Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Juara baru, untuk pertama kalinya sejak 2011, akan tercipta saat final Wimbledon 2022 di sektor tunggal putri berlangsung di London, Sabtu malam, 9 Juli. Ons Jabeur dan Elena Rybakina sama-sama mengejar gelar grand slam pertama dalam kariernya.
Selama sebelas tahun terakhir ini, tujuh petenis silih berganti menjuarai tunggal putri Wimbledon. Dalam kurun waktu ini hanya Serena Williams dua kali berturut-turut menjuarai turnamen Grand Slam lapangan rumput ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini, tatkala Ons Jabeur dan Elena Rybakina akan bertemu untuk mengejar gelar pertama mereka. Ini kali, untuk kelima kalinya juara Wimbledon akan direbut oleh petenis yang baru pertama mencapai final turnamen ini.
Baik Ons Jabeur maupun Elena Rybakina baru pertama kali ini mencapai final Wimbledon, dan sekaligus baru sekali ini mencapai babak akhir sebuah turnamen Grand Slam.
Jelang final ini, Jabeur lebih banyak mendapat sorotan ketimbang Rybakina. Padahal keduanya sama-sama menciptakan tonggak sangat penting bagi negaranya.
Jabeur menjadi petenis Tunisia pertama yang mencapai final Grand Slam. Begitu pula Rybakana menjadi orang Kazakhstan pertama yang berada di partai puncak sebuah turnamen tenis Grand Slam.
Tetapi adalah Jabeur yang lebih menyita perhatian dunia, terutama karena rekor demi rekor yang dia cetak dalam dua tahun terakhir.
Juga karena sikapnya yang menawan semua orang terutama setelah orang melihat bagaimana dia menghargai sebuah persahabatan dengan karibnya, Tatjana Maria, yang dia kalahkan dalam semifinal sebelum berjumpa Rybakina nanti.
Tentang Ons JabeurAksi petenis Tunisia, Ons Jabeur saat melawan petenis Jerman, Tatjana Maria dalam semifinal turnamen Wimbledon di London, 7 Juli 2022. Ons Jabeur melaju ke partai puncak setelah mengalahkan Tatjana Maria, asal Jerman, dengan skor 6-2, 3-6, 6-1 dalam pertandingan Lapangan Utama All England Club, di London. REUTERS/Toby Melville
Oktober tahun lalu Jabeur menjadi petenis Arab pertama yang berperingkat 10 besar dunia. Kini dia menjadi petenis Arab dan Afrika pertama yang berperingkat dua di dunia.
Petenis berusia 27 tahun itu juga adalah perempuan Arab pertama yang mencapai perempatfinal final Grand Slam dalam Australian Open 2020.
Tahun lalu dia menjadi orang Arab pertama yang mencapai delapan besar Wimbledon. Tahun ini dia menjadi petenis putri Arab dan Afrika pertama yang menjuarai WTA 1000 setelah menjadi kampiun di Madrid Open.
Tahun ini pula dia menjadi petenis Arab dan Afrika pertama yang mencapai semifinal dan final Wimbledon sekaligus sebuah turnamen Grand Slam.
Dia juga petenis muslim pertama yang mencapai final Grand Slam setelah Marat Safin yang asal Rusia dari etnis Tatar yang mayoritas muslim dan juara US Open 2002 serta Australian Open 2005.
Maka wajar dengan semua catatan itu perhatian lebih tertuju kepada Jabeur ketimbang kepada Rybakina.
Jabeur yang menempati unggulan ketiga dalam Wimbledon 2022 ini dan di Tunisia dijuluki dengan "Menteri Kebahagiaan", berusaha mengangkat semangat seluruh benua hitam ketika dia predikat wanita Afrika pertama dan sekaligus orang Arab pertama yang menjuarai sebuah turnamen Grand Slam.
"Sering saya membayangkan diri tengah menyampaikan pidato yang bagus, sambil memegang trofi dan menatap trofi," kata Jabeur menjelang final pertama sejak 1962 yang mempertemukan dua petenis yang untuk pertama kalinya mencapai final Grand Slam itu.
"Kini saya harus benar-benar memegang trofi itu. Saya akan siap melakukan bagian saya. Mudah-mudahan mereka menuliskan nama saya dia papan penghargaan di pintu masuk Centre Court," sambung dia seperti dikutip Reuters.
Tapi wajahnya sudah terpampang luas di papan-papan reklame raksasa di seantero Tunisia, apalagi final Wimbledon kali ini bertepatan dengan Idul Adha yang sudah pasti dirayakan luas oleh negara muslim dan Arab di Afrika Utara itu.
Dia berharap hari ini, 9 Juli 2022, menjadi hari yang diingat oleh bangsanya, oleh kaumnya. Dia bertekad memperdaya Rybakina dengan kombinasi pukulan slice dan drop shot-nya yang terkenal maut memakan banyak korban di berbagai lapangan tenis itu.
Jabeur juga ingin apa yang dicapainya di lapangan tenis mengilhami masyarakatnya untuk memajukan diri, demi semakin banyak orang Arab dan Afrika mendalami tenis sampai cabang ini tak terus-terusan didominasi oleh satu dua masyarakat saja.
"Saya ingin semakin besar, menginspirasi generasi lebih luas lagi. Tunisia terhubung dengan dunia Arab, terhubung dengan benua Afrika. Kami ingin melihat semakin banyak pemain," kata sang perintis. "Saya ingin melihat lebih banyak lagi petenis dari negara saya, dari Timur Tengah, dari Afrika.
"Sungguh menakjubkan bisa benar-benar menginspirasi generasi baru. Hanya untuk menunjukkan bahwa tak ada yang tidak mungkin."
Selanjutnya: Tentang Elena Rybakina
Tentang Elena Rybakina
Elena Rybakina juga percaya kepada pepatah 'tak ada yang mustahil dalam hidup ini'. Petenis berusia 23 tahun kelahiran Rusia itu berusaha menjadi warga Kazakhstan pertama yang menjuarai tunggal putri Grand Slam.
Petenis berpukulan servis keras nan kencang itu mencetak 144 winner, termasuk 49 ace, saat menaklukkan enam lawannya sebelum Jabeur, termasuk Bianca Andreescu dan Simona Halep yang keduanya pernah menjuarai turnamen Grand Slam.
Namun, alih-alih ditanya tentang dampak merusakkan yang diakibatkan servis geledek atau pukulan groundstroke miliknya yang selalu menggetarkan lawan itu, Rybakina justru disorot karena kaitannya dengan Rusia.Elena Rybakina. REUTERS/Paul Childs
Petenis-petenis asal Rusia dan Belarus dilarang mengikuti turnamen Grand Slam lapangan rumput ini gara-gara invasi Rusia ke Ukraina. Andai empat tahun lalu Rybakina tidak berganti kewarganegaraan Kazakhstan, mungkin Rybakina juga akan dikeluarkan dari Wimbledon tahun ini.
Kazakhstan berbatasan di Rusia di bagian utara, dan memiliki 20 persen penduduk beretnis Rusia yang agak mirip dengan situasi di Ukraina.
Walaupun selama empat tahun terakhir ini memukulkan bola tenis dengan membawa nama Kazakhstan yang sudah menjadi negaranya, Rybakina tetap saja ditanyai soal negara yang menjadi tempat kelahirannya, Rusia.
Di antara pertanyaan yang sering diajukan kepada dia adalah, "apakah hatimu masih merasa Rusia?".
Rybakina tak menampik asal negaranya. Dia mengakui tak selalu berada di Kazakhstan karena jadwal tenisnya yang mengharuskan dia pergi ke mana-mana, dari turnamen ke turnamen di seluruh dunia. Tetapi dia ingin dilihat sebagai orang Kazakhstan yang berjuang demi Kazakhstan.
Kini dia akan menikmati pertemuan dengan Jabeur si petenis Tunisia dalam final yang akan menampilkan gaya bermain yang berbeda tajam.
"Kami akan bersama-sama melalui perjalanan (membuat sejarah) ini ... sungguh menakjubkan jika Anda membuat sejarah," kata unggulan ke-17 yang peringkatnya naik pada 2020 sebelum pandemi COVID-19 menghentikan laju kenaikan itu.
"Tentu saja saya bakal gugup. Tapi adalah tantangan saya menjadi stabil, kuat secara mental, dan berusaha sebaik mungkin. Saya tahu cara Ons bermain. Dia tahu cara saya bermain. Kami sudah saling mengenal," kata Rybakina seperti dikutip Reuters.
Baca Juga: Novak Djokovic Lolos ke Final Wimbledon 2022
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini