Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ketika Musim Berburu, Nener

Kelestarian nener di baluran, jawa timur terancam, akibat kegiatan para penyeser dan penebangan pohon bakau dipantai yang menghancurkan habitat satwa pantai. (ling)

8 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA datang berkelompok dengan keluarga ke pantai Baluran, dekat Banyuwangi, Jawa Timur. Di sana setelah membabat hutan dan batang bakau lindung, mereka mendirikan gubuk meski hanya ditempati sementara. Pada setiap bulan September sampai November para penyeser musiman tadi, melakukan penangkapan nener (chanos- chanos), anak ikan bandeng, secara besar-besaran. Sampai beberapa tahun lalu, kegiatan mereka tak begitu merisaukan. Belakangan ini para ahli ekologi dan konservasi alam melihat ancaman terhadap kelestarian nener tadi oleh para penyeser. Apalagi ternyata nener yang kini memiliki nilai ekonomis itu banyak diselundupkan ke luar negeri. Pihak Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam (PPA) cukup risau mengawasi pantai Baluran yang termasuk dalam kawasan 25.000 ha Suaka Marga Satwa Baluran. Di sana, menurut penelitian Wawan Kiswara dari Universitas Padjadjaran, kini terdapat hampir 800 penyeser atau 2.200-2.500 jiwa termasuk anak dan istri yang tinggal di 690 gubuk dan 4 rumah. Dari pantai itu sejak Agustus 1977 sampai Februari 1978, misalnya, para penyeser ditaksir menangkap lebih 8 juta ekor nener. Nilai ekonominya, berdasar taksiran Wawan mencapai Rp 28 juta lebih. Tapi bukanlah para penyeser yang menikmati hasil itu. Surip, penyeser asal Madura rata-rata sehari menangkap 150 ekor. Seorang juragan keturunan Cina hanya mau membeli nener tadi Rp 6/ekor. Masih minim penghasilan Surip yang harus menanggung istri dan 2 anak. "Selesai musim nener biasanya hasil tangkapan pas-pasan buat bayar utang," kata Surip kepada Abdul Bari dari TEMPO. Biasanya sebelum musim nener para penyeser sudah utang beras dan kebutuhan dapur pada juragan. Tidak Aman Lagi Mengetahui kemiskinan para nelayan, "saya tak sampai hati mengusir mereka," kata ir. Lukito Daryadi, Direktur PPA. Kalau mereka ditransmigrasikan bagaimana? "Saya kira untuk mereka hanya perlu dicarikan kerja lain misalnya," jawab Lukito yang baru-baru ini mengunjungi saluran. Belum diketahui pasti apa akibatnya bagi makhluk lain bila populasi nener berkurang atau sama sekali musnah. Ikan paus, misalnya, bisa berkembang biak bila kelestarian hidup plankton dan ikan kecil lain terjaga. Hubungan nener dengan mata rantai ekosistem "sampai sekarang masih dalam penelitian," kata ir. Matheus Halim, staf Sub Direktorat Sumber Alam, PPA. Yang jelas menurut Wawan Kiswara kegiatan para penyeser itu bisa merusak banyak jenis moluska, terumbu karang (coral reefs) dan lempung ikan. Juga kegiatan PT Gunung Kumitir (2.000 ha dalam Suaka Baluran) yang mendapat Hak Guna Usaha 25 tahun (1975-2.000) banyak membantu penghancuran habitat satwa pantai. Karena perusahaan itu memperoleh hak menebang kayu bakau dan beberapa jenis pohon. Tentu saja hutan pantai dan bakau yang rusak, itu akan menyebabkan biang bandeng kapok datang ke sana, karena habitatnya (tempat hidup) sudah tidak aman lagi. lnduk nener tadi berasal dari kepulauan Karimun Jawa, Jawa Tengah. Selama 3 bulan menjelang April dan Oktober, sebagian biang bandeng yang sudah matang bertelur hanyut ke pantai Baluran tadi. Selain di Baluran, nener ini juga berkembang biak di pantai Bali, Sulawesi Selatan, Aceh, Nusa Tenggara dan Karimun Jawa sendiri. Bandeng memang hanya bisa bertelur dan menetaskan keturunannya secara alamiah di pantai, bukan di tambak buatan manusia. Baru setelah nener muncul, sang bayi ini bisa dibesarkan di tambak. Hal lain yang menggusarkan adalah usaha para juragan menyelundupkan bayi bandeng ini ke luar negeri. Tahun ini saja pihak berwajib di bandar udara Halim Perdanakusuma sudah 5 kali menggagalkan - usaha penyelundupan. "Ketimbang emas, ternyata bibit bandeng itu lebih banyak diselundupkan," kata Mayor Sudibjo, Komandan Satuan Pengamanan Halim dan Kemayoran. Menteri Pertanian dan Direktorat Jenderal Perdagangan, liwat 2 Surat Keputusan Juli 1973 melarang usaha ekspor nener. Toh beberapa penyelundup itu dapat mengekspornya antara lain dengan memalsu tanda talgan Direktur Jenderal Perikanan, Iman Sardjono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus