Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERIKSAAN polisi atas Agus Naser, tersangka pembunuh Nyonya Diah yang mayatnya dipotong sepuluh, sudah selesai. Bukti-bukti di lapangan dan keterangan saksi dianggap polisi telah cukup untuk mengungkap kasus itu. "Ternyata," kata Kapolda Metro Jaya, Mayor Jenderal Poedy Sjamsoedin di depan wartawan Rabu pekan lalu, "mengurus perkara ini tak semudah membalik tangan." Pemeriksaan atas Agus diserahkan Mabes Polri ke Polda Metro Jaya, 5 Mei lalu. Inti pengakuannya kepada polisi, Agus adalah pembunuh tunggal. Bahkan, "Tersangka pernah merencanakan pembunuhan itu lewat dukun," kata Kaditserse Polda Metro Jaya, Kolonel Legiman. Menurut pengakuannya, ia sudah berniat melenyapkan istrinya dua minggu sebelumnya. Sejak itu, ia mengaku mengasahkan goloknya. "Ternyata pula, istri muda tersangka juga terlibat dalam pembunuhan itu. Paling tidak, dia ikut memanas-manasi tersangka untuk membunuh," kata Legiman. Geger mayat terpotong-potong itu berawal pada Sabtu pagi, 8 April. Di depan IKIP Rawamangun, Jalan Pemuda, Jakarta Timur, warga menemukan potongan mayat tanpa badan, dan, jari tangan. Belakangan diketahui bahwa mayat itu adalah Nyonya Diah, warga di Jalan Percetakan Negara, Jakarta, istri tersangka, yang menghilang dari rumahnya sejak 7 April pagi. Titik terang mulai nampak ketika Agus Naser, 54 tahun, bersama anak sulung dan dua iparnya datang ke RSCM pada 18 April. Sewaktu disodori foto dan patongan kepala korban, Agus dengan dingin berucap, "Bukan. Itu bukan istri saya." Tapi anaknya, Iis, dan dua iparnya merasa yakin bahwa mayat itu mirip Nyonya Diah. Bahkan, golongan darahnya sama yaitu A. Walaupun tersangka menyangkal, ahli forensik dr. Abdul Mun'im Idries, yang mendampinginya melihat potongan kepala itu, punya firasat lain. Karena itu, Mun'im minta Agus menunjukkan foto istrinya. Ternyata, foto itu cocok dengan potongan kepala korban. Sejak itu, Mun'im yakin Agus berbohong. "Pembunuhan dengan merusak alat-alat vital korban, biasanya berlatar belakang seks. Dan orang yang dekat dengan korban layak dicurigai," analisa Mun'im. Maka, segala polah, mimik, sampai pada kendaraan korban dicatat Mun'im. Semua info itu disampaikan ke polisi. Dua hari kemudian, potongan badan korban ditemukan di dermaga Kolinlamil, Tanjungpriok, Jakarta Utara. Hari itu juga, polisi menggerebek rumah Agus. Tapi, Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah Jalan Garuda, Jakarta, itu sudah kabur. Ia mengaku mencari istrinya ke Serang dan Surabaya. Serangkaian kebohongan, menurut polisi, sengaja diciptakan Agus. Ia berpesan kepada anaknya, Chandra, agar memberi tahu polisi bahwa Diah pergi dari rumah tanggal 9 April 1989, setelah mayat di ditemukan di Jalan Pemuda. Ia juga memamitkan istrinya ke TK Trisula bahwa Diah pergi ke Bandung. Polisi semakin curiga setelah menemukan noda darah pada sambungan tegel dari kamar tamu ke kamar tidur rumah korban, 21 April. Belakangan ada info baru bahwa Agus berbini muda, Nyonya Saadah, yang disimpan di Jalan Bangka, Kebayoran Baru. Dari situ ditemukan fotokopi surat nikah Agus dan Saadah di Cisewu, Garut, tahun 1983. Tim Polda Metro Jaya segera menguber Agus ke Cisewu. Di rumah mertuanya, Sarwita, Pak Guru yang selalu mengenakan peci itu tak dijumpai. Saadah pun ditangkap. Kepada polisi Saadah, yang juga dipanggil Adah, mengaku pernah mencuci potongan jeans biru dari Agus. Dengan jeans itu, menurut Legiman, seolah Agus ingin meyakinkan istri mudanya bahwa Diah sudah dihabisi. Tersangka baru ditangkap pada 1 Mei malam di rumah mertuanya oleh Kapolsek Cisewu dan pamong setempat. Sebelumnya, ia sempat mengembara ke Bandung, Subang, dan Cirebon. Ia segera diterbangkan dengan Cessna ke Jakarta. Di Polsek Cisewu dan Polres Garut, Agus sempat membuat pengakuan. "Pembunuhan itu saya lakukan sendirian dengan perasaan bukan main takutnya," kata Agus. Ia minta maaf karena menyusahkan polisi. Barang bukti berupa golok dan potongan jeans ditemukan di rumah Sarwita di Cisewu. Ketika diperiksa di Polda Metro Jaya, mula-mula Agus membantah sebagian pengakuannya di Cisewu dan Garut. Pembunuhan itu, katanya, direncanakan bersama iparnya, Purnama, dan anak Purnama, Irwan. Setelah dikonfrontasi, ayah empat -- tiga dari Diah dan seorang dari Saadah -- anak itu mencabut keterangannya itu. Mengapa Agus membunuh? Motifnya kata Legiman, karena Agus kesal pada istrinya. Ia, misalnya, mengaku selalu ditolak jika mengajak berhubungan intim. Diah selalu bilang, lebih baik "disalurkan" ke istri muda saja. Ucapan ini terlontar kemungkinan Diah sudah mencium bahwa Agus punya "simpanan". Agus pun kesal. "Ia ingin bebas dari istri tuanya," kata Legiman. Maka, Jumat 7 April sekitar pukul 07.00 itu, Diah dihajarnya dengan botol berisi semen, di ruang tamu. "Ini cocok dengan saksi ahli bahwa korban dibunuh dengan benda tumpul," kata Legiman. Setelah tewas, mayatnya diseret ke kolong tempat tidur. Bercak darah segera dipel. Begitu beres, sekitar pukul 09.00, Shinta dibangunkan dan diminta memanggil kakaknya, Chandra, untuk mencari ibunya. Chandra tak segera berangkat karena harus pergi salat Jumat dulu. Sekitar pukul 11.00, ketika Chandra sembahyang Jumat, Agus mulai mencincang mayat istrinya setelah menyuruh Shinta pergi dari rumah. Mula-mula, Agus yang pernah kuliah di Fakultas Kedokteran setahun itu mengerat jeans sebatas lutut. Setelah itu pemotongan dimulai dari bagian lutut, kedua pangkal paha, kedua tangan, kepala, kedua telapak tangan. Pemaprasan hidung dan penyayatan pelipis kiri sengaja untuk menghilangkan ciri-ciri korban, misalnya tahi lalat. Potongan badan itu dimasukkan ke dalam karung. Begitu pencincangan usai, ia masih sempat mengepel kamar tidur dan mencuci potongan jeans korban. Seusai Jumatan, Chandra tak menaruh curiga. Di rumah yang sumpek itu, bau anyir darah seakan berbaur dengan aroma kakus. Pukul 18.30, ketika Chandra dan Shinta tarawih, Agus memboncengkan bungkusan badan istrinya dengan sepeda motor dan membuangnya di daerah Cempaka Putih. Sejam kemudian, Agus kembali membuang potongan kaki, paha, tangan, dan kepala di Jalan Pemuda. Yang sempat melihatnya memboncengkan bungkusan adalah Irwan, keponakannya. Minggu, 9 April, ia menyerahkan potongan celana jeans dan golok kepada istri mudanya. Motor Suzuki bebeknya dijual Rp 400 ribu kepada seseorang di Warung Buncit. Dari pengakuan dan data yang dikumpulkan, kata Legiman, Agus adalah pembunuh tunggal. "Kami berani menduga 99 persen Agus tersangka pembunuhnya," kata Legiman lebih lanjut. Dengan demikian, "Semua sudah jelas apa yang terjadi. Siapa pelaku, siapa korban, di mana, bagaimana, motivasinya semua terjawab," tambah Kapolda Mayor Jenderal Poedy Sjamsoedin. Kapolda juga menyampaikan, polisi tidak melakukan pemaksaan dan pemukulan untuk mengorek pengakuan tersangka. Bahkan, katanya, polisi tak menghalang-halangi tersangka didampingi pembela. Tiga pembela dari LBH Jakarta, yang diminta adik kandungnya, memang ditolak sendiri oleh Agus. Alasannya, kata Legiman mengutip Agus, "Pak, saya ini membunuh sendiri, saya yang tahu. Kalau saya didampingi penasihat hukum, lalu penasihat hukum bilang begini. . ., begini. . . saya diajari yang salah, kan nanti yang rusak saya sendiri. Berbelit-belit." Ini pengakuan Agus yang diumumkan polisi. Yang masih ditunggu adalah pengakuan tersangka di depan sidang pengadilan nanti, yang tentunya dinyatakan secara terbuka.Widi Yarmanto, Tommy Tamtomo, Moebanoe Moera, dan Ardian T. Gesuri (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo