Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Mencari cara untuk meregulasi ujaran kebencian tanpa melukai kebebasan berpendapat di media sosial, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto membentuk sebuah tim khusus. Bila ada solusi lain yang memaksimalkan penggunaan big data, maukah pemerintah mencobanya?
- Secara psikologis, ada alasan mengapa teori konspirasi begitu menarik untuk diikuti. Tapi konspirasi teori yang bermuatan politik adalah jenis disinformasi yang paling menyebalkan untuk di-debunk oleh pemeriksa fakta. Mari cari tahu alasannya.
Apakah Anda menerima nawala edisi 13 Mei 2019 ini dari teman, dan bukan dari email Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Edisi ini ditulis oleh Astudestra Ajengrastri dalam kerangka program TruthBuzz untuk Tempo.co. Ketahui lebih lanjut tentang program ini dan misi saya di bagian bawah surel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIM KHUSUS ALA WIRANTO, APAKAH AKAN EFEKTIF?
Berlebihan. Itu reaksi yang banyak ditujukan kepada Menko Polhukam Wiranto setelah pada 6 Mei lalu ia mengumumkan telah membentuk sebuah tim—awalnya disebut bernama Tim Hukum Nasional, belakangan Tim Asistensi Bidang Hukum—untuk mengkaji ucapan, tindakan, dan pemikiran tokoh-tokoh tertentu yang dinilai melanggar hukum.
- Dalam wawancara dengan Alexander Sudrajat dari Detik, Wiranto mengatakan tim ini adalah bagian dari pencarian second opinion, untuk memastikan apa yang dilakukan aparat keamanan tidak sewenang-wenang atau diktatorial. Di sesi wawancara sama, Wiranto menyatakan tim tersebut bersifat “informal dan sementara”, juga sudah aktif bekerja.
- Sempat berkata bakal “menutup media yang bantu langgar hukum”, Wiranto belakangan memberikan klarifikasi, bahwa yang dimaksudnya adalah “men-take down media sosial abal-abal yang sudah mengganggu”.
Mengapa isu ini penting? Saat pemerintah membuat peraturan (atau tim) yang teknis bekerjanya cenderung subjektif dan tanpa parameter yang jelas, kebebasan berpendapat masyarakat yang dipertaruhkan, sebut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
- Kritik senada disuarakan oleh LSM lain, seperti Amnesty Internasional dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
- Ancaman ini bakal semakin terasa bila nantinya kerja tim tidak transparan sehingga bisa diawasi semua lapisan masyarakat. Namun pakar hukum pidana Romli Atmasasmita, yang juga anggota tim itu, menilai kritik dari LSM prematur. “Belum ada gerakan, kami sedang menyusun bagaimana caranya polisi kalau periksa orang, menetapkan tersangka, menahan, sampai mengadili,” kata dia.
Ismail Fahmi, pembuat Drone Emprit, di akun Facebook-nya memberi saran tentang bagaimana menghadapi hoaks politik pasca-Pilpres dengan pendekatan big data. Salah satunya, dengan membedakan ’noise’ dengan ‘sinyal’.
- Memprofilkan 'noise’ berarti mendata siapa tokoh, influencer, dan buzzer yang harus dilaporkan ke polisi, Bareskrim, atau untuk di-suspend akun-akun mereka, kata Ismail. Sementara ‘sinyal’ adalah aspirasi publik yang disampaikan di balik segala ‘noise’ yang ada.
- Lalu, lanjut dia, pemerintah hendaknya menyampaikan kepada publik solusi dan progres atas ‘sinyal’ yang mereka sampaikan—tanpa memakai buzzer! Buzzer tidak diprogram untuk membangun ‘trust’, sebut Ismail, sementara yang ingin dibangun oleh pemerintah dengan publik adalah rasa saling percaya.
TEORI KONSPIRASI MASA KINI: LEBIH BANYAK KONSPIRASI, SEDIKIT TEORI
Ada alasan psikologis menarik di balik ketertarikan manusia akan teori konspirasi. Coba tanyakan kepada anak tiga tahun mengapa hujan turun, ia mungkin akan menjawab hujan turun untuk menyirami bunga yang kehausan. Inilah yang disebut dengan pemikiran teleologi, yakni ide bahwa semua yang terjadi di dunia memiliki maksud dan tujuan tertentu, meski secara fisika belum tentu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa teleological thinking terkait erat dengan tingkat kepercayaan seseorang akan konspirasi teori. (via The Conversation)
Alasan lain, otak manusia selalu mencari adanya pola. Kemampuan ini membuat kita bertahan sejak zaman purba. Terkadang, manusia susah memisahkan pola yang benar terjadi di dunia nyata atau imajinasi saja. Mereka yang gemar mencocokkan pola secara ekstrim kerap tergelincir pada teori konspirasi. Sebagian teori konspirasi sebenarnya cukup lucu dan tak berbahaya, seperti yang mengatakan beberapa selebritis sesungguhnya adalah vampir atau alien. Tapi ketika segala hal politik juga dianggap memiliki teori konspirasi, permasalahannya jadi semakin runyam. (via Wired)
Teori konspirasi sendiri bisa disebut sebagai penjelasan akan sebuah peristiwa, di mana penjelasan tersebut kerap kali (bila tidak selalu) berhubungan dengan sebuah konspirasi atau plot rahasia. Nancy L. Rosenblum, profesor politik di Universitas Harvard, dalam bukunya “A Lot of People Are Saying”, mengatakan bahwa teori konspirasi saat ini lebih absurd, lebih tak substantif, dan semakin susah di-debunk. Lebih banyak unsur “konspirasi”-nya ketimbang teorinya, sebut dia. (via Vox)
Maka, konspirasi teori masa kini tak lagi sebagai upaya untuk memberikan penjelasan alternatif atas sebuah peristiwa (seperti pada teori konspirasi pembunuhan John F Kennedy, misalnya); namun bertujuan untuk mengikis kepercayaan publik atas seseorang atau institusi (seperti dalam kasus Pizzagate yang bertujuan merusak nama baik Hillary Clinton).
Penyebaran teori konspirasi pun kini tak lagi melalui situs-situs khusus seperti era awal internet, namun melalui sosial media dengan tweet dan retweet, share dan like, dan tindakan saling mengafirmasi lainnya. Tak jarang, unggahan di sosial media pun bukan berbentuk teori atau penjelasan, namun nyinyiran atau pertanyaan. Rosenblum mengambil contoh Presiden Trump yang kerap berkata, “Banyak orang yang bilang…”, untuk memparafrasekan tuduhan. Ini, lanjut Rosenblum, adalah konspirasi tanpa teori.
Dalam gambaran besarnya: Saat misinformasi bercampur dengan kemauan seseorang menerima konsep bahwa ada konspirasi jahat yang berkolusi melawan nilai-nilai kebajikan dalam masyarakat, maka narasi teori konspirasi semakin mudah diterima orang tersebut. Joseph Uscinski dari Bennett Institute for Public Policy University of Cambridge mengatakan, jika berkelompok, orang-orang yang kadung percaya dengan teori konspirasi ini tidak hanya mampu memengaruhi kebijakan, namun juga bertindak irasional, radikal, dan dengan kekerasan.
SINGAPURA SETUJU, AKANKAH YANG LAIN MENYUSUL?
Undang-undang kontroversial yang dibuat untuk meregulasi kabar bohong akhirnya disahkan oleh parlemen Singapura setelah sidang selama 10 jam pada Kamis, 9 Mei 2019. (via Today Online)
- UU ini akan memberikan lebih banyak kekuasaan bagi menteri, termasuk memerintahkan penurunan konten di media sosial yang dianggap sebagai kabar bohong, tanpa surat perintah dari pengadilan.
- Peraturan ini ditanggapi dingin oleh Google, Facebook, dan Twitter yang memiliki kantor pusat regional di negara ini. Tahun lalu saja, Singapura dan Facebook berseteru setelah jejaring media sosial ini menolak menurunkan artikel soal bank negara yang terkait dengan skandal 1MDB Malaysia. Pemerintah Singapura menganggap artikel ini “palsu dan berbahaya”.
- Peraturan ini juga akan berlaku di jejaring tertutup seperti WhatsApp dan grup Facebook.
- Lebih jauh lagi, aturan ini berlaku secara ekstra-teritorial yang artinya pemerintah tetap bisa meminta platform media sosial untuk menghapus unggahan, meskipun pengunggahnya berada di luar Singapura. Sebuah ‘fitur’ yang bisa jadi bakal dipertimbangkan untuk diciptakan negara-negara lain setelah ini.
PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI
Beberapa hari ini, tim pemeriksa fakta dibanjiri hoaks tentang petugas KPPS yang meninggal dunia karena racun. Mulai dari meninggalnya petugas KPPS di Bandung yang dikatakan karena racun saraf VX—racun yang dipakai untuk pembunuhan Kim Jong-nam di Malaysia; sampai kabar bahwa saksi dari PKS keracunan sianida. Kedua kabar ini adalah keliru.
Tim CekFakta Tempo membuat beberapa artikel menyangkut topik ini, klik tautan di bawah untuk membaca artikel lengkapnya:
- Tentang tuduhan pembunuhan massal terhadap petugas KPPS.
- Klaim salah dari Joko Widodo yang menyebut kematian korban meninggal adalah takdir.
- Fakta sesat bahwa Polri melarang autopsi korban meninggal karena ada yang ditutup-tutupi.
- Meski artikel ini sudah ditulis cukup lama, namun beberapa hari ini, isu bahwa meninggalnya Mantan Ketua KPU Husni Kamil adalah akibat racun merebak kembali.
Hasil periksa fakta kami yang lain dalam sepekan ini:
- Klaim bahwa Munir Said Thalib dibunuh sebulan setelah bersaksi Prabowo tak bersalah.
- Hoaks kolom opini yang ditulis oleh Prof. Arief Budiman.
- Analisa tidak nyambung soal temuan BPK dengan kesulitan dana akibat tambahan kuota haji 2019.
- Fakta palsu KPU mengumumkan Prabowo menguasai seluruh provinsi.
- Kabar bohong Jokowi dan Iriana punya rekening gendut di luar negeri.
TENTANG TRUTHBUZZ
TruthBuzz adalah program fellowship dari International Center for Journalists (ICFJ) yang bertujuan untuk memperluas literasi dan mengatasi permasalahan disinformasi di lima negara yakni Indonesia, India, Nigeria, Brazil, dan Amerika Serikat. Saya adalah penerima fellowship ini di Indonesia. Salah satu misi saya bersama Tempo.co adalah untuk menyebarkan hasil kerja tim pemeriksa fakta yang menangkis berbagai hoaks.
Kenal seseorang yang Anda rasa tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.
Ikuti kami di media sosial: