Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DOMINASI Jepang dalam Asian Games masih belum tergoyahkan.
Sejak AG I diselenggarakan di New Delhi, 1951, mereka tak pernah
tergeser dari urutan pertama dalam pengumpulan medali. Tapi RRC
mengejarnya.
RRC mulai memasuki kegiatan olahraga Asia lewat AG VII di
Teheran, '74. Sebelumnya kursi Cina diduduki oleh Taiwan. Dari
urutan ketiga di Teheran, RRC melompat ke tempat kedua dalam AG
VIII di Bangkok yang berakhir pekan lalu. Mereka mengumpulkan 51
emas, 54 perak, dan 46 perunggu. Dibandingkan mereka di AG VII
memboyong 33 emas, 46 perak, dan 27 perunggu -- suatu lompatan
menonjol terakhir ini. RRC mengikuti 16 dari 20 cabang olahraga
yang dipertandingkan di Bangkok. Namun besarnya pengumpulan
medali, belum bisa dijadikan takaran kemajuan mereka sepenuhnya.
Apalagi Iran -- dengan dominasi dalam angkat besi dan gulat,
menempati urutan kedua setelah Jepang di AG VII, sekali ini
absen.
Bahwa RRC adalah suatu kekuatan baru, memang sudah terbukti.
Bagaimana betul hebatnya mereka sekarang? "Sulit untuk
dikatakan," kata Hsia Te Chun, seorang tokoh olahraga dari RRC.
"Sampai saat ini, kami belum punya banyak kesempatan untuk
bertanding di gelanggang internasional."
RRC memang belum menjadi anggota semua federasi olahraga dunia.
Misalnya, Federasi Renang Internasional (FINA) dan Federasi
Panahan Internasional (FITA). Kenyataan itulah yang menyebabkan
Ku Ping Fu dari Federasi Olahraga RRC tampak sedikit merendah.
"Olahraga di RRC masih terkebelakang," katanya. "Di beberapa
cabang kami masih ketinggalan. Sebagai contoh, renang." Di AG
VIII, hampir semua medali emas nomor renang direbut oleh atlit
Jepang.
Tapi diduga RRC akan memainkan peranan penting dalam dunia
olahraga Asia, setelah AG VIII. Lahirnya Dewan Tertinggi
Olahraga Asia (SCSA), lembaga yang akan lebih banyak bergerak di
bidang pemerataan prestasi, sedikit, banyaknya adalah gagasan
mereka. Permintaan atau pertukaran pelatih di cabang olahraga
yang dibutuhkan oleh suatu negara Asia akan diatur lewat SCSA.
Di Olympiade, nanti? Taiwan, masih anggota Komite Olympiade
Internasional (IOC), walaupun Montreal tidak membolehkannya
turut dalam Olympiade 1976. RRC tampak belum begitu pasti hadir
dalam Olympiade 1980 di Moskow mengingat kurang lestarinya
hubungan mereka dengan Uni Soviet. Secara politis, Uni Soviet
kelihatan condong untuk mengundang Taiwan. Apalagi RRC belum
mendapatkan kartu keanggotaan IOC.
Dalam AG VIII, 6 di antara 25 negara peserta yang tak kebagian
medali sama sekali. Mereka adalah Bahrain, Qatar, Nepal, Arab
Saudi, Emirat Arab. dan Bangladesh. Kecuali Nepal dan
Bangladesh sisanya adalah negara petro dollar. Kenyataan ini
sekaligus membuktikan bahwa negara kaya belum tentu dengan
sendirinya berprestasi dalam olahraga.
Tak Perduli
Tak kurang menarik adalah kehadiran Lebanon, negeri Arab yang
masih dilanda kerusuhan. Datang dengan 3 atlit -- kontingen
paling kecil, Lebanon berhasil memboyong 1 emas dan 1 perak dari
cabang angkat besi. Bandingkan dengan Indonesia yang membawa 76
atlit dari 11 cabang olahraga, cuma memboyong 8 emas, 7 perak,
dan 18 perunggu. Itu pun 7 medali emasnya didaat dari
nomor-nomor yang kurang universil, seperti bulutangkis dan tenis
-- cabang ini tidak dipertandingkan di Olympiade.
Indonesia juga telah melakukan kesalahan dengan tidak
mengirimkan atlit terbaik dari cabang olahraga atletik. Ancaman
skorsing bagi peserta nomor atletik AG VIII dari Federasi
Atletik Amatir Internasional (IAAF) tampak begitu menghantui
mereka. Mengingat Indonesia akan menjadi tuan rumah SEA Games
X, 1979. Ternyata, baik anggota Federasi SEA Games maupun
negara Asia lainnya tidak memperdulikan ancaman tersebut. Mereka
datang dan tetap menurunkan atlit terbaiknya.
Andaikata kontingen Indonesia tetap mengirimkan Jeffry
Mathelehamua dkk, mungkin terbawa juga medali atletik ke
Jakarta. Pemegang medali emas AG VIII di nomor 100 m, Suchart
Jaesuraparp dari Muangthai yang membetot waktu 10,44 detik
hanya selisih tipis dengan prestasi Mathelehamual (10,5 detik).
Juga Carolina Riewpassa, yang prestasinya tak lebih buruk
dibandingkan pelari 200 m Muangthai, Usanee Laopinkarn yang
meraih medali emas dengan tempo 24,81 detik. Rekor Riewpassa
24,2 detik. Prestasi ini memang dicatatnya di Ludenscheid,
Jerman Barat. 6 tahun lalu. Tapi dalam pelatnas AG VIII, angka
itu sudah kembali didekatinya.
Di cabang sepakhola, ketidak-hadiran kesebelasan Indonesia, juga
menjadi pertanyaan bagi publik, rm,lupun peserta AG VIII
lainnya, di Bangkok. Bagi mereka, tim Indonesia tetap merupakan
kesebelasan yang baik. Sekalipun untuk bersaing dengan Korea
Utara atau Korea Selatan, juara kembar AG VIII, cukup berat,
tentunya. Tapi pamor sepakbola ini belum tergeser.
Empat tahun mendatang, AG IX diselenggarakan di New Delhi.
Tampaknya bukan hanya persainan prestasi menjadi ketat, juga
akan bertambah cabang vang dipertandingkan. Olahraga ketang
kasan berkuda (Equestarian), dan golf merupakan nomor baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo