Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA datang berkelompok dengan keluarga ke pantai Baluran,
dekat Banyuwangi, Jawa Timur. Di sana setelah membabat hutan dan
batang bakau lindung, mereka mendirikan gubuk meski hanya
ditempati sementara. Pada setiap bulan September sampai November
para penyeser musiman tadi, melakukan penangkapan nener (chanos-
chanos), anak ikan bandeng, secara besar-besaran.
Sampai beberapa tahun lalu, kegiatan mereka tak begitu
merisaukan. Belakangan ini para ahli ekologi dan konservasi alam
melihat ancaman terhadap kelestarian nener tadi oleh para
penyeser. Apalagi ternyata nener yang kini memiliki nilai
ekonomis itu banyak diselundupkan ke luar negeri.
Pihak Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam (PPA) cukup
risau mengawasi pantai Baluran yang termasuk dalam kawasan
25.000 ha Suaka Marga Satwa Baluran. Di sana, menurut penelitian
Wawan Kiswara dari Universitas Padjadjaran, kini terdapat hampir
800 penyeser atau 2.200-2.500 jiwa termasuk anak dan istri yang
tinggal di 690 gubuk dan 4 rumah. Dari pantai itu sejak Agustus
1977 sampai Februari 1978, misalnya, para penyeser ditaksir
menangkap lebih 8 juta ekor nener. Nilai ekonominya, berdasar
taksiran Wawan mencapai Rp 28 juta lebih.
Tapi bukanlah para penyeser yang menikmati hasil itu. Surip,
penyeser asal Madura rata-rata sehari menangkap 150 ekor.
Seorang juragan keturunan Cina hanya mau membeli nener tadi Rp
6/ekor. Masih minim penghasilan Surip yang harus menanggung
istri dan 2 anak. "Selesai musim nener biasanya hasil tangkapan
pas-pasan buat bayar utang," kata Surip kepada Abdul Bari dari
TEMPO. Biasanya sebelum musim nener para penyeser sudah utang
beras dan kebutuhan dapur pada juragan.
Tidak Aman Lagi
Mengetahui kemiskinan para nelayan, "saya tak sampai hati
mengusir mereka," kata ir. Lukito Daryadi, Direktur PPA. Kalau
mereka ditransmigrasikan bagaimana? "Saya kira untuk mereka
hanya perlu dicarikan kerja lain misalnya," jawab Lukito yang
baru-baru ini mengunjungi saluran.
Belum diketahui pasti apa akibatnya bagi makhluk lain bila
populasi nener berkurang atau sama sekali musnah. Ikan paus,
misalnya, bisa berkembang biak bila kelestarian hidup plankton
dan ikan kecil lain terjaga. Hubungan nener dengan mata rantai
ekosistem "sampai sekarang masih dalam penelitian," kata ir.
Matheus Halim, staf Sub Direktorat Sumber Alam, PPA.
Yang jelas menurut Wawan Kiswara kegiatan para penyeser itu bisa
merusak banyak jenis moluska, terumbu karang (coral reefs) dan
lempung ikan. Juga kegiatan PT Gunung Kumitir (2.000 ha dalam
Suaka Baluran) yang mendapat Hak Guna Usaha 25 tahun
(1975-2.000) banyak membantu penghancuran habitat satwa pantai.
Karena perusahaan itu memperoleh hak menebang kayu bakau dan
beberapa jenis pohon. Tentu saja hutan pantai dan bakau yang
rusak, itu akan menyebabkan biang bandeng kapok datang ke sana,
karena habitatnya (tempat hidup) sudah tidak aman lagi.
lnduk nener tadi berasal dari kepulauan Karimun Jawa, Jawa
Tengah. Selama 3 bulan menjelang April dan Oktober, sebagian
biang bandeng yang sudah matang bertelur hanyut ke pantai
Baluran tadi. Selain di Baluran, nener ini juga berkembang biak
di pantai Bali, Sulawesi Selatan, Aceh, Nusa Tenggara dan
Karimun Jawa sendiri. Bandeng memang hanya bisa bertelur dan
menetaskan keturunannya secara alamiah di pantai, bukan di
tambak buatan manusia. Baru setelah nener muncul, sang bayi ini
bisa dibesarkan di tambak.
Hal lain yang menggusarkan adalah usaha para juragan
menyelundupkan bayi bandeng ini ke luar negeri. Tahun ini saja
pihak berwajib di bandar udara Halim Perdanakusuma sudah 5 kali
menggagalkan - usaha penyelundupan. "Ketimbang emas, ternyata
bibit bandeng itu lebih banyak diselundupkan," kata Mayor
Sudibjo, Komandan Satuan Pengamanan Halim dan Kemayoran.
Menteri Pertanian dan Direktorat Jenderal Perdagangan, liwat 2
Surat Keputusan Juli 1973 melarang usaha ekspor nener. Toh
beberapa penyelundup itu dapat mengekspornya antara lain dengan
memalsu tanda talgan Direktur Jenderal Perikanan, Iman Sardjono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo