Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Terseok sesudah bernafsu

Regu indonesia ditundukkan taiwan dalam kejuaraan bridge timur jauh ke-31. ferdy waluyan dkk terlalu ambisi mengalahkan juara bertahan hong kong, tanpa perhitungan taktik & strategi. persiapannya kurang.

3 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FERDY Waluyan tersenyum kecut. Pasangan Denny Sakul pada Kejuaraan Bridge Timur Jauh ke-31 itu harus mengakui kehebatan regu Taiwan yang menundukkannya dengan nilai 21-9, Senin malam lalu di Hotel Indonesia, Jakarta. Pupus sudah kesempatan Indonesia untuk menjadi juara dan merebut Piala Rebulida, lambang Kejuaraan Bridge Asia Timur Jauh. "Peluang sudah tipis. Paling-paling kita cuma bisa merebut nomor dua," kata Ferdy. Itu pun kalau regu Indonesia -- yang terdiri dari Ferdy/Denny, Henky Lasut/Eddy Manoppo, dan Munawar Sawirudin/Yasin Wijaya berhasil menang telak dari juara bertahan Hong Kong dan RRC, Selasa ini. Sementara itu, Taiwan memastikan mengantongi tiket ke perebutan lambang supremasi bridge dunia, Bermuda Bowl di Perth, Australia. "Itulah permainan, ada menang ada kalah," kata Amran Zamzami, manajer tim Indonesia. Hanya saja, Amran menyayangkan sikap pemain kita yang kelewat bernafsu pada awal pertandingan melawan Hong Kong. Pemain kita, kata Amran, sangat geregetan ingin menghancurkan sang juara bertahan Hong Kong dengan maksud memperoleh keuntungan psikologis. "Sehingga, lupa taktik dan strategi regu. Akibatnya fatal dan jadi bumerang," ujar Amran. Kalau saja Ferdy Waluyan dkk. tak kelewat berambisi menang mutlak dari Hong Kong, dan cukup membatasi diri sebatas menang tipis, mungkin sekali tiket ke Bermuda Bowl itu jadi milik mereka. "Soalnya, ini ibarat maraton, bukan lari sprint," kata Amran. Sempitnya persiapan salah satu sebab kegagalan ini. "Hanya empat bulan. Seharusnya paling sedikit sembilan bulan," kata Amran. Sebagai perbandingan, tim Hong Kong menyiapkan diri setahun lebih. Taiwan mengasah timnya lebih dari dua tahun. Teoretis, mestinya regu Indonesia punya peluang cukup untuk jadi juara. Bukan hanya karena main di kandang sendiri. Faktor lain, rata-rata usia pemain yang sudah 45 tahun cukup matang untuk berpikir dan bersabar diri dalam permainan asah otak jenis ini. Malah, kata Amran, sesungguhnya tim Indonesia ini adalah tim terkuat dan terbaik yang pernah kita punyai. "Sebab, sejak 1979 hingga 1984, tim ini berhasil meraih empat kali juara Timur Jauh dan juara dunia invitasi di Amsterdam tahun 1980," kata Amran. "Tahun '80 itulah puncak prestasi yang pernah kita raih, mengalahkan jago-jago negara adikuasa mana pun." Menurut Amran, kegagalan kali ini juga akibat kurangnya uji coba di luar negeri. Dalam persiapan yang empat bulan itu, regu Indonesia cuma sekali melawat ke Australia, yakni pada bulan Maret lalu. "Kita tidak sampai melakukan uji coba ke Eropa atau Amerika, adikuasanya olahraga bridge," ujar Amran, Wakil Presiden PT Krama Yudha yang terpilih sebagai Ketua Appeals Committee Kejuaraan Bridge Timur Jauh ke-31 ini.Syafiq Basri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus