Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada puncak peringatan Hari Meteorologi Dunia ke 72, Presiden Joko Widodo mengakui fenomena perubahan iklim yang tengah berlangsung saat ini di seluruh penjuru dunia semakin mengkhawatirkan. Menurutnya, kondisi tersebut sangat tidak menguntungkan Indonesia sebagai negara agraris dan kepulauan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Frekuensi, intensitas dan durasi bencana geohidrometeorologi akan makin meningkat. Daya adaptabilitas tanaman dan produktivitas tanaman semakin menurun dan ini mengancam ketahanan pangan di negara kita," kata Jokowi, Rabu, 30 Maret 2022, seperti dikutip dari siaran pers yang dibagikan BMKG.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pada acara yang berjudul Expose Nasional Monitoring & Adaptasi Perubahan Iklim itu, Jokowi mengatakan, Indonesia adalah satu dari banyak negara yang terdampak perubahan iklim. Adapun sejumlah dampak yang dihadapi negara lain, di antaranya terjadinya peningkatan suhu udara, suhu muka air laut yang menghangat dan terjadi laju kenaikan muka air laut yang membahayakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Jokowi menyampaikan sejumlah pesan kepada masyarakat dan berbagai pemangku kepentingan. Pertama, diameminta perhatian serius terhadap informasi cuaca dan perubahan iklim yang diberikan BMKG dan instansi terkait lainnya. "Kemudian formulasikan kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dengan cepat serta siapkan penanganan yang lebih baik untuk mengurangi dampak negatif perubahan iklim."
Kedua, Jokowi meminta jajarannya mengembangkan sistem peringatan dini yang andal dengan menyediakan data dan informasi meteorologi, klimatologi dan geofisika secara cepat dan akurat. Ketiga, Jokowi menekankan untuk melakukan sistem edukasi kebencanaan yang berkelanjutan. Bekas wali kota dan gubernur itu menginginkan jajarannya melakukan edukasi, literasi dan advokasi berkelanjutan.
Secara khusus dia juga menginstruksikan inovasi memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan, big data, high performance computing untuk membangun kesadaran, ketangguhan, partisipasi masyarakat. "Kapasitas dan ketangguhan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim harus terus ditingkatkan agar masyarakat mampu merespons dengan cepat potensi risiko bencana," tuturnya.
Presiden Joko Widodo menjadi pembicara pada sesi World Leaders Summit on Forest and Land Use di Scotish Event Campus di KTT Perubahan Iklim PBB (COP26) di Glasgow, Skotlandia, Britania Raya, Selasa 2 November 2021. ANTARA FOTO/Biro Pers dan Media Kepresidenan/Lukas/Handout
Terakhir, Jokowi meminta perkuat kolaborasi lintas kementerian, lembaga, swasta, dan berbagai elemen bangsa lainnya dalam adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim.
Presiden ke-5 Indonesia, juga saat ini Ketua Dewan Pengarah Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Megawati Soekarnoputri, sebagai pembicara kunci, mengimbau kepada kepala daerah agar meningkatkan kesadaran terhadap perubahan iklim global. Setiap kebijakan pembangunan diharapkannya benar-benar dirancang berdasarkan pemahaman terhadap berbagai kemungkinan terjadinya bencana alam.
"Aksi mitigasi harus dilakukan secara detail dan semua harus diperhitungkan, termasuk tata ruang kawasan serta kecepatan dalam bertindak," kata Megawati.
Apa kata BMKG dan BMKG Dunia
Apa kata BMKG dan BMKG Dunia?
Sekretaris Jenderal World Meteorological Organization (WMO), Petteri Taalas, mengkonfirmasi bahwa dampak perubahan iklim sudah sangat terlihat melalui cuaca yang lebih ekstrem di seluruh belahan dunia. Di peringatan Hari Meterorologi Dunia tahun ini, WMO mencanangkan tema 'Early Warning and Early Action'.
"Gelombang panas dan kekeringan serta kebakaran hutan yang lebih intens. Kita memiliki lebih banyak uap air di atmosfer, yang menyebabkan curah hujan ekstrem dan banjir mematikan. Lautan memicu badai tropis yang lebih kuat dan naiknya permukaan laut meningkatkan dampaknya," katanya.
Laporan WMO tentang statistik bencana selama 50 tahun terakhir menunjukkan bahwa lebih dari 11.000 bencana terkait dengan cuaca, iklim, dan bahaya terkait air antara 1970 dan 2019, hampir sama dengan satu bencana per hari. Ada 2 juta kematian - atau 115 per hari. Jumlah bencana telah meningkat lima kali lipat dalam 50 tahun terakhir, dan biaya ekonomi melonjak. Hal itu diperkirakan masih akan terus berlanjut.
Senada, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan perubahan iklim menjadi faktor penguat mengapa cuaca ekstrem makin sering terjadi di Indonesia. Mulai dari hujan lebat disertai kilat dan petir, siklon tropis, gelombang tinggi, hingga hujan es atau kekeringan panjang.
Situasi ekstrem ini, kata dia, ketika bertemu dengan kerentanan lingkungan, tidak jarang mengakibatkan bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, angin puting beliung, dan tanah longsor serta kebakaran lahan. Perubahan iklim pulalah yang memporakporandakan keteraturan iklim dan cuaca di Indonesia, dan berdampak serius pada keberlanjutan sektor pertanian dan perikanan, yang dapat berujung pada ancaman terhadap ketahanan pangan Indonesia.
Oleh karena itu, lanjut Dwikorita, sejak 2011 BMKG telah melakukan secara rutin dan berkelanjutan Sekolah Lapang Iklim. Tujuannya, memberikan pemahaman dan kemampuan bagi petani dan nelayan dalam membaca cuaca dan iklim, serta beradaptasi secara tepat untuk meningkatkan produksi panen dan tangkapan ikannya.
Menurutnya, sudah lebih dari 22.600 petani dan nelayan dari berbagai penjuru tanah air telah dilatih dan diberdayakan. "Kami mengundang berbagai pihak untuk kolaborasi, demi mewujudkan 1 juta petani dan 1 juta nelayan per tahun yang semakin produktif, andal dan berketahanan iklim serta tangguh bencana," kata dia.
Dwikorita menuturkan, untuk menekan laju perubahan iklim, perlu aksi kolaboratif dan kolektif dalam perencanaan yang tepat di setiap program pembangunan, yang disertai dengan penyiapan tata ruang yang berwawasan lingkungan serta berketahanan terhadap perubahan iklim dan bencana.
Strategi itu kemudian masih perlu didukung oleh upaya adaptasi dan inovasi teknologi berbasis pemberdayaan masyarakat. "Kolaborasi pentahelix (pemerintah, akademisi/ilmuwan, pihak swasta, masyarakat dan media), menjadi kunci solusi dalam menghadapi seluruh kompleksitas dan ketidak pastian tersebut," katanya sambil menambahkan sistem peringatan dini pun perlu terus diperkuat dengan panduan edukatif untuk memberikan kemampuan masyarakat agar dapat merespons dengan aksi dini yang cepat dan tepat.