Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam belum larut. Tapi perut Salmon sudah kembali keroncongan. Rasa lapar kian mendera karena hawa di Pusat Latihan Gajah Taman Nasional Way Kambas dingin bukan main. Salmon sudah mengudap menu sore. Tapi 25 pelepah kelapa itu mana cukup untuk mengganjal perutnya. Gajah jantan berusia 30 tahun ini mulai uring-uringan. Rantai yang mengikat kakinya dengan pasak dia entakkan sampai putus. Belalainya diangkat tinggi-tinggi, lalu Salmon meraung. Gajah-gajah lain ikut menggerung dengan gaduh.
Tapi para pawang tetap minum kopi bersama Tempo, yang berkunjung ke Way Kambas, Lampung, dua pekan lalu. Gajah gelisah pada malam hari sudah soal biasa. Menurut salah satu pawang, kegaduhan timbul rata-rata lima hari dalam seminggu. Mereka baru turun bila terdengar bunyi ”gedebuk” yang menandakan gajah-gajah sudah baku hantam. Kandang hewan itu hanya berjarak 50 meter dari barak pawang.
”Salmon!” pawangnya memekik berulang-ulang. Untuk menenangkan gajah, pawang biasa memanggilnya dengan nama. Salmon tetap mengerang. Pawang Salmon, Dwi Yulianto, akhirnya mendekat sembari menepuk badannya. Pawang lain bergegas mencari rumput guna mengganjal perut binatang besar ini.
Urusan perut kerap menjadi penyebab amuk di Way Kambas. Idealnya, gajah makan 50-100 jenis tumbuhan, terutama rumput ditambah dedaunan, ranting, akar, serta sedikit buah, benih, dan bunga. Gajah perlu variasi makanan buat memenuhi kebutuhan mineral kalsium untuk memperkuat tulang, gi-gi, dan gading. Berat makanan idealnya 10 persen dari bobot tubuh.
Jadi, kalau Salmon beratnya berkisar 2 ton, dia membutuhkan sedikitnya 200 kilogram asupan. Kenyataannya, Salmon dan kawan-kawan hanya menda-pat jatah 20 jenis tumbuhan dengan berat tak sampai setengah porsi ideal. Walhasil, 20 persen dari 62 gajah masuk kategori amat kurus. Tulang-tulang tampak menonjol dari balik kulitnya yang keriput. ”Bobotnya tak ideal jika dibanding gajah-gajah liar,” tutur Wiwiek Abidin, dokter yang me-nangani kesehatan gajah.
Gajah Sumatera atau Elephas maximus sumatranus merupakan mamalia yang aktif siang dan malam. Sebagian besar aktif dua jam sebelum petang sampai dua jam setelah fajar. Mereka menghabiskan 16-18 jam sehari untuk mencari makan. Karena hanya mencerna 40 persen dari yang apa dimakannya, gajah harus mengkonsumsi makanan dalam jumlah besar. Gajah dewasa membutuhkan jatah makanan 200-300 kilogram biomassa atau berat kering per hari. Kebutuhan ini berlaku juga bagi gajah Sumatera, yang ukurannya paling kecil di dunia: tinggi 1,7 hingga 2,6 meter.
Padahal, di pusat latihan Way Kambas, petugas hanya mampu membeli satu truk pelepah kelapa dan pisang setiap hari. Pelepah adalah camilan malam hari, tapi berubah menjadi menu utama ketika rumput mengering di musim kemarau. Pelepah juga kian sulit didapat. Terkadang datang dua atau tiga hari sekali. ”Itu pun kalau ada orang yang mau menjualnya. Belum lagi kendala anggaran transportasi yang terbatas,” kata Kepala Balai Taman Nasional Way Kambas Mega Haryanta.
Porsi kecil makanan gajah ini tak lepas dari minimnya dana yang dikucurkan pemerintah melalui Departemen Kehutanan. Tahun ini, setiap gajah mendapat Rp 14 ribu sehari. Sebelumnya, hanya Rp 10 ribu untuk setiap gajah. Itu jauh berbeda dengan di Taman Safari, Bogor—setiap gajah mendapat jatah Rp 50 ribu sehari.
Mega mengatakan jatah Rp 14 ribu itu karena pemerintah menilai Taman Nasional Way Kambas masih memiliki banyak rumput. Sedangkan di Taman Safari, umpamanya, semua bahan makanan harus dibeli. Celakanya, jatah Rp 14 ribu itu sudah termasuk obat-obatan. ”Ini jelas tak cukup,” kata Mega.
Dia menuturkan, tahun lalu, anggar-an makan gajah turun hanya untuk 8 bulan—bukan 12 bulan. Dana yang minim itu disiasati atau dicukup-cukupkan untuk satu tahun dengan mengurangi jatah per hari. Pusat latihan ini berupaya mencari dana tambahan melalui pengajuan proposal ke berbagai donatur dan tiket masuk kawasan. Setiap pengunjung yang hendak naik ga-jah dipungut biaya. Hasilnya untuk pawang dan tambahan makanan gajah.
Beberapa gajah dititipkan ke kebun binatang seperti Taman Kedathon Lam-pung atau Taman Safari Bogor. ”Dengan harapan meringankan beban dan menyubsidi pusat pelatihan,” ujar Mega.
Untuk menyiasati seretnya dana, petugas menggembalakan gajah di padang rumput pada siang hari. Namun persediaan rumput amatlah terbatas pada musim kemarau. Rumput mengering sehingga tak mencukupi kebutuhan makan hewan raksasa ini. Praktis gajah hanya mengandalkan pasokan pelepah kelapa atau pisang, yang jauh dari mengenyangkan. Pada musim ini, gajah di pusat latihan sering terjangkit penyakit gon-dongan (pembengkakan di bagian leher).
Di musim hujan, nasib gajah tetap muram walau makanan lebih tercukupi. Padang rumput menghijau, semak melimpah. Tapi penyakit cacingan mengancam. Biasanya, setiap kali datang musim hujan, gajah-gajah terserang cacingan. Mereka biasa mendapat obat tambahan berupa obat cacing dan vitamin B kompleks. Penyakit cacingan inilah yang diduga merenggut nyawa Senthong, 35 tahun, awal Januari lalu. Padahal usia hidup gajah bisa mencapai 75 tahun.
”Tapi kita belum bisa menyimpulkan penyakit cacingan sebagai penyebab. Kematian Senthong masih diselidiki,” kata Mega. Saat ini Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor masih meneliti penyebab kematian Senthong. Selain terserang cacingan, gajah di musim hujan sering kena penyakit porangen, sejenis luka atau koreng di dalam tubuh.
Kondisi gajah di pusat penangkaran Way Kambas ini membuat prihatin Komandan Operasi Ganesha 1982, I Gusti Kompyang Manila. Operasi Ganesha adalah upaya tentara menggiring gajah liar ke tempat aman dan tak mengganggu penduduk. Menurut dia, gajah di alam liar bisa mengurus kebutuhan perutnya sendiri. Pusat latihan, kata I G.K. Manila, seharusnya bisa memastikan asupan makanan gajah itu. Apalagi bila gajah mendapat latihan rutin supaya bisa melakukan atraksi. ”Kalau tak mampu memelihara dalam jumlah besar, sebaiknya kurangi saja,” kata Manila, yang ikut menggagas Taman Nasional Way Kambas itu. ”Atau jangan memelihara.”
Latihan ekstrakeras di Pusat Latihan Gajah membutuhkan ekstra-makanan. Alma adalah salah satu contoh yang dilihat Tempo. Pagi-pagi, gajah berusia 20 tahun ini sudah berlatih menyingkirkan kayu yang melintang di jalan. Sang pawang, Sueb, 36 tahun, terus berteriak memberikan instruksi sambil sesekali melecut tubuh Alma. Dia termasuk gajah yang dipersiapkan untuk patroli dan membantu menangani bencana. Menu latihannya adalah menyingkirkan kayu, berlari, dan menyeberangi sungai.
Aktivitas lebih berat harus dijalani gajah atraksi. Ada 22 ekor yang disiapkan untuk menghibur penonton. Mereka dilatih angkat kaki, duduk, atau menyalami pengunjung dengan belalai. Sueb mengatakan latihan paling sulit ada-lah membelit atau melangkahi tubuh manusia yang terbaring.
Gajah-gajah latih itu, kata Sueb, tidak selamanya menurut kepada pawang. Suatu ketika, seorang pawang dibanting hingga patah tulang. ”Ternyata si pawang tak tahu gajahnya sedang lapar,” kata Sueb. Dia menambahkan, ”Kalau gajah belajar saat lapar, bisa-bisa kita diinjak.”
Yandi M.R., Nurochman (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo