Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Halo pembaca,
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kita kembali menyaksikan cara-cara prismatis yang dilakukan Presiden Joko Widodo. Terakhir ia menyatakan akan netral dalam pemilihan presiden meski anaknya menjadi kandidat wakil presiden. Jokowi juga tak akan berkampanye dalam pemilu meski oleh undang-undang dibolehkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dalam efek kaca prisma, kita seolah melihat pensil yang bengkok padahal lurus. Sebaliknya, lidi yang patah bisa terlihat lurus jika terkena efek prismatis. Seolah-olah apa yang diucapkan Jokowi itu benar. Sebab, ia mengucapkan kata netral dan tak berkampanye setelah berkeliling ke banyak daerah membagi-bagikan bantuan sosial.
Tak hanya itu, setelah bantuan sosial, alat-alat negara juga dikerahkan untuk menggalang dukungan suara bagi anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang menjadi calon wakil presiden bagi Prabowo Subianto. Polisi, penjabat kepala daerah, penyuluh pertanian, hingga penyuluh agama, punya target menggalang suara bagi Prabowo-Gibran.
Pengerahan alat-alat negara itu tentu saja memakai anggaran publik. Acara-acara digelar berbungkus kegiatan kementerian yang dananya dialokasikan dari APBN. Padahal, isinya secara samar-samar meminta dukungan untuk Prabowo-Gibran.
Apa yang terjadi hari ini sesungguhnya sudah diprediksi jauh-jauh hari. Jokowi kian tergoda menyalahgunakan kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaan melalui anaknya. Ketika ia gagal menyandingkan Prabowo dengan Ganjar Pranowo, politikus PDI Perjuangan, Jokowi tak punya celah lain selain mengajukan anaknya agar bisa terus berkuasa.
Maka UU Pemilu pun diubah agar Gibran yang belum cukup umur bisa menjadi kandidat. Jokowi tak peduli jika perubahan aturan itu mengubah aturan main pemilu dan demokrasi. Setelah itu Jokowi kepalang basah: ia memakai kekuasaan untuk mendulang suara bagi anaknya.
Jokowi terlihat percaya diri Prabowo akan menang dan ia akan aman dengan perlindungan kekuasaan yang ia sokong setelah tak lagi menjadi presiden. Pelbagai proyek mercusuar yang diragukan memakai tata kelola pemerintahan yang baik juga akan terus jalan.
Pembaca, hari-hari ini adalah hari penentuan: hendak jadi apa Indonesia ke depan tergantung pada siapa presiden terpilih pada 14 Februari 2024. Masa depan Indonesia ada di tangan Anda. Selamat membaca.
Bagja Hidayat
Wakil Pemimpin Redaksi