Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kebanyakan teknologi tangkap karbon dan utilisasi, yang berusaha menyerap karbon dioksida dari udara lalu menggunakannya untuk proses-proses industri yang rendah emisi, ternyata pada akhirnya mengemisikan lebih banyak karbon daripada yang mereka tangkap. Temuan ini menduga kalau proyek-proyek teknologi itu, yang telah mengundang investasi miliaran dolar, tidak akan berperan banyak untuk bisa mencapai target emisi sesuai Perjanjian Paris yang ingin menahan kenaikan suhu pemanasan global tak lebih dari 1,5 derajat Celsius dibandingkan masa pra-industri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teknologi carbon capture and utilisation (CCU) menangkap karbon dioksida dari atmosfer, secara langsung dari udara atau menyerapnya dari sumber-sumber polusi, lalu mengalihkannya untuk digunakan dalam proses seperti pembuatan bahan bakar, plastik dan beton. Tidak seperti teknologi yang sebatas menangkap karbon (straightforward), teknologi CCU tidak menyimpan CO2 lama-lama. Teknologi CCU menggunakan energi untuk mengubah CO2 itu menjadi bahan bakar, atau menggunakan C02 itu sendiri untuk mendorong proses-proses industri seperti ekstraksi minyak atau pertanian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kiane de Kleijne dari Radboud University, Belanda, dan koleganya mengkaji siklus kerja lebih dari 40 teknologi CCU terhadap tiga kriteria: dapatkah mereka menyimpan CO2 permanen; apakah CO2 yang mereka kumpulkan berasal dari atmosfer atau sumber-sumber alami; dan apakah proses yang mereka kerjakan bersifat emisi nol.
Kleijne dan timnya menemukan kalau mayoritas teknologi CCU tersebut gagal memenuhi kriteria tersebut, dengan 32 dari 40 di antaranya mengemisikan lebih banyak karbon daripada yang ditangkap. Hanya empat metode yang kelihatannya siap digunakan, itupun mereka masih menghasilkan sejumlah kecil karbon secara netto. Ini termasuk teknologi yang memanfaatkan CO2 dalam produksi beton dan untuk ekstraksi minyak. Kleijne dkk melaporkan temuannya itu dalam Jurnal One Earth yang terbit 18 Februari 2022.
"Jika Anda terjebak dengan sebuah teknologi yang tidak memiliki potensi untuk benar-benar mereduksi emisi secara drastis, maka itu bisa jadi sebuah situasi yang tidak diinginkan," kata de Kleijne.
Selain malah lebih banyak mengeluarkan karbon, banyak teknologi itu sepertinya juga belum siap untuk dikerahkan pada skala besar, sehingga mereka mungkin tidak membantu dalam usaha pencapaian target pengurangan emisi 2030 menurut Perjanjian Paris. "Tenggat 2030 itu sudah dekat, dan banyak dari teknologi ini masih dalam pengembangan," katanya lagi sambil berharap hasil risetnya itu akan menolong para pembuat kebijakan dan investor memutuskan teknologi mana yang lebih berharga dikembangkan.
Menanggapinya, Guloren Turan dari Global CCS Institute, sebuah lembaga pemikir internasional yang mempromosikan penggunaan teknologi carbon capture, mengatakan bahwa teknologi CCU tidaklah seragam satu sama lain. "Ada sejumlah persepsi positif dari CCU, tapi poinnya adalah tidak semua teknologi CCU sama," katanya.
Stuart Haszeldine dari University of Edinburgh, Inggris, juga mengatakan kalau teknologi tangkap karbon dan utilisasi tak bisa menghindar dari kebutuhan menggunakan lebih banyak karbon. Menurut dia, lebih masuk akal jika karbonnya sebatas disimpan selama ribuan tahun. "Ini mungkin akan lebih baik, dalam hal mengambil CO2 dari iklim dunia, untuk hanya fokus pada yang pasti aman yakni penangkapan, memindahkan dan menyimpannya," kata dia.
NEW SCIENTIST, CELL