Obama. Indonesia memiliki kesempatan luar biasa di masa depan untuk menunjukkan komitmennya terhadap kelestarian lingkungan. Satu hal yang membuat saya terkesan adalah ketika mendengar pidato Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan pemimpin negara G-20 di Amerika beberapa waktu lalu. Yudhoyono berbicara tentang perubahan iklim sebagai masalah bersama. Penanganan isu perubahan iklim, menurut Yudhoyono, adalah kesempatan untuk menumbuhkan kesadaran bersama, dan salah satu solusinya dengan cara menurunkan emisi karbon.
Apa rencana Amerika dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen akhir tahun ini?
Konferensi itu merupakan sebuah negosiasi besar. Presiden Obama telah berkali-kali mengatakan ada prinsip yang harus membimbing tindakan kita sebagai anggota masyarakat dunia. Negara maju seperti Amerika harus berbuat sesuatu yang bermakna dalam pengurangan emisi. Tapi kita tahu, sebesar apa pun tindakan yang sudah dibuat, tak banyak berarti tanpa dukungan dan kebersamaan dengan negara lain.
Hal bermakna apa yang telah dilakukan Amerika?
Presiden Obama terus bekerja untuk menggerakkan ekonomi Amerika menuju penggunaan energi bersih. Penggunaan energi bersih akan sangat berguna seiring dengan peningkatan pertumbuhan energi. Pada kesempatan pertama berada di Gedung Putih, Obama melakukan berbagai tindakan, seperti mengucurkan dana US$ 80 miliar untuk program penggunaan energi bersih dan efisiensi energi. Dana tersebut digunakan untuk penelitian dan pembangunan. Sisanya digunakan sebagai hibah untuk membantu pemerintah negara bagian dan diputar dalam bentuk kemitraan dalam skala internasional.
Ia juga menyerukan perlunya undang-undang baru yang diterapkan di Amerika untuk menyesuaikan pelaksanaan energi bersih dan perubahan iklim. Amerika akan memposisikan diri untuk melakukan perubahan, baik di dalam negeri maupun internasional khususnya, mengenai perubahan iklim.
Lalu bagaimana posisi negara berkembang, seperti Indonesia?
Negara-negara berkembang perlu membuat komitmen dan peran yang dapat diambil untuk mengatasi perubahan iklim. Dan untuk negara seperti Indonesia, Amerika menghormati visi Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim, tapi hal itu harus dilakukan secara berkelanjutan dengan menurunkan pertumbuhan emisi karbon sejak awal. Tentu untuk tiap negara memiliki peran dan posisi yang berbeda.
Di masa pemerintah George Bush, Amerika terkesan enggan mendukung upaya pengurangan emisi. Banyak yang khawatir sikap ini tidak berubah, dan konferensi-konferensi tak akan pernah mencapai hasil penting. Komentar Anda?
Presiden Obama adalah seorang yang bertindak sebagai negarawan, kuat, dan pekerja keras. Bukan rahasia lagi Obama selalu menekankan perubahan. Lembaga yang saya pimpin kini berbeda dari di masa pemerintah Bush. Perbedaan yang mencolok adalah bagaimana Amerika memperlakukan perubahan iklim dan isu-isunya sebagai masalah yang penting.
Perubahan saja tidak cukup, perlu kerja keras, karena menurunkan emisi akan berdampak pada industri dan pertumbuhan ekonomi. Amerika siap?
Pemerintah Amerika tidak hanya bertekad mengurangi emisi, tapi juga melibatkan para pengusaha. Pemerintah memang bisa mengeluarkan uang untuk energi yang bersih dan efisien, tapi kita tidak akan melihat perubahan nyata, sebuah transformasi, sampai sektor swasta bergabung juga. Ada peluang bagi kalangan usaha untuk mengambil keuntungan dari setiap upaya penurunan emisi.
Lisa Perez Jackson
Tempat Tanggal Lahir: Pennsylvania, Philadelphia, Amerika Serikat, 8 Februari 1962.
Pendidikan:
Karier:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo