Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Keberadaan tambang nikel dan smelter mengimpit kehidupan nelayan.
Perairan di Kawasi diduga terkontaminasi logam berat dalam kadar sangat tinggi dan dikategorikan tercemar berat.
Masih dihinggapi persoalan rencana pembuangan limbah tailing bawah laut.
RAUT muka Samsudin, 48 tahun, tampak mengerut. Sesekali dia menghela napas sambil mengambili sampah plastik yang menempel di lambung perahunya yang ia tambatkan di pantai Kawasi, Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Nelayan Kawasi itu terpaksa membatalkan niatnya menjaring ikan meski telah seminggu libur melaut akibat gelombang tinggi. "Pencemaran air dan pesisir Kawasi terjadi sejak ada pertambangan nikel. Kami cuma bisa sabar," kata Samsudin, 28 November 2021.
Tak hanya kotor oleh sampah, air laut yang dulu bening pun telah berubah menjadi keruh, berwarna cokelat kehitaman. Samsudin, yang melaut sejak berusia belasan tahun, mengingat, berpuluh tahun sebelumnya, ketika tanah Kawasi belum dikeduk tambang, laut yang membentang di hadapannya selalu jernih. Ia tak pernah melaut jauh untuk memanen ikan-ikan karang. Sekarang situasi berubah menjadi kutukan bagi mereka yang masih berprofesi nelayan.
Lumpur itu sangat mematikan bagi terumbu karang yang menjadi rumah ikan. Sanusi, nelayan lain yang merasakan dampak tambang nikel yang mengepung Kawasi, mengatakan sebelum ada pertambangan mereka bisa menjaring 30-50 kilogram ikan karang seperti kakap merah dan bubara sekali melaut. "Kawasi ini daerah tangkapan ikan pelagis juga," tuturnya. Pelagis adalah kelompok ikan yang hidup dekat permukaan laut, seperti tuna, cakalang, dan tenggiri.
Nelayan juga kerap menangkap teripang atau timun laut. Teripang-teripang itu bermukim di terumbu karang yang masih hidup sehat beberapa tahun lalu. "Tapi sekarang ikan-ikan karang, ikan pelagis, dan teripang sudah tidak ada lagi," ujarnya. Bahkan gugusan terumbu karang yang tersebar di banyak titik pun sudah tak tampak, berganti dengan endapan lumpur yang menurut Sanusi terus bertambah tebal.
Berdasarkan amatan Tempo yang berkunjung ke Kawasi, lumpur itu datang dari aktivitas penambangan yang ada di semua penjuru Kawasi. Tambang-tambang nikel yang berlokasi di sebelah timur Kawasi adalah tambang terbuka. Bukit-bukit berhutan yang berada sekitar 3 kilometer dari Kawasi dikupas menggunakan alat berat. Berton-ton tanah yang masih mengandung bijih nikel tersebut lalu ditimbun di suatu tempat. Saat musim hujan tiba, timbunan tanah itu meluber terkena air menjadi lumpur yang mengalir ke anak-anak sungai.
Sedimentasi lumpur juga dapat dilihat di kawasan bakau yang dekat dengan kampung nelayan Kawasi. Endapan lumpur bisa ditemukan pula di area air terjun yang berada 500 meter sebelah timur laut Kawasi. Air terjun itu menjadi sumber air untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kawasi sehari-hari.
Lumpur tambang tak hanya merusak terumbu karang. Kandungan unsur logam berat lumpur juga menggerogoti tubuh dan organ biota laut. Penelitian Pusat Kajian Akuakultur Universitas Khairun, Ternate, yang bertajuk “Status Kualitas Air dan Kesehatan Biota Laut di Perairan Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara” pada 2019 menemukan setidaknya 12 spesies ikan dan kerang terpapar logam berat.
Menurut Muhammad Aris, kepala pusat kajian itu, konsentrasi unsur logam berat di perairan Desa Kawasi hingga Desa Soligi di Kecamatan Obi Selatan yang terletak di sebelah selatannya sudah melampaui baku mutu yang disyaratkan pemerintah. “Dalam penelitian terhadap sel ikan bahkan ditemukan sudah mengalami kerusakan. Kami menduga ini akibat tercemar logam berat,” kata Aris, yang juga pengajar Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun, saat dihubungi pada Sabtu, 5 Februari lalu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Budhy Nurgianto berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judu "Kawasi Terjebak Lumpur Nikel". Liputan ini bagian seri deforestasi yang didukung Rainforest Investigations Network Pulitzer Center