Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DERETAN moncong pipa di atas saluran utama pembuang limbah Petrokimia Unit III, Gresik, Jawa Timur, yang diresmikan Presiden Soeharto, pekan lalu, tampak mengucurkan air selernih dari mata air. Padahal, air itu adalah air buangan pabrik yang sebelumnya mengandung bahan polusi hitam kecokelatan dan berbau menusuk, yang diolah secara teknologis. Tapi mendapatkan pengolah limbah seharga Rp 10 milyar itu tak mudah. Ketika kontrak pembangunan pabrik Petrokimia Unit III - yang meliputi pabrik asam fosfat, asam sulfat, pupuk ZA, aiuminium fluorida, dan cement retarder - ditandatangani dengan kontraktor dari Jepang lima tahun lewat, "Mereka terheran-heran dan tak mau mengerjakan pengolahan limbah seruwet ini. Mereka pikir terlalu maju untuk Indonesia," tutur Ir. Soeratman, direktur Penelitian dan Pengembangan Petrokimia. Setelah negosiasi ulang, berdirilah satu instalasi pengolahan limbah modern, yang konon belum dimiliki industri lain di Indonesia, dengan luas lebih besar dari pabrik baru di Unit III. Di sanalah 300 m3 limbah, yang dibuang lima pabrik baru tadi, setiap jam diolah, diendapkan, disaring, dan kemudian dibuang ke laut pantai Gresik. "Kami berharap dengan begini gelombang protes akan berkurang. Selama ini Petrokimia selalu dituduh sebagai biang pencemaran pantai utara - padahal di sini banyak industri lain," ujar Soeratman. Instalasi pengolahan limbah, yang dibangun oleh Mitsubishi dan Hitachi Zosen dari Jepang, menerapkan sistem kerja pengolahan tiga tahap. Pada tahap pertama, limbah disalurkan ke dua tangki tertutup, yang masing-masing berdiameter 20 meter, untuk diaduk dengan kapur gamping, elektrolit serta polimer - zat-zat yang membantu proses pengendapan. Setelah itu, 80% limbah, yang berupa air, yang diolah pada tahap pertama dikembalikan ke pabrik untuk dipakai lagi dalam proses produksi. Sisa 20%, yang sebagian besar endapan, dialirkan ke dalam tiga bak terbuka untuk memasuki penolahan tahap kedua. Pada tahap kedua ini endapan tersebut dideteksi dengan Gazchromborats dan atomic absorption selftro photo metre - yang mampu mendeteksi zat-zat di bawah I part per million (ppm). Dua alat ini, menurut Soeratman, alumnus Jurusan Teknik Kimia FT Universitas Gadjah Mada, belum dipakai unit pengolahan limbah pada industri lainnya di Indonesia. "Dengan alat deteksi yang punya kepekaan tinggi itu tak bakal lolos lagi zat-zat polutan yang akan mencemari laut." Setelah dideteksi, endapan itu dicampur dengan gamping, polimer, dan tawas (alum), lalu disaring dan diatur tingkat pH (keasaman)-nya - ukuran normal pH 7 atau 8. Sebelum disalurkan ke bak-bak penjernihan tahap ketiga, limbah sekali lagi dideteksi. Limbah dianggap betul-betul aman untuk dibuang setelah di tahap ketiga dicampur dulu dengan air laut murni dan kaustik (soda). "Pernah air limbah yang sudah dijernihkan kami tampung di bak khusus, lalu ditebarkan ikan di dalamnya, yang hidup sampai sekarang. Sedang dalam bak limbah yang belum diolah, beberapa menit saja seluruh ikan yang ditebarkan mampus semua," kata seorang teknisi di unit pengolahan limbah itu. Dari hasil deteksi limbah yang akan dibuang ke laut didapatkan dua polutan, yakni fluorida dan fosfat, dengan kadar 0,2 mg per liter dan 0,36 mg per liter. "Jauh di bawah ambang batas yang ditetapkan," kata Soeratman. Ambang batas yang ditetapkan Kantor Menteri KLH dan Pemerintah Daerah Jatim untuk kedua polutan itu 2 mg per liter. Polutan lain ini, yang diperkuat dengan pengujian laboratonum Departemen Kesehatan di Surabaya, tak didapatkan pada limbah lima pabrik baru itu. Tak cuma unit pengolahan limbah itu saja yang dipunyai Petrokimia Gresik. Juga satu unit pengolahan limbah, dengan kapasitas lebih kecil, untuk mengolah hasil buangan pabrik PT Petrosida, anak perusahaan Petrokimia, penghasil zat aktif pestisida. Berbeda dengan cara pertama, pada unit ini limbah diazinon dan markabat dijernihkan dengan aerolic bacteria. Caranya, bakteri itu dibiakkan dengan memompa udara terus-menerus dalam kolam pengolahan agar mampu menguraikan polutan - biochemical oxygen demand (BOD) dan chemcal oxygen demand (COD) - untuk diendapkan. Unit pengolahan milik Petrosida ini, yang dibangun dengan biaya Rp 1,2 milyar, memiliki 20 kolam pengolahan yang harus dilewati limbah sebelum dibuang ke laut. "Bakteri-bakteri itulah yang mengendapkan polutan dalam limbah. Hasilnya, BOD yang dibuang kadarnya tinggal 1,83 mg per liter, sedang ambang batas yang ditetapkan 30 mg per liter. Kadar COD, yang ambang batasnya 80 mg per liter, juga bisa ditekan sampai 1,98 mg per liter," kata Ir. Sjafri Saarin, direktur utama Petrosida. Bagaimana penanganan limbah di udara oleh Petrokimia? "Pengamanan pencemaran udara memang kurang menjadi perhatian. Padahal, kami sudah lama menggunakan sistem penyanngan ganda pada semua cerobong asap. Bahkan pabrik baru semuanya menggunakan cerobong setinggi 100 meter lebih - sama dengan Jepang, Korea, dan Singapura, yang aturan lingkungannya amat ketat," kata Soeratman. Menurut Soeratman, yang sudah sering mengelilingi pelbagai negara untuk melihat sistem penangkal pencemaran industri, kalau tak menggunakan sistem penyarmgan ganda dan cerobong tinggi, polutan jenis fluorida, misalnya, akan menggenangi sumber air dan pohon-pohon. Akibatnya, "Gigi kambing saja bisa rontok kalau memakan daun yang berlapis fluorida itu. Apalagi gigi manusia," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo