Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Ramainya anak muda di sejumlah taman kota menyiratkan bahwa mereka haus akan adanya ruang terbuka hijau.
Faktanya, ruang terbuka hijau di Jakarta Pusat, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Semarang justru menyusut.
Ruang-ruang hijau di Indonesia masih belum dianggap prioritas sehingga kerap kalah oleh desakan ekonomi.
BERKUNJUNG ke Tebet Eco Park, Taman Literasi Blok M, kompleks Gelora Bung Karno, atau tempat-tempat terbuka lain, kita akan menemukan banyak anak muda, terutama Gen Z dan milenial, yang asyik nongkrong di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fenomena tersebut menyiratkan satu hal: anak-anak muda haus akan ruang terbuka hijau di tengah padatnya kota dalam kepungan beton dan kaca.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbagai studi membuktikan, selain penting untuk keberlangsungan ekosistem kota, ruang hijau bisa meredam stres serta meningkatkan kesehatan mental ataupun fisik lewat interaksi sosial dan beragam aktivitas yang dilakukan di sana.
Maka, wajar, setiap momen munculnya ruang publik baru selalu menjadi buruan muda-mudi metropolitan. Sayangnya, di tengah tingginya kebutuhan dan minat akan ruang terbuka hijau, eksistensinya justru makin tergerus pembangunan kota yang kian masif.
Potret Ruang Terbuka Hijau di Lima Kota Besar
Saya melakukan riset pemetaan perubahan tutupan ruang terbuka hijau di lima kota besar Indonesia, yakni Jakarta Pusat, Bandung (Jawa Barat), Yogyakarta, Surabaya (Jawa Timur), dan Semarang (Jawa Tengah). Penelitian ini menggunakan citra satelit remote sensing Sentinel-2 serta Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dan Enhanced Vegetation Index (EVI).
Analisis dilakukan dalam tiga rentang waktu 2019-2020, 2021-2022, dan 2023-2024.
Hasil riset menunjukkan bahwa tidak semua kota memenuhi standar penyediaan area hijau minimal 30 persen dari luas wilayahnya, seperti ketentuan yang berlaku. Jumlah ruang hijau di semua kota justru menyusut bersamaan dengan berkurangnya jumlah tutupan hijau.
1. Jakarta Pusat
Dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, jumlah tutupan hijau di jantung Ibu Kota menurun drastis dari 45 persen menjadi hanya 20 persen. Begitu pun dengan ruang hijau.
Pada 2013, porsi ruang hijau di kawasan padat penduduk ini hanya 4,65 persen dari total wilayah. Trennya pernah membaik: naik menjadi 7,12 persen pada 2022, tapi kembali menurun tipis menjadi 7,02 persen pada 2024. Itu pun berupa kantong-kantong kecil yang tersebar dan tak saling terhubung.
2. Bandung
Kota Bandung terbilang punya luas wilayah dan kondisi alami yang mendukung adanya ruang hijau. Data satelit menunjukkan tren peningkatan area hijau sekitar 532 hektare pada periode 2019-2024, tapi sebarannya tidak merata. Vegetasi hijau kebanyakan ada di pinggiran kota. Sedangkan di pusat kota, ruang terbuka hijau cenderung terpecah dan terisolasi.
Persentase ruang hijau publik naik dari 6,26 persen (2019-2020) menjadi 9,23 persen (2021-2022), lalu turun lagi ke 6,99 persen (2023-2024).
Secara umum, urban sprawl atau perluasan wilayah perkotaan yang masif terus mengancam bentang alam di sekitar wilayah ini.
3. Yogyakarta
Kota budaya ini awalnya memiliki tutupan hijau cukup merata pada 2019-2020. Namun, sejak 2023, ruang hijau terpecah-pecah akibat pesatnya pembangunan. Ruang hijau publik naik dari 13,60 persen pada 2019-2020 ke 18,22 persen pada 2021-2022, tapi kembali menyusut ke 14,25 persen pada 2023-2024.
4. Surabaya
Kota ini pernah mencatat tutupan vegetasi yang cukup baik, bahkan melampaui Jakarta dan Yogyakarta. Tapi, pada 2023-2024, sekitar 1.190 hektare area hijau hilang karena ekspansi industri dan perumahan.
Meski masih memiliki vegetasi sekitar 46 persen dari total wilayah (turun dari 49 persen pada 2022), tekanan urbanisasi tetap tinggi. Akibatnya, persentase ruang hijau publik pun menurun dari 49,35 persen (2021-2022) menjadi 45,94 persen pada 2023-2024.
5. Semarang
Ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini awalnya berhasil memperluas ruang hijau sekitar 1.747 hektare pada 2019-2022 lewat berbagai program penghijauan dan rehabilitasi mangrove. Walhasil, ruang hijau publik Semarang naik dari 44,51 persen pada 2019-2020 ke 49,37 persen pada 2021-2022.
Namun, pada 2023-2024, ruang hijau justru kembali menyusut ke 45,95 persen. Kami menemukan, belakangan, makin banyak ruang hijau dikonversi menjadi lahan pembangunan.
Temuan riset ini mengkonfirmasi bahwa tren ruang hijau makin menyusut. Kota-kota dengan wilayah sempit dan padat, seperti Jakarta Pusat dan Yogyakarta, menghadapi krisis ruang hijau. Sementara itu, kota besar yang masih punya banyak ruang hijau juga terus tertekan pembangunan, seperti yang terjadi di Bandung, Surabaya, dan Semarang.
Situasi ini menjadi alarm serius untuk pembenahan tata kelola dan perencanaan kota.
Menuju Perencanaan Kota yang Ideal
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah merekomendasikan standar minimal 9 meter persegi ruang hijau per kapita.
Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menetapkan 30 persen dari luas wilayah kota harus berupa ruang hijau (dengan 20 persen ruang terbuka hijau publik).
Namun, dalam praktiknya, kota-kota di Indonesia belum memenuhi kedua standar ini. Ruang-ruang hijau masih belum dianggap prioritas di negara kita karena kalah oleh desakan ekonomi.
Melihat negara kecil seperti Singapura, mereka bisa konsisten dengan konsep garden city dan mengalokasikan lebih dari 50 persen wilayahnya untuk ruang terbuka hijau di tengah lahan mereka yang terbatas. Ini jelas menunjukkan bahwa ruang hijau yang banyak bisa terwujud jika ada kemauan politik yang besar.
Kalau mau, pemerintah kota sebenarnya juga tak perlu pusing sendiri. Peran swasta melalui program corporate social responsibility (CSR) sebenarnya bisa didorong, misalnya dengan mengajak mereka membangun bersama taman tematik atau hutan kota mini.
Pemerintah kota juga bisa membuka ruang partisipasi warga, dari menyampaikan kebutuhan ruang hijau di lingkungannya sampai terlibat langsung dalam proses perencanaan.
Contoh suksesnya adalah Taman Literasi Blok M. Pendekatan place making yang melibatkan komunitas mampu menghadirkan ruang publik yang sangat hidup.
Ruang hijau yang ideal tentu bukan cuma soal seberapa luas, tapi juga apakah benar-benar fungsional dan bermanfaat serta berkualitas secara desain dan pemeliharaan. Selain itu, ruang ini harus mudah diakses, tersebar merata, dilengkapi fasilitas beragam, inklusif, mengedepankan aspek keberlanjutan ekologis, aman, dan terintegrasi dengan sistem transportasi serta tata kota.
Menghadirkan kembali ruang hijau ke tengah kota adalah langkah wajib menuju keberlanjutan. Dan generasi muda kita sudah memberi sinyal kuat bahwa itulah yang mereka butuhkan untuk kualitas hidup yang lebih baik di masa depan.●