Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Saat Buta Menjadi Niscaya

Nobelis Sastra asal Portugal José Saramago tak bosan-bosannya meneror cara pandang pembaca. Sebuah tour-de-force imajinasi yang dibya.

23 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BLINDNESS José Saramago Penerbit: Ufuk Press, Maret 2007 Penerjemah: Arif Bagus Prasetyo Penyunting: Yos Rizal Tebal: 447 halaman

KEMACETAN terjadi di depan sebuah lampu lalu lintas. Sambung-menyambung klakson me-nyalak, memaki mobil terdepan yang tak juga beranjak. Sang pengemudi, seorang lelaki, gagal melihat warna hijau yang ditunggu-tunggunya sejak tadi. Yang dilihatnya kini hanya putih, seakan-akan ia diceburkan ke dalam samudra susu. Tak ada warna lain, tak ada bentuk lain, kecuali putih. Dan apakah namanya itu kalau bukan buta?

Lewat tokoh pertama yang diperkenalkannya secara ekstrem dalam Blindness, Nobelis Sastra 1998 José Saramago langsung menjungkirbalikkan pemahaman pembaca tentang kebutaan yang umumnya diasosiasikan dengan warna hitam—terma medis menyebut gejala itu sebagai amaurosis.

Kemacetan segera usai karena seorang lelaki budiman bersedia mengantarkan pria malang itu kembali ke rumahnya. Sialnya, orang itu sesungguhnya tak berhati malaikat, karena kemudian ia berlaku lancung dengan membawa kabur mobil pria yang ditolongnya. Beberapa jam kemudian lelaki kedua ini tersandung petaka serupa: terserang buta putih.

Kini jelaslah bahwa Saramago, pengarang kelahiran Portugal 84 tahun silam, tak hendak berkisah dalam gaya realisme. Sebab, mana ada kebutaan yang menular? Tapi pembukaan yang absurd ini dibutuhkan sang pengarang agar penduduk kota tak bernama itu takluk di bawah ancaman endemik baru yang mengerikan. Pria ketiga yang mendadak buta adalah seorang dokter mata yang didatangi pria pertama. Begitu selanjutnya bak sebuah efek domino, Saramago dengan tour-de-force imajinasi yang dibya, membuat setiap orang yang berinteraksi dengan tokoh-tokoh sebelumnya mengalami hal yang sama.

Negara panik. Sebuah rumah sakit jiwa segera dijadikan tempat isolasi korban. Setiap hari pasien bertambah. Tak ada yang mengurus mereka di rumah sakit itu, selain diri sendiri. Makanan didatangkan dari luar, dan tempat itu dikontrol 24 jam oleh pihak militer yang tak segan menekan pelatuk senjata hanya karena hal-hal sepele. Salah paham kecil antarpasien berkobar menjadi surup. Dan karena tempat laknat itu dihuni pasien lelaki dan perempuan dalam jumlah yang tak seimbang, bagaimanakah caranya agar birahi bisa tersalurkan?

Jika proses dehumanisasi yang terjadi di tempat itu mulai membuat Anda bergidik, bahkan muak, percayalah, itu baru separuh kisah. Teror mental terhadap pembaca terus berlanjut setelah sistem lumpuh, serta para penderita tak bisa lagi tertampung karena lonjakan berlipat ganda pengidap baru di luar sana. Mereka yang masih hidup di dalam rumah sakit akhirnya bisa melarikan diri dan berbaur dalam sebuah sistem sosial yang ganjil. Begitu ganjilnya sehingga figur-figur tokoh suci dalam gereja pun digambarkan dengan mata tertutup lewat penjelasan satu-satunya tokoh utama yang selamat dari kebutaan. Alhasil, seperti halnya Camus, Saramago menggunakan penyakit sebagai representasi krisis sosial-politik, sebelum menukik pada keprihatinannya yang utama: krisis kemanusiaan.

Jika Blindness ditakar sebagai karya alegoris, kota tak bernama dan pemerintah macam apakah yang sedang dibidik Saramago dalam novel yang versi aslinya terbit pada 1995 itu? Yang terang, persis sebelum Blindness muncul, Saramago merilis The Gospel According to Jesus Christ (1991), yang membuat merah padam peng-anut Nasrani di negeri itu. Begitu berangnya mereka sehingga Saramago terpaksa hengkang dari tanah kelahirannya, dan bermukim di Kepulauan Canary, Spanyol, hingga sekarang.

Blindness memang bukan novel yang bisa dibaca dengan tersenyum, meski humor kelam bertaburan di sana-sini. Penyebab pertama, Saramago tak bermurah hati memberikan nama kepada para tokohnya. Maka yang ada adalah sebutan seperti ”lelaki buta pertama”, ”dokter mata”, ”istri dokter” atau ”perempuan dengan kacamata hitam” di sekujur tubuh teks. Kedua, satu paragraf khas Saramago biasanya sangat panjang, kadang-kadang setara dengan satu bab penulis lain. Ketiga, jangan harap menemukan sepotong pun tanda baca dalam novelnya, kecuali koma dan titik.

Dua ciri khas terakhir itu, dalam edisi Indonesia yang baru beredar, untungnya (atau malah ruginya?) disesuaikan oleh penerbit dengan ”cita rasa” rata-rata pembaca di sini. Paragraf superpanjang dicacah sehingga lebih ram-ping, dan dipasang tanda kutip untuk menyatakan dialog para tokoh.

Terlepas dari teknik terjemahan yang bisa menjadi diskusi tersendiri, yang jelas kota tak bernama yang dikisahkan Saramago itu bukan hanya kota tunggal yang terletak di Portugal. Itu yang menyebabkan novel ini berarti.

Akmal Nasery Basral

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus