Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama lima tahun terakhir, banjir rob menjadi bagian dari keseharian warga Muara Baru, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Bukan apa-apa, masuknya air laut ke permukiman selalu terjadi pada saat pasang. Padahal kala itu tidak ada hujan atau banjir kiriman dari selatan.
Banyak pihak menyebutkan hal itu terjadi karena naiknya permukaan laut akibat pemanasan global. Belakangan para ahli menambahkan faktor lain: amblesan tanah. "Di daerah sekitar Pantai Indah Kapuk penurunan tanah berkisar 10,2-11,7 sentimeter tiap tahun," kata Profesor Hasanuddin, guru besar Institut Teknologi Bandung di bidang geodesi satelit.
Wilayah lain di pesisir Jakarta juga mengalami penurunan tanah sekitar 10-12 sentimeter. Amblesan tertinggi terdapat di Pantai Mutiara, Kecamatan Penjaringan, yang mencapai 26 sentimeter, berdasarkan data GPS pada September 2007-Agustus 2008. Pantai yang kini berdiri permukiman mewah, hotel, dan apartemen ini hasil reklamasi pada 1980-an.
Selain kawasan pantai, kata Hasanuddin, penurunan terbesar terjadi di kawasan industri. Di Pulogadung, misalnya, rata-rata tanah turun 12-13 sentimeter per tahun pada perhitungan 2001-2002. Pada perhitungan September 2007-Agustus 2008 bahkan mencapai 17 sentimeter. Di wilayah itu terdapat beberapa kawasan industri, antara lain Pulogadung, Cakung, dan Cilincing. "Kondisi subsidence (penurunan tanah) sampai sekarang terus berlangsung," ujarnya.
Daerah lain yang turun 4-6 sentimeter per tahun terjadi di daerah sekitar Jalan Dharmawangsa, Kebayoran Baru; Cikini; Tegal Alur; Cilincing; dan Kamal Muara. Adapun penurunan tanah 6-8 sentimeter per tahun terdapat di sekitar kantor Bapedalda Kuningan, Atrium Senen, Joglo, dan Tongkol.
Apa yang menjadi penyebab tanah ambles? "Kombinasi penyedotan air tanah besar-besaran, terutama oleh pabrik; beban bangunan; dan kondisi tanah," kata Hasanuddin. Akibatnya, selain bisa merusak bangunan, hal itu menimbulkan banjir karena permukaan tanah menurun.
Berdasarkan survei terbaru, 64 persen kebutuhan air di Jakarta diambil dari dalam tanah. Masyarakat biasanya mengambil air tanah dari akuifer dangkal atau hingga kedalaman 40 meter. Penyedotan besar-besaran dilakukan oleh sektor industri, yang menggunakan sumur bor pada lapisan akuifer dalam atau di atas 40 meter.
Pada 2007, Pemerintah Provinsi Jakarta mengizinkan penggalian 3.700 sumur. Namun banyak pula yang menggali secara sembunyi-sembunyi.
Hasanuddin menggambarkan tren penurunan tanah di Jakarta seperti penyakit kanker. Menurut dia, perlu penyelesaian menyeluruh untuk mengatasi masalah ini. "Kalau mau dioperasi, harus revolusioner. Kalau sepotong-sepotong, masalahnya bakal campur aduk," katanya.
Dia menyoroti kawasan utara Jakarta. Di kawasan itu terus dibangun apartemen dan perumahan, termasuk yang kini sedang gencar dipasarkan. Menurut Hasanuddin, ancaman banjir bakal berlipat ganda: dari darat dan rob.
Pembangunan di kawasan utara itu, katanya, makin merepotkan penduduk Jakarta. Operasi total harus dilakukan. Dimulai dengan memperketat pengambilan air tanah yang diimbangi dengan pasokan air permukaan yang mencukupi dari perusahaan daerah air minum.
Kemudian memperbaiki tata ruang untuk mengurangi beban bangunan serta pembersihan aliran sungai dan kanal-kanal. Langkah selanjutnya, menghidupkan kembali sejumlah situ atau danau di Jakarta yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda.
Anwar Siswadi, Untung Widyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo