Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lima kali perahu motor tempel yang menyusuri pesisir Desa Hurip Jaya itu mogok. Tapi Zainal, si pemilik perahu, tenang-tenang saja. Dia sudah hafal penyebabnya. Dengan tangkas diangkatnya baling-baling motor itu untuk dibersihkan dari kotoran dan lumpur yang membebat. ”Lokasi ini merupakan tanah timbul,” katanya kepada Tempo. Pekan lalu, wartawan majalah ini bersama Zainal menyusuri tepian Hurip Jaya yang masuk wilayah Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Sepanjang pesisir bisa dilihat tanah timbul yang dimaksud Zainal. Tanah ini muncul bila air laut menyurut. Ketika air pasang, wilayah itu tenggelam dan bisa dilalui perahu. Saat air surut, tanahnya muncul seperti lapangan bola tanpa rumput. Kini, tanah timbul menjadi sumber sengketa warga yang sama-sama mengklaim.
Selain oleh lumpur, baling-baling itu juga tersangkut ranting mangrove atau bakau yang berserakan. Banjir bandang yang menerjang Bekasi pada Februari lalu merusak kawasan hutan yang ditanami bakau. ”Yang rusak seluas 225 hektare di pesisir pantai utara Bekasi,” kata Wahya, pejabat di Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Beka-si, Selasa pekan lalu.
Lahan sepanjang 35 kilometer itu membentang di tiga kecamatan: Babelan, Taruma Jaya, dan Muara Gembong. Sejak tiga tahun lalu, di kawasan tersebut ditanami 729 ribu pohon bakau dan api-api sebagai bagian dari Gerak-an Nasional Rehabilitasi Hutan dan La-han. Namun, ya itu tadi, banjir memporak-porandakan tanaman bakau yang belum kukuh akarnya.
Menurut Wahya, pihaknya telah meminta bantuan pemerintah pusat untuk mengatasi kerusakan. Dia khawatir, jika tidak tertangani, kehancuran lebih parah bakal melanda pesisir utara Bekasi. Sebelumnya ada 15 ribu hektare hutan bakau, 10 ribu hektare di antaranya milik PT Perhutani.
Hanya hutan milik Perhutani di Muara Gembong yang masih utuh. Hutan milik masyarakat cuma tersisa 600 hektare di tiga kecamatan di atas. Itu pun kian tergerus abrasi. ”Berdasarkan foto udara, sekitar 140 hektare hutan di Desa Pantai Bahagia, Muara Gembong, hilang karena abrasi,” ujar Odja Djuanda, Kepala Bidang Fisik dan Prasarana Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Bekasi.
Tak hanya di Bekasi, kerusakan hutan bakau itu juga melanda daerah lain di sepanjang pesisir utara Jawa Barat. Ini tampak dari citra satelit Landsat 2001. Berdasarkan catatan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat, hutan mangrove di Indramayu dan Subang rusak berat. Di Karawang dan Cirebon rusak sedang. Di Indramayu terjadi penyusutan luas hutan bakau. Di Bekasi? Kurang lebih 64 persennya rusak.
Hutan bakau berfungsi amat penting sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimen agar tak longsor. Menipisnya jumlah hutan bakau akan berdampak pada rentannya daerah pesisir pantai dari ancaman bencana dari arah laut.
Luas hutan bakau di Indonesia pada 1982 tercatat 4,2 juta hektare. Akibat alih fungsi, empat tahun kemudian luasnya menyusut menjadi 3,2 juta hektare. Pada 2005, luasnya tinggal separuhnya.
Zainal masih ingat hutan bakau di Bekasi pada 1980-an tebalnya 300-400 meter. ”Dari pantai, desa saya tak kelihatan. Tapi sekarang rumah saya tampak dari pantai,” kata pria yang tinggal 400 meter dari bibir pantai ini.
Hancurnya tanaman bakau di Bekasi dimulai sejak awal 1990-an, ketika banyak terjadi alih fungsi lahan. Ribuan hektare pohon pesisir ini ditebang untuk permukiman baru dan pembukaan areal tambak rakyat. Ketika itu harga udang memang tengah meroket. Namun serbuan penyakit membuat masa keemasan udang dan bandeng tak bertahan lama. Ribuan hektare tambak ditinggalkan dan lama-kelamaan terkikis karena abrasi.
Tanah timbul pun mulai terlihat ketika air laut surut. Selain karena abrasi, fenomena tanah timbul juga disebab-kan sedimentasi yang dibawa Kali Bekasi dan Kali Mati, yang bermuara di pantai utara. Menurut Zainal, tanah timbul yang panjangnya beberapa kilometer itu menjadi pemicu konflik warga. Mereka berebut mengapling tanah itu untuk lahan garapan.
Abrasi yang mengempaskan pesisir pantai Kecamatan Muara Gembong telah melenyapkan 1.000 hektare tambak di Desa Muara Bungin, Muara Kuntul, dan Muara Pecah. ”Jika dibiarkan terus, bakal merambah perkampungan warga,” kata Syarifuddin, penduduk di kecamatan ini.
Menurut Syarifuddin, ada 200 warga yang sebelumnya menjadi petambak kini kehilangan mata pencaharian. Mereka beralih profesi menjadi pemancing atau membuat perangkap ikan di tengah laut. Mereka juga punya kebiasaan baru, yakni menebang bakau untuk kayu bakar. Kemiskinan membuat mereka tak mampu membeli bahan bakar minyak.
Wahya menjelaskan, hutan milik Perhutani pun mulai dirambah warga. Dia heran terhadap sikap warga Muara Gembong yang mencabuti bibit bakau yang baru ditanam. ”Mereka takut, kalau mangrove tumbuh, lahan itu bakal direbut Perhutani,” katanya.
Zainal dan Syarifuddin membantah tuduhan Wahya. ”Pemerintah yang lepas tangan,” kata Syarifudin. Mereka berharap pemerintah memberdayakan warga agar kebutuhan pokok bisa tercukupi.
Untung Widyanto, Siswanto (Bekasi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo