Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan serangkaian gempa di daerah sekitar Danau Rawa Pening, Jawa Tengah, sebagai gempa swarm. Sejak Sabtu dini hari hingga Ahad, 24 Oktober 2021 pukul 10.00 WIB, tercatat 32 kali gempa di wilayah Banyubiru, Ambarawa, Salatiga dan sekitarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono, puluhan gempa susulan itu kekuatannya tidak ada yang melebihi magnitudo 3,5. Mayoritas gempa kurang dari magnitudo 3,0 dengan angka terkecil 2,1.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seluruh gempa, menurut Daryono, tergolong sangat dangkal dengan kedalaman kurang dari 30 kilometer. Gempa paling banyak terjadi berada pada kedalaman kurang dari 10 kilometer. “Gempa terdangkal berada pada kedalaman 3 kilometer yang terjadi sebanyak 3 kali,” katanya lewat keterangan tertulis, Ahad 24 Oktober 2021.
Dari kajian data gempa sejak Sabtu dini hari, BMKG menggolongkan lindu yang terjadi sebagai gempa swarm berdasarkan sebaran temporal magnitudo gempa. Menurut Daryono, gempa swarm dicirikan oleh serangkaian aktivitas gempa bermagnitudo kecil dengan frekuensi kejadian yang sangat tinggi. “Berlangsung dalam waktu relatif lama di suatu kawasan, tanpa ada gempa kuat sebagai gempa utama,” ujarnya.
Umumnya penyebab gempa swarm antara lain berkaitan dengan aliran fluida, intrusi atau penerobosan magma, juga migrasi atau perpindahan magma. Proses itu menyebabkan terjadinya deformasi atau patahan batuan bawah permukaan di zona gunung api. “Gempa swarm memang banyak terjadi karena proses kegunungapian,” kata Daryono.
Terkait fenomena swarm yang mengguncang Banyubiru, Ambarawa, Salatiga dan sekitarnya, BMKG menduga kejadian itu berkaitan dengan fenomena tektonik. Alasannya, karena daerah itu cukup kompleks berdekatan dengan jalur Sesar Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Sesar Rawa Pening dan Sesar Ungaran.
Dugaan tektonik swarm itu, menurut Daryono, terlihat dari bentuk gelombang geser yang sangat jelas dan nyata. “Menggambarkan adanya pergeseran dua blok batuan secara tiba-tiba,” katanya. Gempa tektonik swarm umumnya terjadi karena adanya bagian sesar yang mengalami rayapan sehingga mengalami deformasi aseismic, atau bagian sesar yang tidak terkunci bergerak perlahan seperti rayapan.
Baca:
Gempa di Kabupaten Semarang Diikuti 31 Gempa Susulan
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.